Share

Bab 7 - Ciye tak Lagi Terngiang

Saat bertemu dengan Sisi sahabat lamaku, aku pun curhat tentang berbagai hal yang kutemui di sekolah ini termasuk masalah Yani. Semua kuceritakan kepada Sisi, tanpa merahasiakan apapun darinya.

"Terus kenapa tidak mau? Kalau gini pasti udah jadi asistennya sekretaris kelas, bukan sekadar teman yang siap disindir melulu tiap hari," tanya Sisi menanggapi curhatanku.

"Malas ah ... asisten? Tak mau lah diriku! Hehehe. Kalau kumpul-kumpul seperti itu yang ada bukannya belajar, Sisi … malah bercanda, gosip atau pacaran. Mending nggak usah lah!" jelasku.

"Iya sih, betul juga!"

"Oh ya, kamu belum beritahu apa-apa ke teman sekelasku ‘kan?" Aku tiba-tiba mengingat sesuatu.

"Tentang itu? Tenang aja, hanya teman-teman kita yang tahu. Kepala sekolah juga sudah minta teman-teman kelas sebelas untuk pura-pura tahu siapa itu Nana Rahayu. Kan ada si Pak Bos juga tuh!" bisiknya.

"Pak Bos? Hah? Kakak itu, sekolah di sini?" Aku terkejut dan hampir saja berteriak.

"Iya!” Sisi menyipitkan matanya.

“Kok aku belum pernah ketemu dia ya?” celetukku tersenyum.

“Orangnya sibuk kali. Oh ya, kenapa semuanya jadi begini sih? Kok kamu nggak cerita yang terjadi ke teman-teman di kelas kamu?" tanya Sisi mempertanyakan sebuah masalah yang sedang berdiam dalam sekam dan kapan saja bisa berkobar ke permukaan.

"Gara-gara Bu Lisa!" Aku teringat kelakuan Ibu Lisa. "Makanya aku ikut aja," lanjutku mendadak lemas.

"Ya, kalau keputusan Bu Lisa kayak gitu. Ikutin aja, dia pasti cuma mau melindungi kamu. Kalau mereka tahu kamu dari asrama, habis kamu dikerjain sama Yani dan yang lainnya itu," ujar Sisi terdengar bijak. Aku mengangguk mengerti. “Tapi, semua baik-baik saja ‘kan?” lanjutnya memasang wajah khawatir.

“Iya, Insyaallah akan tetap seperti sekarang,” jawabku tertawa dan menggandeng tangannya.

Sungguh tak terasa, kami hampir menghabiskan waktu istirahat, hanya dengan mengobrol tidak jelas di luar kelasnya. Aku hanya bisa curhat tentang beberapa hal kepada Sisi.

Anak perempuan yang kulihat tempo hari, tak sengaja lewat di depan kami. Ingatanku pun melayang, kembali menuju ke hari sial itu. Hari yang sebenarnya jadi salah satu pemicu yang mengurangi minatku bergabung dengan geng Yani.

Dia tampak santai saja saat melewatiku. Tatapannya juga biasa saja saat bertemu mataku, seolah aku tidak pernah memergoki kelakuannya. Apa hanya aku di sini yang merasa tidak enak? Aneh!

"Oh ya, Sisi? Kemarin aku ngobrol sama Alan!" ucapku teringat sesuatu saat melihat perempuan di balik jaket tadi lewat di depanku.

"Kenapa?" Sisi mendadak serius.

"Dia minta aku untuk berhati- hati loh! Itu kok bisa sih? Emangnya ada apa? Kenapa?" Aku bertanya-tanya sembari membengkokkan bibir kecil ini.

"Ooh, soal tantangan gila? Mungkin! Katanya ada PDKT-an gitu! Ada apalah gitu?” jawabnya membuatku mengangguk-angguk. “Terus hubungannya sama kamu apaan?" Sisi selalu pasang wajah polosnya untuk waktu seperti ini.

"Iya, kata Alan, kita semua harus hati-hati dan cewek-cewek yang polos jangan sampai jadi korban modusannya mereka, apa lagi kelas dua belas noh!" ungkapku tak sengaja menunjuk seseorang. "Eh, kak Iwan!" sapaku mendadak kegirangan saat melihat sosok yang berjalan ke arahku.

"Nana?" panggil lelaki berambut rapih dan tersenyum ramah saat melihatku. Dia berjalan pelan menghampiri kami, saat melihatnya seolah ada musik romantis yang terngiang di telingaku dan Sisi.

"Iya," jawabku bergegas langsung berdiri. Sisi mengantarkanku dengan kata Ciye.

"Oh ... jadi kata guru-guru waktu itu, kamu masuk lagi beneran?" tanyanya perhatian, dengan nada suara yang sedikit dikeraskan. Sengaja. Dasar pembual!

"Iya ...," jawabku tersipu, ini kode keras untuknya. Dia tersenyum padaku, membuat kenangan kami berdua hadir dalam ingatan. "Oh ya, kak Iwan udah pindah rumah ya? Kok Nana nggak tahu sih, tante Siska juga nggak ngabarin," lanjutku, dia hanya mengangguk.

"Ya begitulah. Oh ya, Hijab ini hanya di sekolah atau?" tanya kak Iwan tiba-tiba mempertanyakan tentang hijabku.

"Ini? Insyaallah, bisa bertahan sampai rumah juga, Kak. Lagi usaha nih," jawabku menunduk.

"Oh ya ... keep the secret ya …," ujarnya merapikan jilbabku yang agak miring. Sembari tersenyum manis. "Aku pergi ke ruang guru dulu ya, mau persiapan pemilihan Ketua OSIS! Kita ngobrolnya kapan-kapan aja ... soal ini dan ... itu," jawabnya pergi. Aku tertawa mendengar ucapannya.

"Iya, sukses ya, kak! Terima kasih loh." Aku melambai ringan padanya, oh ... Pak Bos-ku.

"Ciye ciye, ada yang bertemu First Love-nya nih!" sela Sisi terdengar mengganggu. Anak ini, terkadang selalu tepat dalam mengetahui kapan seharusnya membuat aku salah tingkah.

"Apa? First love? Apaan sih! Nggak lah, dia 'kan cuma kakak kelas aja! Apa-apaan coba?" sanggahku.

Aku terus menatap punggung Kak Iwan, yang entah kenapa tampak sangat keren di mataku ini. Astaga, apa ini? Mata! Aku harus belajar menundukkan pandanganku. Harus. Tapi, aku yang selalu berkoar tentang bukan muhrim. Justru, hanya terdiam saat dia merapihkan jilbabku.

"Ciye ciye!" lanjutnya lagi tiba-tiba berdiri sejajar denganku.

"Sisi! Stop, ah … apaan coba?" tegurku menyenggol bahu Sisi yang terus saja menggodaku. Melihat Sisi yang belum puas menggoda, aku pun memutuskan meninggalkan orang gila itu dan kembali ke kelas. Saat aku pergi eninggalkannya, Sisi masih setia berdiri di depan pintu ketika kuintip sejenak.

Ya, kak Iwan merupakan orang yang dekat denganku dulu, kami pernah menjadi tetangga. Dia selalu bersikap baik, bahkan terkadang temannya dan temanku mengira kami pacaran. Padahal dia sudah punya pacar dan aku sendiri, memang tidak tertarik untuk pacaran.

Membiarkan kesalahpahaman, menjadi bahan hiburan tersendiri bagi kami. Saat mereka mengira kami pacaran dulu zaman SMP, aku sedikit aman dari godaan teman-teman lelaki yang suka mengganggu.

Meskipun teman dekat tahu kami tidak pacaran, mereka ternyata menikmati support perhatian dari kakak kelas kami dan hubungan indah itu berakhir saat kata ciye tak lagi terngiang.

***

Setelah hari pertemuanku dengan kak Iwan, aku dan dia sering bertemu di depan kelas. Entah itu kelasku atau kelasnya, bahkan beberapa kali kak Iwan datang ke kelasku bersama Alan dan Sisi.

Tentu saja, hal ini mengundang tanda tanya bagi teman-teman sekelas yang tidak mengenal masa laluku. Tapi, aku biarkan saja, menjelaskan sesuatu hal pada orang yang ingin tahu, sama dengan menumpahkan air dari keran ke Padang pasir. 

Tidak terasa, sudah satu semester aku berada di sekolah ini. Semuanya memang terasa berjalan dengan cepat. Tiga bulan setelah masuk ke sekolah aku sempat, masuk-tidak masuk sekolah karena  sakit. Tapi, selama beberapa minggu ini aku sudah merasa pulih, sudah merasa bisa beradaptasi dengan lingkungan di tempat ini dan membuatku semakin aktif ke sekolah, aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali sakit. Ah, senangnya.

***

Awalan semester dua.

Setiap hari, OSIS menggerakkan para ketua kelas untuk memeriksa murid-murid yang melakukan pelanggaran. Dari sekian banyak aturan, aturan larangan membawa ponsel adalah hal yang paling dibenci anak-anak.

Namun, hari ini aku membawa ponsel ke sekolah, karena kebetulan hari ini kelas kami tak ada razia ponsel. Aku dengar, OSIS mengijinkan kami membawa ponsel karena ada tugas untuk materi ‘Teknik, Informatika dan Komputer’. Mata pelajaran yang selalu aku anggap remeh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status