Share

Bab 6 - Ajakan yang Aneh

Setelah menyentuhku, orang itu kini sedang berdiri tepat di sisi meja, dia menghalangiku untuk duduk. Aku menatapnya kesal, cemberut tak jelas dengan sikapnya barusan. Aku melangkah, tapi masih dicegat olehnya.

"Kita belum kenalan secara resmi ‘kan?" ucapnya malu-malu. Apa ini? Apa yang coba dia lakukan?

"Hah? Oh iya, saya tahu kamu kok! Riski sudah jelaskan semua tentang kamu!" ungkapku tiba-tiba percaya diri, dengan nada sedikit kesal.

"Riski?" tanyanya bersandar ke meja. “Dia bilang apa aja ke kamu? Bukan yang aneh-aneh kan?” lanjutnya menatapku lekat.

"Iya, soal ini dan itu …,” jawabku bergerak ke sisi kanan hendak menjauhinya.

“Mau ke mana sih?” tanyanya langsung saja memegang tanganku. Aku bisa merasakan tangannya yang hangat, atau tanganku yang sudah membeku.

Deg.

Rasanya aneh saat dia menyentuh tanganku. Ada emosi yang melonjak dalam diriku saat diperlakukan secara tidak sopan. Tapi, aku tidak bisa marah lagi.

“Tolong, saya mau duduk ya?" tanyaku meminta, menepis lengannya perlahan. Karena meminta dengan amarah diabaikan begitu saja olehnya, jadi kucoba bicara baik-baik dan tentu saja itu berhasil.

"Iya, Nana, silakan!" jawabnya terdengar canggung.

"Oh ya, lain kali jangan seperti itu ya, bukan muhrim! Kamu kan pasti tahu itu," ujarku asal-asalan, sambil melewatinya.

"Oh itu ... iya, maaf ya ...," katanya tampak menyesal.

"Iya!" jawabku pura-pura jutek.

Anak laki-laki itu pun perlahan pergi meninggalkanku, dia berjalan mundur sembari tersenyum. Aku merasa geli dengan wajah anehnya.

Ketika terasa semakin jauh beberapa meter, dia masih terus menatapku, dan entah kenapa aku juga harus terus melihat ke arahnya? Bahkan saat sudah sampai di tempat duduk geng-nya, dia terasa masih saja terus melirik ke arahku.

“Gila,” gumamku mengalihkan pandangan dan menatap Ima yang terdiam.

Aku yakin Ima menyaksikan kejadian barusan, bahkan anak itu tadi menyenggol-nyenggol meja tempat Ima meletakkan kepala berharganya.

Apa ini yang namanya kegeeran? Tapi, aku bisa merasakannya, karena siulan-siulan itu belum berhenti. Entah kenapa, akhirnya aku menoleh ke belakang dan ya ... yang terlihat dia memang sedang menatap dengan senyuman khasnya. Membuat jantung ini, rasanya aneh.

***

Setelah kejadian itu aku menjadi sedikit tidak nyaman bila berada di dalam kelas sendirian, entah tanpa Ani, Ima atau siapa pun. Malu karena dilihatin orang sekelas, marah karena ada laki-laki yang berani pegang-pegang dan kesal karena nggak bisa marah ke dia di depan teman-temannya.

Hah, inilah awal ketidaksukaanku pada kelas ini. Tapi, siapa yang tahu, ini juga menjadi gerbang pembully-an yang 'mereka' lakukan.

***

Akhir bulan kedua, di sekolah baru.

Hari berganti hari, minggu pun tenggelam dalam bulan yang menyapa. Tidak terasa, aku sudah berhasil melewati dua bulan sekolah di tempat ini tanpa ada hal yang menarik lagi. Hanya belajar dan belajar yang bisa kulakukan. Sedikit istirahat agar sakitku tidak kambuh.

Akan tetapi, sebenarnya ada sesuatu yang mengganjal. Selama berhari-hari, dimulai sejak hari itu. Ya, hari saat Indra si anak lelaki yang menyentuhku saat utu. Aku merasa seperti tahanan yang terus-menerus diawasi oleh Yani. Yani adalah teman se-geng anak laki-laki itu. Iya, dia adalah teman dari Indra, Yani semakin semakin hari semakin sering mendekatiku.

Awalnya aku sempat enggan, karena melihat sifatnya yang agak sombong pada Ani dan Ima. Tapi, pada akhirnya kami menjadi akrab secara natural.

Saat mulai akrab dengannya, Yani memberikan saran agar aku mau bergabung dengan geng-nya. Tapi, aku tidak begitu saja menerimanya. Kenapa harus main geng-geng atau tim-tim seperti itu?

