Share

Bab 5 - Sentuhan Misterius

Lagi-lagi aku jatuh sakit, sudah dua hari ini aku melewatkan banyak tugas dan ada banyak pelajaran yang menumpuk, serta harus dikejar.

Akhir-akhir ini badanku memang terasa tidak enak lagi dan sedikit demam. Aku hanya bisa menghabiskan waktu belajar dan mengulangi materi yang kuterima selama hampir satu bulan. Sambil sesekali menonton Drama Korea dan Anime Jepang kesukaanku.

***

Setelah dua hari izin sakit, surat sakit pun akan jatuh tempo dan lagi-lagi dengan sedikit memaksa, besoknya aku memutuskan akan pergi ke sekolah dengan kondisi yang belum terlalu stabil.

Entah kenapa sakitku harus sering datang tiba-tiba? Padahal di hari-hari sebelumnya, tak ada masalah apa pun yang bisa mengancam pertahanan tubuhku. Mungkinkah tubuhku kaget dengan berbagai tugas yang kuterima?

Mungkin saja aku terlalu terkejut sebelumnya, terkejut dengan keanehan orang-orang di sekolah, serta terkejut akan hal ini dan itu. Atau memang penyakit ini sudah mulai susah diajak berkompromi.

Malam ini, bintang tampak malu. Tiba-tiba, aku merasa kosong, seolah langit yang kehilangan pernak-perniknya dan aku mulai merindukan teman di sekolah. Kututup buku yang kupinjam dari tetangga sebelah. Yuli, gadis ramah yang berkawan baik denganku meskipun kami berbeda sekolah.

***

Keesokan paginya, di sekolah.

Jam istirahat pun telah berhasil mengkudeta dan menghentikan pelajaran Sosiologi oleh ibu Rina, si mungil yang katanya sedang hobi nonton drama Korea. Dia masih muda, mungkin seusia Ibu Lisa, mereka bahkan terkadang tampak seperti kakak-beradik.

Ibu Rina terkenal sedikit lebih berisik dari Ibu Lisa, mungkin karena bassic-nya yang juga dikenal sebagai motivator untuk anak-anak sekolahan penghuni kelas Ujian Nasional.

Hari ini, giliran Ani dan Nirmala yang akan pergi ke kantin, tanpa Ima yang sedang kurang sehat sama sepertiku. Ah, kami berdua memang sering sakit-sakitan, tapi aku tidak separah Ima. Maksudku, saat Ima sakit bahkan walau beristirahat sekali pun, tak akan membuat kondisinya membaik.

Oh ya, Nirmala itu teman baruku, kami menjadi akrab karena dia berteman dengan Ima. Dia duduk di tempat paling belakang. Dia menyebut dirinya sebagai Pecinta Dinding.

Selama ini aku punya kebiasaan menitip makanan atau minuman, kebiasaanku ini hanya berlaku kepada teman-teman dekat yang mau tamasya ke kantin saja. Beruntung, Ani dan Nirmala menjadi kandidat pertama kurir nitipku di sekolah ini.

Nah, hari ini aku menitip untuk dibelikan gorengan dan minuman dingin. Namun, karena kawan-kawan sudah tahu keadaanku yang sering sakit akhir-akhir ini, mereka berdua pun akhirnya menolak membelikan minuman dingin untukku. Padahal hari sangat panas, aku pun hanya akan dibelikan air mineral biasa.

Aku yakin Tri dan Sisi yang sudah membeberkan hal tentang sakitku kepada teman-teman ini. Kedua orang beda watak itu, benar-benar membuatku hanya bisa geleng-geleng setiap bertemu. Keduanya tahu kalau aku memiliki tubuh yang lemah, Sisi lebih sedikit tahu beberapa hal yang tak diketahui Tri, karena dia mengenalku sejak SD.

Lagipula, dengan tegas Nirmala pasti akan berkata, "Hanya akan membelikanku air mineral saja. Biar sehat." Nirmala memang terlalu menyukai kesehatan, seharusnya saat kuliah nanti dia bisa ambil jurusan perawat.

***

Aku memilih menunggu di kelas, tepat berdiri di depan jendela, tempat biasanya menunggu teman-teman kalau mereka datang dari kantin membawakan pesanan kami. Hanya bisa menatap lapangan hijau dan dipenuhi anak kelas sebelah yang tengah bermain, maupun sekadar duduk-duduk di pinggir lapangan.

Ingin rasanya berlarian di padang rumput, merasakan gelinya si hijau menggelitik kaki, menikmati segarnya aroma alam yang mampu membuat siapa pun ingin lekas berbaring di sana. Ah, bukan aroma alam, di sini banyak tahi sapi.

