Hana rela menjadi tunangan palsu seorang pengusaha muda demi menyelamatkan nyawa ibunya. Hanya saja, Abian, pria dingin yang masih terpaku pada cinta lamanya, tak menyangka sandiwara itu menjerat hatinya sendiri. Lantas, bagaimana kisah keduanya? Terlebih, saat cinta dan janin kecil tumbuh di rahim Hana, orang-orang justru menuduhnya: "Benarkah Itu Anak Abian, atau pria lain?" Cover by Canva free comersial use
View MoreLangit masih mengambang abu-abu ketika Hana menuruni angkot terakhir dan menyusuri trotoar sempit menuju butik tempatnya bekerja. Jemarinya menggigil memeluk jaket tipis yang sudah mulai memudar warnanya. Sepatu ketsnya berdecit halus saat menjejak genangan kecil. Kehidupan Hana memang tak pernah mewah, tapi ia tetap bersyukur.
Butik Miracle Mode itu bukan butik besar, hanya cabang kecil dari butik utama milik istri pejabat. Tapi bagi Hana, tempat itu adalah sumber harapan. Sejak lulus SMA dan tak mampu melanjutkan kuliah, ia menerima pekerjaan ini dengan senang hati. Pagi itu, ia belum sempat menyalakan lampu butik ketika ponselnya bergetar. Sebuah panggilan dari nomor tetangganya, Bu Sari. Wajah Hana mengerut, merasa aneh. Belum sempat menyapa, suara panik langsung membanjiri telinganya. “Hana! Cepat ke rumah sakit! Ibumu dibawa ke UGD! Ditemukan pingsan di halaman rumah—” Telepon terputus. Hana tak sempat mengunci pintu butik. Ia hanya mengambil tas dan berlari sekencang mungkin, berharap Bu Sari salah bicara, dan berharap ini hanya mimpi di siang bolong. *** Koridor UGD dipenuhi bau obat-obatan dan ketegangan. Hana nyaris tak bisa bernapas saat menyebutkan nama ibunya pada bagian pendaftaran. Tak lama kemudian, seorang perawat menunjukkan arah ruang pemeriksaan. Callista, ibunya, tampak terbaring lemah dengan selang infus menancap di tangan. Wajahnya pucat, napasnya tak teratur. Hana mencengkeram tangan ibunya dan mencoba menahan air mata. Beberapa saat kemudian, seorang dokter paruh baya dengan jas putih menghampiri Hana dan memintanya ke ruang konsultasi. Degup jantung Hana memburu tak karuan. “Kami sudah melakukan pemeriksaan awal,” ujar dokter itu hati-hati. “Ibu Anda mengalami penurunan fungsi ginjal yang parah. Kemungkinan besar sudah masuk stadium lanjut.” Hana tercengang, dan dokter melanjutkan ucapannya. “Harus segera ditangani. Operasi dan cuci darah berkala adalah pilihan terbaik saat ini.” “O-opera…si Dok?” suara Hana gemetar. “Iya. Tapi kami harus segera membayar terlebih dahulu agar kami bisa mengambil tindakan. Biayanya cukup besar. Belum termasuk perawatan setelahnya.” Langit seolah runtuh di kepala Hana. Ia bukan siapa-siapa. Gajinya sebagai pegawai butik bahkan tak cukup untuk membayar kamar rumah sakit VIP. Apalagi operasi dan cuci darah? “Berapa… perkiraan totalnya, Dok?” suaranya lirih. Dokter itu menyebutkan angka yang membuat lutut Hana lemas. kurang lebih lima ratus juta termasuk operasi transplantasi ginjal. Jumlah yang bahkan tak bisa ia kumpulkan dalam waktu setahun pun. Sepulang dari rumah sakit, Hana duduk di kamar sempitnya sambil memandangi pigura kecil foto mendiang ayahnya. Air matanya mengalir diam-diam. Ia merasa sendirian. Keluarganya hanya ibunya. Tak ada saudara. Tak ada kerabat kaya. Ia ingin menangis sepuasnya. Tapi belum sempat air matanya benar-benar pecah, ponselnya kembali bergetar. Kali ini pesan dari grup sosial media yang sudah lama ia bisukan. “Sayembara! Dicari pasangan pura-pura untuk