“Ah … memang seperti itulah seharusnya. Mereka para orang dewasa jelas lebih tahu tentang apa yang harus dilakukan dan tidak. Memangnya aku ini apa?” ucapku tanpa sadar. Itu adalah kalimat yang aku keluarkan setelah menanggapi kalimat Muti.
“Hei, sekarang kenapa lagi? Apa ada sesuatu yang terjadi pada orang tuamu?” tanya Muti sangat penasaran dengan ucapanku tadi.
“Hm … ya begitulah. Pada intinya adalah … untuk anak-anak yang belum menghasilkan uang seperti kita ini alangkah lebih baik jika menurut saja.”
Terang saja, apa yang aku katakan itu tidak memberikan sebuah alasan yang cukup untuk membuat mereka mengerti—atau mungkin sebenarnya mengerti. Seperti itulah pandangan orang-orang pada anak-anak mere
“Kalian berdua lagi ngapain, sih? Kayak orang TBC saja!”Cintia muncul tiba-tiba setelah puas membaca sebuah buku. Aku dan Muti hanya bisa tertawa melihatnya. Itu sangatlah lucu melihat wajah Cintia yang masih menyimpan rasa ingin tahu. Jelas saja dan aku sangat mengerti tentang itu. Namun, rasanya seperti diinterogasi untuk apa yang mau aku lakukan. Memangnya salah bila aku tertarik dengan sebuah buku?Kami benar-benar menikmati saat-saat kebersamaan ini. Mungkin saat tua dan sudah hidup masing-masing, sangatlah sulit untuk berkumpul. Anggap saja, kami membuat kenangan sebanyak-banyaknya.“Hahaha! Itu lucu sekali!”“Hei! Jangan menambah
Tidak bisa! Semua ini tidak bisa aku diamkan begitu saja! Muti dan Cintia sudah harus mengetahui kisah ini dengan segera! Semua itu ada dalam pikiranku. Tentang si penghuni baru yang sedikit ambisius dengan perkuliahannya dan juga bagaimana ada seseorang yang akhirnya menempati ‘kamar keramat’ di ujung sana.Aku tak mau menunggu lama, segera kuambil ponselku dan mulai mencari nomor kontak Muti dan Cintia. Panggilan grup adalah rencanaku. Mungkin, ini akan menjadi sebuah percakapan yang akan sangat panjang. Who knows!Satu panggilan ….Dua panggilan ….Tiga panggilan ….
Tidak lama kemudian, aku juga menaiki angkot lainnya. Hm … bisa dibilang, ini adalah sebuah terminal, tapi bukan juga untuk bus. Mungkin memang sengaja dibuat untuk pemberhentian para pejalan kaki sembari menunggu angkot yang datang. Apapun itu, intinya tempat ini cukup aman karena banyak ibu-ibu yang sama menunggu. “Neng mau ke mana? Ini sudah cukup malam,” tanya seorang ibu-ibu yang duduk di sampingku. Mungkin benar bila aku bisa saja mengabaikan pertanyaannya. Lagipula, aku juga tak mengenalnya. Namun, apa bisa aku melakukan itu? Aku rasa, tidak. Di dunia ini ada beberapa norma yang berlaku. Coba saja kalau tidak membalasnya, kira-kira apa yang ada di dalam pikirannya atau bahkan penumpang yang lain? &nb
Semua mulai terasa semakin aneh. A40 dengan segala tingkahnya sedikit mengintimidasi. Lalu, bagaimana dengan keadaan teman-teman kos lainnya? Di mana mereka berada sekarang? Bagaimana kondisi mereka? Tidak ada yang bisa menjelaskan keadaan ini padaku ataukah memang benar seperti yang dikatakan oleh A40?“Orang-orang di tempat ini sudah tidak ada. Sejak awal aku sudah mengatakan padamu, kan … kalau aku akan melindungimu.”“Omong kosong macam apa lagi ini? Apa kamu sekarang sedang main-main denganku? Aku enggak suka, ya!” Aku mulai membentak. Sejujurnya, aku sangat takut dengan keadaan ini. Namun, bila terlihat ketakutan, rasanya hanya akan semakin membuatku menjadi tidak konsentrasi.“Huahaha! Amel … Amel ….”
