Di ruang kerja Abian, suasana masih terasa tegang setelah insiden di lift. Abian duduk termenung di kursinya, sementara Adrian berdiri tegak di depan meja dengan wajah khawatir. "Tuan… saya sudah menyuruh semua karyawan untuk tutup mulut. Tapi… gosip di kantor pasti akan cepat menyebar. Apalagi posisi tadi sangat…" Adrian terpaksa berhenti, bingung memilih kata. Abian menatap tajam. "Cukup. Aku tahu apa yang kau maksud." Ia mengusap wajahnya dengan kasar. "Hubungi tim IT. Aku ingin rekaman CCTV di lift itu. Pastikan tidak ada yang disalahartikan." Sebelum Adrian menjawab, suara ketukan terdengar dari balik pintu. "Masuk," ucap Abian singkat. Pintu terbuka. Hana masuk bersama Alena yang baru pulang sekolah. Wajahnya semula cerah, namun langsung berubah dingin ketika melihat ekspresi tegang di ruangan. "Ada apa ini? Kenapa semua terlihat seperti habis menyaksikan drama?" tanyanya datar. Adian tersentak. “Ibu… saya permisi dulu.” Abian hendak bicara, namun Hana sudah lebih dulu d
Hari pun kini perlahan beranjak sore sementara Abian berdiri di balik jendela kaca, menatap keluar dengan pikiran yang masih penuh dengan pertanyaan soal sekretaris barunya. Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. TOK TOK. "Masuk," ucap Abian tanpa menoleh. Adrian melangkah masuk, langkahnya tenang namun sikapnya tegas seperti biasa. "Tuan, saya sudah mulai menyelidiki Ayla," ucap Adrian dengan nada serius. "Identitasnya tampak bersih di atas kertas. Tapi ada kejanggalan." Abian berbalik menghadap Adrian. "Kejanggalan seperti apa?" Adrian meletakkan sebuah folder di meja. Di dalamnya berisi beberapa foto, data digital, dan catatan investigasi. "Alamat tempat tinggalnya saat ini adalah rumah kontrakan yang baru ditempati dua minggu lalu. Dan perusahaan tempat dia klaim pernah bekerja sebelumnya... tidak terdaftar secara resmi. Saya mencurigai identitasnya palsu, Tuan." Abian menyipitkan mata, ekspresinya berubah waspada. "Teruskan pengawasan, tapi diam-diam. Jangan samp
Keesokan harinya Alena mulai beradaptasi hidup di lingkungan keluarga Adiyaksa. Saat itu sinar matahari menembus tirai jendela ruang makan. Aroma roti panggang dan teh melayang di udara. Di meja, Alena tampak ceria mengenakan seragam barunya. Salah seorang pembantu sedang menyiapkan hidangan, sementara Hana menyisir rambut Alena. "Sarapan dulu ya, sayang... hari ini hari pertama kamu sekolah, jangan sampai terlambat," Alena mengangguk patuh, matanya berbinar bahagia. "Bunda, nanti Papa Abian jemput aku, kan?" Abian tersenyum sambil merapikan dasinya. "Tentu saja, Princess. Papa akan sempatkan waktu, meski sibuk sekalipun." Ketiganya lalu berangkat bersama—mengantar Alena ke sekolah barunya. Suasana hangat menyelimuti mereka, seolah badai yang baru saja mereka lalui telah mereda. Namun badai berikutnya... mulai menggumpal. Selain itu dalam perjalanan menuju kantor, Ponsel Abian bergetar saat mobil pribadi mereka melaju menuju kantor. Nama Adrian tertera di layar. Lantas
Cahaya remang dari kota menembus tirai tipis apartemen, memantul di permukaan meja kaca. Felia berdiri bersandar pada jendela sambil memainkan cangkir tehnya, menatap lurus ke arah Livia yang duduk di sofa. Rio berjalan mondar-mandir di belakang Livia, wajahnya tegang, suaranya penuh tekanan. “Kau sudah hafal identitas barumu, Livia?” tanyanya tajam. Livia mengangguk tenang, “Nama publikku Ayla Maheswari. Lulusan NYBS, pengalaman magang di Asia Tenggara, ahli dalam perencanaan strategis.” Felia mendekat, suaranya rendah namun dingin, “Ingat, Livia. Jangan sampai terpeleset menyebut nama aslimu di depan siapa pun. Di mata mereka kau Ayla, bukan Livia.” “Dan jangan terlalu cepat bergerak,” Rio menambahkan. “Dekati Abian. Bikin dia nyaman. Hana itu perempuan polos, mudah dibuat curiga. Fokus kita hancurkan hubungan mereka dulu.” Livia menatap mereka bergantian. “Dan setelah itu?” “Setelah itu, kita rampas semua milik mereka. Perusahaan, kehormatan, dan kalau perlu... anak i
Abian baru saja duduk di samping Hana di teras depan rumah. Keduanya masih terdiam dalam percakapan penuh kekhawatiran. Langit malam Jakarta terasa pengap, seolah ikut menahan sesuatu yang akan segera pecah. Ting-tong! Bel pintu utama berbunyi. Abian refleks berdiri. “Mbok, tolong... bukakan pintu. Siapa itu di depan?” Pembantu rumah yang sudah berumur pun segera bergegas ke arah pintu. Derap langkahnya tergesa, menggema samar di lorong marmer rumah megah itu. Sesaat kemudian suara pintu dibuka terdengar dari dalam. “Mas Adrian?” gumam Mbok Jumi kaget, melihat pria jangkung itu berdiri dengan ekspresi tegang, ditemani dua pria berbadan tegap di belakangnya. Namun bukan hanya Adrian yang membuatnya tercengang. Di pelukannya, tampak seorang anak kecil tengah tertidur pulas—Alena. “Hana...!” teriak Abian dari ruang tamu, segera menyusul ke arah pintu. Hana menyusul di belakangnya, langkahnya melebar dengan tatapan membesar. “Alena...?” suara Hana tercekat. Adrian mengangguk sing
Jakarta, malam hari. Lampu-lampu kota menyala bagaikan gugusan bintang yang tak pernah tidur. Di dalam mobil hitam yang melaju kencang di tol dalam kota, Rio duduk di kursi pengemudi, dengan tatapan tajam menusuk malam. Di sebelahnya, Felia terdiam menatap ke luar jendela, menahan perasaan campur aduk. “Aku akan pastikan Alena kembali pada kita,” gumam Rio tanpa menoleh. “Kita akan masuk dari sisi yang paling lemah. Dan aku tahu, kelemahan Abian bukan sekadar soal perempuan… tapi soal reputasi.” Felia mengangguk perlahan. “Kita harus bisa buka semua kebusukan yang ditutup rapat keluarga Adiyaksa. Tidak cukup hanya merebut Alena. Aku ingin dia merasakan kehilangan seperti yang kurasakan.” Rio menoleh tajam. “Tapi kau harus ikut bersih. Tidak ada lagi kebohongan, tidak ada lagi permainan ganda. Aku akan tempuh jalur hukum untuk ambil hak asuh Alena. Tapi kalau kau masih simpan niat buruk, kita akan sama-sama hancur.” Felia menggigit bibirnya, lalu berkata lirih, “Aku hanya ingin an