dikenalkan ke keluarga. Kontrak 3 bulan. Dibayar satu miliar, tunjangan luar biasa. Hanya untuk wanita lajang. Interview besok jam sepuluh pagi di Hotel Casa Del Piero.” Pesan itu dikirim oleh temannya di butik, Maya. Ia menambahkan pesan pribadi. “Hana, kamu harus coba ini. Cowoknya anak konglomerat. Ini bisa untuk biaya operasi ibu kamu, bahkan kamu bisa melanjutkan kuliah. Cuma buat akting jadi pacarnya. Siapa tahu rezeki kamu dari sini?” Hana tertegun menatap layar ponselnya. Ia nyaris menghapus pesan itu—kedengarannya terlalu aneh, terlalu tidak masuk akal. Tapi ketika mengingat ibunya yang masih terbaring di ruang rawat rumah sakit, tubuh Hana bergerak sendiri. Besok, ia akan datang ke Hotel yang disebutkan di dalam pesan itu. Keesokan harinya, Hana berdiri kikuk di depan ballroom kecil di Hotel Casa Del Piero. Puluhan wanita lain juga hadir, semuanya cantik dan modis. Sementara ia hanya mengenakan blus putih dan rok panjang satu-satunya yang layak pakai. Ruangan itu dipenuhi bisik-bisik. Ada yang mengatakan pria yang mengadakan sayembara ini adalah Abian Adiyaksa, pemilik grup usaha besar yang sedang naik daun. Tampan, kaya, dan… terkenal dingin. Gosipnya, ia belum pernah membawa wanita satu pun ke hadapan orang tuanya. Hana mengisi formulir dan menunggu namanya dipanggil. Ketika tiba gilirannya, ia melangkah masuk ke sebuah ruangan yang lebih kecil. Di dalamnya, duduklah pria dengan jas hitam rapi, wajah tajam, dan sorot mata yang membuat lehernya kaku. Adrian Martadinata sahabat sekaligus asisten pribadi Abian Adiyaksa. “Hana Adelia?” tanyanya datar. “Iya, Pak…” “Kamu tahu sayembara ini untuk apa?” “Untuk berpura-pura menjadi pasangan Tuan Abian, selama tiga bulan, agar dikenalkan ke keluarga.” Hana berusaha bersikap tenang. Adrian memerhatikan Hana cukup lama. Matanya seperti menilai tanpa ekspresi. “Kenapa kamu ikut sayembara ini?” tanyanya lagi. Hana menatapnya sejenak. Ia bisa berbohong, seperti peserta lain mungkin. Tapi ia justru berkata jujur. “Karena ibu saya sakit. Saya butuh uang untuk operasinya.” Senyap. “Kamu tidak takut bermain perasaan?” tanya Adrian lagi. “Saya hanya ingin menyelamatkan ibu saya, Pak. Kalau itu artinya saya harus jadi pasangan pura-pura… saya akan lakukan.” Adrian menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menutup map di hadapannya. Ia tidak mengangguk, tidak pula menolak. Hanya berkata. “Kami akan menghubungi kamu besok. Pulanglah.” Hana keluar dengan jantung berdebar, tak tahu apakah ia berhasil atau tidak. *** Malam itu, ia kembali ke rumah sakit dengan hati tak menentu. Di dalam ruang rawat, ibunya membuka mata perlahan dan tersenyum lemah. “Kamu sudah makan, Hana?” suara ibu terdengar parau. “Sudah, Bu,” bohong Hana sambil menggenggam tangannya. “Ibu jangan banyak bicara. Fokus sembuh dulu, ya…” Callista menatap anaknya lama. Matanya seperti menyimpan banyak hal yang belum terucap. Tapi ia hanya mengangguk dan memejamkan mata lagi. *** Ketika tengah malam tiba dan Hana tertidur di kursi samping tempat tidur ibunya, ponselnya bergetar pelan. Pesan dari nomor tak dikenal. “Kamu terpilih. Kontrak akan dikirim besok pagi. Siapkan diri untuk pertemuan keluarga dalam 5 hari ke depan. Namun, tepat saat Hana hendak membalas pesan itu dengan ucapan terima kasih, sebuah perawat masuk dengan panik ke ruang rawat. “Ibu Callista? Detak jantungnya menurun drastis! Cepat panggil dokter!” Hana terlonjak