Joy menatapku sedikit aneh. Tatapan sendu tapi juga sedikit mengintimidasi. Gadis ini, apa yang sedang ia pikirkan? Apa pertanyaan yang akan ia keluarkan dari bibirnya nanti? Ah, aku seperti memainkan pikiranku terlalu berlebihan sekarang.
"Amel ...."
"Tanyakan saja, kamu ingin menanyakan apa padaku?"
"Tapi aku mohon jawablah dengan jujur."
Luar biasa sekali Joy mempermainkan pikiranku sekarang. Rasa penasaran semakin bergejolak. Padahal, ia bisa saja langsung mengeluarkan sebuah kalimat tanya, bukan? Apa semua ini sengaja?
"Apa ... kamu membenciku?"
"Ha?"
"Aku tanya, apa kamu membenciku?"
Aku diam. Aku harus memastikan kalimat yang baik untuk membalas pertanyaan seperti itu. Sungguh, itu adalah pertanyaan yang aku sendiri tidak yakin, apa aku membencinya atau tidak.
"Mengapa kamu bertanya seperti itu?" Muti lalu menyela seperti biasanya.
"Aku bertanya pada Amel."
"Maksudk
Aku memandangi langkah kaki Joy yang meninggalkan kami di gedung UPT. Gadis cantik itu pergi bersama seorang temannya yang tiba-tiba datang. Kalimat terakhirnya membuatku berpikir. Apa ia bisa merasa kesepian saat semua perhatian tertuju padanya? Ah, Mungkin. Atau ... ada sebuah rahasia yang tidak bisa ia ceritakan padaku. Aku bukan orang yang dekat dengannya namun, aku juga bukan orang yang sangat membencinya. "Setelah mendengar pengakuan gadis itu aku sedikit merasa kasihan," tutur Muti yang juga memandangi punggung Joy yang perlahan menjauh. "Apa ia sedang kesulitan?" "Lain kali kamu perlu bermain dengannya. Oh iya, bagaimana kalau kita ke kantin? Semua berkasmu sudah selesai, bukan? Artinya kita punya waktu dua minggu sebelum menuju lokasi penempatan KKN. Ah, sangat tidak sabar mengabdi pada masyarakat," ujar Muti sangat bersemangat. "Ya tentu saja kamu sangat bersemangat. Kamu akan menemukan cinta di lokasi KKN nanti."
Sinis, sebuah tatapan dari mata gadis di depanku. Aku memandang wajahnya sembari mencari sesuatu yang ia sembunyikan. Aku tahu orang bisa berubah dengan cepat. Namun, ini terlalu cepat. Apa yang telah aku lakukan? Apa aku pantas mendapatkan ini semua?"Ceroboh sekali," ucapnya lagi lalu beranjak pergi."Hei!" Muti langsung meneriakinya saat Joy meninggalkan kami."Sudah, Mut. Dia juga sudah pergi," kataku sambil menenangkan Muti. Muti menepis tanganku yang berusaha menahannya. Ia berjalan mengikuti langkah Joy. "Mut ....""Gadis itu harus tahu bagaimana memperlakukan orang lain. Dasar orang munafik. Memang kamu salah menumpahkan minumannya, tapi itu kan tidak sengaja.""Biarkan saja, aku juga tidak mengapa. Jangan memperkeruh suasanan deh," bujukku. Ya untung saja saat ini juga sepi mengingat masih pagi. Seandainya kantin seramai jam makan siang mungkin akan sangat beda jadinya.Muti terlihat sangat tidak senang. Ia m
Dua minggu berlalu, kini saatnya kami akan menemui teman-teman satu kabupaten untuk briefing sebelum menuju posko KKN. Entah berjodoh atau bukan, aku, Muti, Cintia bahkan Joy berada dalam lokasi yang tidak begitu jauh. Memang sih berbeda desa, namun masih dalam satu kabupaten. Semoga saja nantinya, aku tidak satu desa dengannya. Oh iya, memang aku akan tidak satu desa. Aku lupa bila secara garis besar aku berada dalam dunia yang sepertinya pernah aku lalui. Ah, aku merasa seperti seorang peramal sekarang.Joy duduk di sudut sebelah sana. Ia sudah datang terlebih dahulu dibanding mahasiswa yang lain. Tidak perlu diragukan lagi bila kehadirannya memang membuat mata para lelaki segar. Aku juga tidak heran bila beberapa anak lelaki yang berada di sana diam-diam tengah membicarakannya."Aku mau duduk di sana saja," kataku sembari melangkah mendekati Joy."Di sini saja, toh supervisor kita juga belum datang." Seperti biasa Muti tidak meng
"Jadi, apa yang kalian bicarakan tadi?" tanya Muti segera saat aku masuk dalam mobilnya. Cintia juga ada di sana dan menatapku penasaran."Um ... ya bicara seadanya. Memangnya mau bicara, ngomong, talk sesuatu yang spesial?" tanyaku balik pada Muti."Males ngomong sama Amel ya gini ... pura-pura tidak mengerti apa yang aku maksud. Ya dah kalau enggak mau kasih tahu dengan jelas. Betewe kita ke toko Murah Bahagia yuk, beli beberapa makanan yang bisa dibawa besok," ajak Muti sambil melajukan mobilnya. Ia sedikit keasl mendapati jawaban yang menurutnya tidak memuaskan."Kalau aku sih ikut Muti saja, penumpang gratis." Cintia membalas sambil memainkan salah satu aplikasi dalam ponselnya sekarang."Ya dah, aku juga oke kalau begitu ... ayo belanja.""Mel ....""Ya, ya, ya ... Joy meminta maaf padaku tadi. Clear ya.""Nah, gitu kan enak ... tidak berbelit-belit kalau ditanya.""Iya Ibu Muti ...."
11 Agsutus ....Dari : Muti SastraAmel yuhu ... selamat pagi, ayo bangun! Aku yakin kamu bahkan belum siap-siap. Ingat, sebentar sore kita sudah harus berkumpul di kampus. Aku sudah tidak sabar berpetualang di lokasi tempat kita mengabdi.Begitulah isi pesan yang kirimkan Muti. Akhir-akhir ini menurutku ia semakin cerewet dan suka menyuruh ini itu. Entah apapun alasannya, bagiku terlihat berlebihan. Aku tetap berterima kasih tentang berkasku yang selesai karena campur tangannya, sih.Dengan malas aku membalas pesan dengan sebuah kata, ok.Sesuai dugaanku, tidak berselang lama Muti menelepon. Aku bahkan sudah tahu apa yang mau ia sampaikan."Apa-apaan? Hanya sebuah kata dan cuma 'ok'? Tolong ya Amel bersikap lebih peduli!" protesnya melalui telepon.Aku tertawa kecil. Ia benar-benar tidak seperti Muti yang aku kenal saat pertama kali kami bertemu. Apa Muti dan aku sudah bertukar ji
Selesai dengan kegiatan mandiku, aku segera menganti pakaian yang juga sudah kubawa ke dalam kamar mandi. Sesudahnya, aku memakai skincare.Muti masih seperti tadi yang masih terus mengeluarkan rasa kesalnya dalam bentuk omelan."Duh, siapa sih menelepon terus? Amel ponselmu sedari tadi berdering.""Biarkan saja. Palingan orang tuaku yang mau menanyakan kabar. Nanti akan aku kabari bila keadaan sudah memungkinkan," balasku sambil mulai mengeringkan rambut. "Mut, perlu bantuan?"Muti menunjukkan mata elangnya sekarang. Sebuah tatapan penuh intimidasi."Apa aku terlihat butuh bantuan? Tentu ....""Huahaha, aku akan membantumu.""Membantuku? Ngaca dong, saat ini akulah yang sedang memabntumu, Mel.""Iya, iya ... terima kasih Muti yang cantik, baik, rajin cari uang dan juga menghabiskannya ....""Yang terakhir tolong dihapus saja."Ponselku terus berdering."Jadi penasaran kenapa berder
Setelah suara riang itu, muncullah sosok yang sudah bisa aku tebak. Cintia muncul dengan senyum manis. Gigi ginsul miliknya juga tak kalah eksis tatkala ia melebarkan senyumnya."Lha? Perasaan tadi lagi menelpon sekarang sudah ada di sini." Langsung saja sebuah pertanyaan terlontar dari bibirku."Kan aku sambil menelepon sambil jalan. Aku mau kasih ini," balas Cintia."Wa ... tumben amat bawa makanan.""Firasatku sih si tukang tidur ini belum makan dari pagi. Aku tuh kayak orang gila dari tadi ye menelepon tapi tidak ada respons. Mau lihat berapa jumlah panggilan tak tgerjawab yang aku berikan?""Hm ... nih. Segini, kan?"Cintia menepuk dahinya. "Untung kamu jomblo ya, kalau tidak sudah dituduh macam-macam sama pacarmu itu ... bisa-bisanya enggak angkat panggilan hingga segitu banyaknya.""Iya, untungnya aku jomblo.""Ehm ... bukannya aku mau protes atau gimana nih ya ... tapi bagaimana caranya aku
Singkat cerita ... aku sudah selesai dengan segala keperluan yang semestinya aku bawa. Muti juga sudah berpulang ke kediamannya, begitu pula Cintia. Kami masih memiliki kurang lebih tiga jam untuk mempersiapkan atau hanya sekedar melakukan pengecekkan terakhir. Kata orang, sesuatu yang terburu-buru itu tidak baik. Ya, aku percaya itu. Aku mulai melihat detail kecil di kamar kosan. Memeriksa dan sekali lagi semua benda-benda yang akan kutinggal selama dua bulan itu akan baik-baik saja nantinya. Kalau seperti ini, apa baiknya kalau aku mengirim barang-barangku ke rumah saja? Ah, sudah terlambat rasanya. Sayang sekali bukan, bila harus membayar uang sewa selama dua bulan full namun tidak ditempati. Aku mengecek kembali ponselku lalu menghubungi Ibuku. Rasanya sedikit aneh, hari ini Ibu bahkan tidak menghubungiku. Sekali, dua kali ... hingga panggilan ke tiga. Aku mulai gelisah. Ada apa gerangan? Tidak menyerah, aku putuskan untuk menghubungi Ayah. Sa