Karena jawabanku yang kurang tegas, membuat Yani hampir setiap hari selalu saja begitu, dia terus merayu dan membujuk serta memintaku untuk bergabung dengannya.

Hah! Di zaman yang sudah canggih seperti sekarang dan tempat ini juga sudah termasuk lingkungan perkotaan. Kenapa masih ada yang main geng-geng-an atau kelompok begini! Kan kita bukan lagi anak kecil, kita adalah remaja yang sedang menata masa depan. Tidak perlu lah mengkotak-kotakkan manusia. Semua sama saja di mata Allah.

Karena Yani, aku pun merasa seolah jadi artis dadakan. Hingga pada akhirnya, aku pun mulai bosan dengan ajakan-ajakan yang selalu ditolak baik-baik itu. Jika diibaratkan tong penampungan air, aku ini sudah penuh diisi dengan sejuta ungkapan mutiaranya, yang sama sekali tak menarik bagiku.

"Gimana kamu mau nggak? Mau ya …," ucap Yani memaksa disela-sela percakapan kami. Hah, orang ini teguh sekali!

"Bagaimana ya ... Yan?" Aku ragu, harus memarahinya atau tetap berpura-pura baik.

"Padahal kalau ada kamu di geng kita, pasti jauh lebih seru belajarnya loh, kamu kan pintar. Sudah tiga bulan lebih di sini, setiap dibacakan hasil tes atau ulangan, kamu selalu tuntas dengan nilai yang memuaskan!" ungkapnya mulai memuji habis-habisan.

"Maaf ya, Yani, bukannya aku nggak mau loh. Tapi, aku itu nggak suka kumpul-kumpul seperti itu. Nggak nyaman!" tolakku halus, meskipun sebenarnya aku mulai kesal.

"Tapi 'kan, kita kumpulnya belajar kok! Bukan berbuat yang aneh, daripada kamu kumpul-kumpul sama anak-anak itu," katanya melirik Ani dan Ima yang sedang menuju ke arah kami.

"Aku tahu! Tapi, maaf, maaf banget ... aku rasa teman sekelas ya teman satu kelas, semua yang di sini sama, kita belajar sama-sama. Nggak boleh membanding-bandingkan!" ujarku bersikukuh dengan pendapat sendiri.

"Iih, kamu kok sombong banget sih! Aneh ya, kamu itu. Ditawarin tempat yang bagus, malah sok. Dasar aneh!" serunya marah dan meninggalkanku.

Aku pun hanya bisa terkikik takjub mendengar umpatannya. Setidaknya, mungkin akhirnya dia akan menyerah padaku. Tapi, sombong? Nggak kebalik tuh?

***

Semenjak penolakan itu Yani tidak sering mengajakku main lagi secara terang-terangan. Dia juga sudah berhenti meminjamkan buku padaku. Setidaknya di depan teman-temanku dia tidak berlagak bak orang penting. Tapi, di belakang mereka, Yani masih terus saja membujukku, seperti sales yang sedang mengobral barangnya.

Aku harus benar-benar cukup kuat dan konsisten untuk memutuskan hanya berteman dengan Yani tanpa embel-embel geng atau kelompok. Walau akhirnya, Yani marah. 

Dasar manusia aneh!

***

Bulan ke empat di sekolah baru.

Pagi ini, setiba di sekolah, aku memutuskan untuk pergi menemui teman semasa SMP-ku dulu. Ituloh, Sisi namanya, orangnya lucu, jago menghayal dan polos banget. Kami pernah sekelas waktu SD, tapi, tidak dekat.

Sisi ini merupakan teman yang sangat baik, juga dia cukup profesional untuk menjadi informan terbesar Tri dalam mengobati rasa penasarannya tentang setiap gerak-gerikku. Karena setiap ditanya tentang darimana saja informasi yang didapatkan tentangku, Tri pasti akan menyebut nama Sisi. Duo kepo dan ember bocor terbaik, kolaborasi yang sangat epik.

Aku dan Sisi sering bertemu hanya saat-saat pertama kali aku masuk ke sekolah ini. Hari ini, kami janjian untuk ngobrol berdua saat jam istirahat dan akan bertemu di depan kelasnya saja.

Hah, sudah empat bulan yang lalu ternyata aku masuk di sekolah ini. Tidak terasa sudah lebih dari seminggu Yani tidak menggangguku, karena aku setuju  untuk berteman dengannya. Meskipun, status kami berteman, tapi dia malah mulai berani menyindirku tidak jelas.

***

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status