bangun. “Bu! Bu!” teriaknya sambil mengguncang tubuh ibunya yang tampak melemah. Perawat dan dokter bergegas masuk, mendorong tempat tidur keluar dari ruangan. Hana hanya bisa berdiri terpaku di koridor, tubuhnya gemetar. Dalam hitungan menit, pintu ruang ICU menutup rapat di hadapannya. Dan tak lama kemudian… Seorang wanita paruh baya datang tergopoh-gopoh, mengenakan jaket lusuh dan masker yang menutupi sebagian wajahnya. Ia berdiri di samping Hana dan menatap ke arah ruang ICU. “Apakah perempuan di dalam ibumu?” Hana menoleh bingung. “Ibu siapa?” Wanita itu menatap Hana dengan tatapan ganjil. “Aku… sahabat lama ibumu. Aku tahu semuanya. Termasuk siapa kamu sebenarnya.” Hana menegang. “Maksud Ibu…?” Wanita itu tak menjawab. Ia hanya menyodorkan sebuah amplop berisi foto tua dan selembar kertas lusuh—tertulis nama. Devan Adiyaksa.Mobil hitam itu masih terparkir di sisi kanan halaman rumah sakit. Dari balik kaca yang sedikit terbuka, sepasang mata mengamati pintu masuk ruang IGD dengan tajam. Perempuan itu adalah Felia. Ia tak segera turun, seolah menimbang apakah kehadirannya akan memperkeruh suasana atau justru membuka jalan untuk menjelaskan segalanya.Di dalam rumah sakit, kabar meninggalnya Calista menyebar cepat. Para perawat dan dokter yang merawatnya hanya bisa menunduk penuh penyesalan. Beberapa orang dari staf rumah sakit memberi ucapan belasungkawa singkat pada Hana yang masih berdiri membeku di depan ruang ICU. Tangisnya sudah kering, tetapi matanya tetap kosong.Langkah kaki cepat terdengar dari ujung lorong. Abian datang dengan tergesa, diikuti kedua orang tuanya, Tania dan Devan Adiyaksa. Wajah mereka tegang, napas terengah.“Hana!” panggil Tania. “Kami baru dengar soal ibumu... Kami sangat menyesal.”Abian langsung menghampiri Hana yang tak bergerak sedikit pun dari tempatnya.“Hana... aku.
Langit siang mulai mendung. Udara di rumah sakit semakin dingin, seolah menyesuaikan diri dengan suasana hati Hana yang terus diliputi awan kelabu. Sejak kemarin, ia belum sempat benar-benar beristirahat. Matanya sembab, dan tubuhnya mulai letih, tapi pikirannya tak berhenti berputar.Calista masih terbaring di ruang ICU. Kondisinya belum stabil. Dokter tak banyak berkata, hanya menyuruh Hana banyak berdoa dan bersiap untuk kemungkinan terburuk.Abian sempat datang pagi tadi. Tapi kehadirannya hanya menambah sesak di dada Hana. Tatapan pria itu menyimpan kegelisahan dan rasa bersalah, tapi Hana belum bisa membicarakan apa pun padanya. Ia hanya meminta Abian pulang untuk menenangkan diri. Meski begitu, hatinya sendiri tak kunjung tenang.Baru saja ia hendak berdiri dari kursi tunggu di lorong ICU, suara pelan dari arah lift membuatnya menoleh. Suara roda berderit, menyertai langkah seorang perawat yang mendorong kursi roda.Di atas kursi itu, duduk seorang wanita setengah baya deng
Suara mesin di ruang ICU berdengung pelan, seperti alunan nada tak kasatmata yang menghantam relung hati Hana. Di balik kaca tebal, tubuh Calista terbaring lemah, penuh dengan kabel dan selang yang menempel di berbagai sisi tubuhnya. Napasnya naik-turun melalui ventilator. Lampu-lampu monitor berkedip seirama dengan detak jantungnya yang lemah.Hana berdiri diam, membeku. Dunia di sekitarnya seperti berhenti. Matanya merah, tubuhnya gemetar. Ia tak tahu harus menangis atau berteriak. Semuanya terasa terlalu berat, terlalu mendadak, terlalu sakit.Setelah bertahun-tahun hanya hidup berdua, kini ibunya berada di antara hidup dan mati. Dan di saat yang sama, pernikahannya bersama Abian baru saja diguncang oleh satu kenyataan besar, kemunculan Felia, dan seorang anak kecil bernama Alena.“Apa aku... pantas bahagia di atas semua ini?” gumamnya lirih. Suaranya hampir tak terdengar, tenggelam oleh suara mesin-mesin medis.Pintu ruang tunggu terbuka pelan.Abian muncul, wajahnya masih d