Satu malam akhirnya berganti. Hari ini aku beserta dua sahabatku sudah berjanji untuk ke kampus. Ya … tidak ada urusan lain selain skripsi yang sudah harus diselesaikan. Setelah KKN, aku ingat kami masih kuliah dengan sangat normal. Jadi, kalau boleh dikatakan, masa KKN itu adalah hari libur semester kami yang ‘terpaksa’ dikorbankan. Hm, sedikit tidak adil memang rasanya. Ah, apa yang aku pikirkan tentang KKN? Itu kan sudah lewat. Baru saja aku selesai bersiap-siap, benar saja, Muti bahkan sudah ada di lantai satu. Gadis itu memang terlalu bersemangat! Aku harus salut padanya tentang skripsi ini. Sembilan bulan telah berlalu setelah aku menyelesaikan seminar proposal. Ujian hasil dan sidang akhir sudah menunggu. Mungkin benar bila aku terlalu bersantai. Kali ini, aku harus mengikuti jejak Muti. Ia selangkah lagi sudah melepas gelar sebagai mahasiswa, sedangkan aku … masih ada dua tahap lagi.
Pembicaraan ini jelas menjadi jauh lebih serius. Aku tahu, sudah banyak sekali biaya yang dikeluarkan oleh kedua orang tuaku selama membesarkanku. Mungkin, bagi mereka, bila aku hanya menjadi seorang ibu rumah tangga, aku tak bisa menghasilkan uang.Di jaman seperti ini, semua kebutuhan semakin mahal. Tidak ada yang bisa menjamin bila kehidupan rumah tanggaku akan baik-baik saja bila hanya menjadi ibu rumah tanggah. Haha! Apa-apaan ini? Mengapa juga pikiranku sudah sampai sejauh ini? Pacar saja tak punya, mengapa sangat percaya diri sekali mengatakan tentang sebuah pernikahan?“Mama itu kadang berlebihan, deh! Kalau aku menikah dengan orang kaya raya tujuh turunan, bagaimana? Buat apa kerja? Yekaaaan … kan suamiku kaya. Aku tak perlu susah payah mencari uang,” kataku dengan penuh percaya di
Saat kami sedang bercengkrama, ayah akhirnya datang. Dengan satu kantong plastik besar di tangannya, aku sudah tahu salah satu benda yang dibelinya. Itu adalah popok seperti yang dikatakan oleh ibu. Lalu, kira-kira apa yang sisanya?“Akhirnya Papa datang. Apa Papa juga membeli makanan?” tanyaku. Mataku tak bisa lepas dari kantong itu.“Anak ini … sama sekali tidak berubah. Ah, sayangnya Papa hanya membeli barang yang dibutuhkan oleh si bayi. Kalau kamu mau jadi bayi kembali sih … tidak apa-apa.”“Hahaha! Aku memang masih bayi, bayi umur dua puluh … eh dua puluh satu tahun ini ….”“Mana ada bayi umur dua puluh satu!”
Bisa kulihat bagaimana Nagita sedang lemah. Ini sedikit membuatku tersentuh. Kasihan sekali, dia pasti sangat merasa kesepian di saat sedang sakit seperti ini. Tidak ada yang lebih menyedihkan dari anak kos yang sedang sakit. Ah, tidak juga sebenarnya kalau tentang Nagita. Ia masih memiliki uang yang banyak. Sangat berbeda kenyataannya bila ia tidak memiliki uang juga. Lebih kombo penderitaannya kalau sakit dan tak punya uang. Aku benar, kan?“Nagita … kenapa?”“Apa kamu sudah memesankan makanan? Tolonglah, aku sudah sangat lapar.”Saat kalimat itu keluar dari mulutnya, aku langsung terkejut. Benar, aku melupakan tentang satu hal itu. Aku merasa tidak enak pada Nagita sekarang. Hm