Aku merasakan sentuhan di kedua bahu, dan ternyata itu Ani yang kembali karena meninggalkan dompetnya di kelas.

"Mana?" tagihku tak sabaran. Padahal Ani belum ada lima menit meninggalkan kelas.

"Cuma mau ambil dompet, sabar ya, Bu!" ucapnya tertawa dan mengelus kepala Ima yang sedang menunduk di meja, lalu lekas berlalu.

Aku pun ikut tertawa gembira dan lekas membalikkan badan kurus ini membelakangi meja. Mengembalikan pandangan pada bola putih yang tengah bergulir kesana-kemari.

“Nanti minta Ani yang nyatet bukumu ya Ima, biar—”

Happ! Gelap!

Aku terkesiap. Tak lama berselang aku tidak bisa melihat apa-apa, seseorang menutup mata dengan kedua tangannya. Ya, seseorang! Pada saat bersamaan terdengar suara teriakan teman-teman yang lain.

Suasana mendadak seperti p***r. Riuh. Ajaibnya, pendengaranku menjadi lebih tajam saat mata ini terpejam. Mencoba tenang, batin dan pikiran pun ikut menerka siapa itu?

"Ani?" panggilku mencoba menggenggam tangan itu. Menafsirkan sambil mendengar suara embusan napas di atas kepalaku.

Tapi, apa ini? Kenapa tangannya besar dan bertulang? Apa Ani memang punya tangan yang bertulang? Tapi seingatku, tidak.

Aku melepaskan benda asing itu dari mata dan sedikit merapihkan kerudung instan. Namun, dengan gerakan yang lembut tangan itu pindah ke bahu. Anehnya aku masih yakin bahwa itu adalah salah satu dari teman-teman.

"Nirmala?" ucapku menerka dan berbalik ke arah kiri dengan genitnya, seketika pula aku tersandar ke jendela. "Astaga!" seruku kaget saat melihat siapa yang tengah berdiri di hadapan.

“Hai!” ucapnya tersenyum.

Laki-laki itu, anak yang duduk bersama pada hari pertama kedatanganku dan laki laki itu pula orang yang kepergok tengah berduaan di balik jaket. Apa yang dia lakukan? Apa yang dia inginkan? Apa yang?

Oh tidak, dia menyentuhku! Barusan dia melakukan kontak fisik padaku. Bagaimana ini? Hatiku mengeluh.

"Lagi apa?" tanya laki-laki itu mendekatkan wajah putihnya, dengan tangan yang masih memegang pundakku.

"Minggir!" dorongku, menyentuh dadanya.

"Eh, tunggu dulu!" ucapnya cekatan memegang tangan kecil ini.

Oh, tanganku …. Refleks, aku membanting tangan kerasnya itu dan melirik sejenak ke arah teman se-gengnya. Mereka asyik tertawa disertai siulan-siulan kecil, semakin membuat kuali besar di kepalaku terasa penuh dengan uap kekesalan yang semakin menjadi-jadi.

"Maaf," ucapnya tiba-tiba tersenyum dan melangkah mundur, melepaskan genggaman tangannya. Ya, dia seharusnya memang minta maaf.

"Ssa-sa-saya mau duduk!" ucapku menunduk melangkah ke kanan, tak mau melihat orang yang sudah serampangan berani menyentuh itu. Kulihat Ima terbangun dari posisinya, menatap sama bingungnya.

Bagaimana bisa dia mengganggu orang yang baru sembuh dari sakit ini? Pasti dia tidak waras.

"Boleh bicara nggak?" tanya laki-laki itu menghalangi jalan. Aku menggeleng cepat tanpa menatapnya. Melihat ke arah Ima yang kembali menundukkan kepala. “Sebentar aja," lanjutnya.

"Soal, soal yang waktu itu. Hhm, anggap aja saya nggak lihat! Saya nggak bakal bilang siapa-siapa kok! Tenang aja. Iya," jawabku sok tahu, atau lebih tepatnya salah tingkah.

"Bukan itu kok!" lanjutnya tersenyum. Senyum apa itu?

"Hhh? Lalu? Tt-terus?" Aku menatapnya yang kembali melangkah ke depan dan berdiri beberapa senti di hadapanku.

Tampak pakaiannya tak rapi, ada ujung kemeja putih yang mengintip di balik ikat pinggangnya. Bahkan ada warna kuning aneh, yang keluar mengintip dari sela kancing atas kemejanya.

***

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status