Pagi itu, udara masih dingin menyapu dedaunan basah oleh embun. Taman kecil di belakang rumah sakit belum sepenuhnya ramai. Hanya ada satu-dua pengunjung yang duduk di bangku taman, menikmati ketenangan pagi.Hana datang dengan langkah hati-hati. Wajahnya masih menyimpan sisa-sisa kecemasan malam tadi. Sementara ibunya masih dirawat di ruang intensif. Ia belum sadar, dan kini, Hana datang menuruti telepon dari orang asing yang memberitahunya soal masa lalu Abian.Jantungnya berdegup tak karuan.Matanya menyapu taman. Tak ada siapa pun yang mencurigakan. Sampai matanya tertuju pada seorang wanita berpenampilan elegan, berdiri di bawah pohon besar, mengenakan mantel krem dengan syal biru lembut melilit lehernya.Di sebelah wanita itu, berdiri seorang anak perempuan berusia sekitar lima tahun, mengenakan gaun putih bermotif bunga. Gadis kecil itu memegang tangan wanita itu erat sambil memeluk boneka.Hana melangkah pelan, ragu.Wanita itu menoleh dan tersenyum tipis. Sorot matanya
Abian terpaku menatap layar ponselnya. Notifikasi itu menghantam dadanya seperti gelombang lama yang datang kembali membawa serpihan masa lalu yang belum selesai. Jemarinya mengepal, dadanya sesak. Bingung. Bimbang. Terikat dan terjerat di antara kewajiban sebagai seorang anak dan perasaan yang mulai mengusik batinnya. Ia berjalan mondar-mandir di dalam kamar hotel pengantin yang sunyi. Hana tidak ada. Ia bahkan belum kembali sejak pergi diam-diam tadi—masih mengenakan gaun pengantin yang seharusnya menjadi saksi malam pertama mereka sebagai pasangan sah. Abian duduk di ujung ranjang, kepalanya menunduk dalam. “Harusnya aku menjelaskan semuanya… sebelum semua ini terjadi.” Ia tahu, Hana mungkin membaca notifikasi itu. Itu cukup untuk membuat siapa pun merasa diabaikan—terutama perempuan yang baru saja ia nikahi, meski hanya atas nama kontrak. Tapi kenapa hatinya seberat ini? Bukankah dulu, saat menyusun rencana pertunangan palsu itu, ia mengira tak akan ada yang terluka? Terny
Abian duduk membisu di ruang kerja ayahnya. Pagi itu, suasana rumah keluarga Adiyaksa sedikit lebih tenang dibanding malam sebelumnya yang nyaris meledak karena masa lalu yang menyeruak tanpa aba-aba. Tania kini duduk bersandar di sofa, mengenakan gaun berwarna pastel lembut. Wajahnya masih menyisakan kelelahan emosional, tapi matanya tak lagi menyala penuh dendam. Devan menyuguhkan teh untuk istrinya sebelum ia duduk di samping Abian. “Kita harus bicara,” ujar pria paruh baya itu. Abian mengangguk pelan. “Tentang pertunanganku dengan Hana?” Tania menarik napas panjang sebelum menjawab. “Tentang pernikahan kalian.” Alis Abian terangkat. “Pernikahan? Kita belum bertunangan secara resmi. Lagipula ini hanya—” “Awalnya hanya sandiwara, ya, aku tahu,” sela Tania lembut namun tegas. “Tapi kamu sudah dewasa, Abian. Kami sudah lama menunggu kamu membawa pulang seseorang. Dan saat kamu akhirnya memilih, meskipun pura-pura, ternyata gadis itu... bukan orang yang buruk.” Devan menimp
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments