Satu malam akhirnya berganti. Hari ini aku beserta dua sahabatku sudah berjanji untuk ke kampus. Ya … tidak ada urusan lain selain skripsi yang sudah harus diselesaikan. Setelah KKN, aku ingat kami masih kuliah dengan sangat normal. Jadi, kalau boleh dikatakan, masa KKN itu adalah hari libur semester kami yang ‘terpaksa’ dikorbankan. Hm, sedikit tidak adil memang rasanya. Ah, apa yang aku pikirkan tentang KKN? Itu kan sudah lewat.
Baru saja aku selesai bersiap-siap, benar saja, Muti bahkan sudah ada di lantai satu. Gadis itu memang terlalu bersemangat! Aku harus salut padanya tentang skripsi ini. Sembilan bulan telah berlalu setelah aku menyelesaikan seminar proposal. Ujian hasil dan sidang akhir sudah menunggu. Mungkin benar bila aku terlalu bersantai. Kali ini, aku harus mengikuti jejak Muti. Ia selangkah lagi sudah melepas gelar sebagai mahasiswa, sedangkan aku … masih ada dua tahap lagi.
<Pembicaraan ini jelas menjadi jauh lebih serius. Aku tahu, sudah banyak sekali biaya yang dikeluarkan oleh kedua orang tuaku selama membesarkanku. Mungkin, bagi mereka, bila aku hanya menjadi seorang ibu rumah tangga, aku tak bisa menghasilkan uang.Di jaman seperti ini, semua kebutuhan semakin mahal. Tidak ada yang bisa menjamin bila kehidupan rumah tanggaku akan baik-baik saja bila hanya menjadi ibu rumah tanggah. Haha! Apa-apaan ini? Mengapa juga pikiranku sudah sampai sejauh ini? Pacar saja tak punya, mengapa sangat percaya diri sekali mengatakan tentang sebuah pernikahan?“Mama itu kadang berlebihan, deh! Kalau aku menikah dengan orang kaya raya tujuh turunan, bagaimana? Buat apa kerja? Yekaaaan … kan suamiku kaya. Aku tak perlu susah payah mencari uang,” kataku dengan penuh percaya di
Saat kami sedang bercengkrama, ayah akhirnya datang. Dengan satu kantong plastik besar di tangannya, aku sudah tahu salah satu benda yang dibelinya. Itu adalah popok seperti yang dikatakan oleh ibu. Lalu, kira-kira apa yang sisanya?“Akhirnya Papa datang. Apa Papa juga membeli makanan?” tanyaku. Mataku tak bisa lepas dari kantong itu.“Anak ini … sama sekali tidak berubah. Ah, sayangnya Papa hanya membeli barang yang dibutuhkan oleh si bayi. Kalau kamu mau jadi bayi kembali sih … tidak apa-apa.”“Hahaha! Aku memang masih bayi, bayi umur dua puluh … eh dua puluh satu tahun ini ….”“Mana ada bayi umur dua puluh satu!”
Bisa kulihat bagaimana Nagita sedang lemah. Ini sedikit membuatku tersentuh. Kasihan sekali, dia pasti sangat merasa kesepian di saat sedang sakit seperti ini. Tidak ada yang lebih menyedihkan dari anak kos yang sedang sakit. Ah, tidak juga sebenarnya kalau tentang Nagita. Ia masih memiliki uang yang banyak. Sangat berbeda kenyataannya bila ia tidak memiliki uang juga. Lebih kombo penderitaannya kalau sakit dan tak punya uang. Aku benar, kan?“Nagita … kenapa?”“Apa kamu sudah memesankan makanan? Tolonglah, aku sudah sangat lapar.”Saat kalimat itu keluar dari mulutnya, aku langsung terkejut. Benar, aku melupakan tentang satu hal itu. Aku merasa tidak enak pada Nagita sekarang. Hm
Gadis di depanku ini memang sedikit aneh. Mungkin kebaikan yang aku berikan langsung diperhitungkannya dan harus dibalas. Padahal, aku saja sama sekali tidak mengharapkan balasan. Ah, bagaimana caranya agar ia merasa tenang? Apa memang aku harus pura-pura sakit sehingga ia bisa merawatku? Kan tidak mungkin!“Nagita, kamu tak perlu sampai memikirkan hal yang tidak perlu seperti itu, ya. Sungguh, aku sama sekali tidak masalah sudah membantumu selama sakit.” Lagi dan lagi aku berusaha mengatakan yang sebenarnya.“Nanti aku traktir makan saja bagaimana? Azalea? Atau … mau makanan junk food seperti biasa?” tawarnya.“Ya, ya, ya … baiklah &h
Malu dan juga takut. Dua hal itu yang menjadi bagian dari perasaanku saat ini. Sudah sangat terlanjur kalau seperti ini. Tidak ada yang bisa aku lakukan sekarang. Lalu, pilihanya hanya ada dua; membayar atau pergi dari tempat ini. Dari pandanganku juga, wajah dua penjaga di sana sudah berubah. Keramahan tidak ada lagi terlihat di wajah mereka.“Kalau tidak ada uang ya bisa langsung pergi saja.”Bahkan saat mengatakan itu, si penjaga sudah tak mau melihat wajahku lagi. Ah, aku sudah seperti gembel kalau begini. Mengapa aku harus mengalami semua ini? Padahal, awalnya aku hanya ingin menolong seseorang. Dan Joy … di mana ia sekarang? Apa ia benar-benar tidak mau melakukan sesuatu untuk mengambil buku harian yang dimilikinya?
Panggilan itu sudah aku akhiri. Mengapa harus berlama-lama kalau bisa segera pergi mandi dan bersiap-siap? Bukankah Muti-lah yang sedari tadi sangat bersemangat agar kami bertemu secara langsung?Kakiku sudah membawaku ke kamar mandi. Sesuai dengan yang aku katakan tadi, aku akan mandi dengan durasi yang lebih lama dari biasanya. Tidak ada alasan khusus tentang itu, hanya saja, aku hanya ingin membuat kulitku jauh lebih halus dan cerah untuk hari ini.Aku cukup lama bersiap-siap sampai benar-benar sangat rapi. Ini adalah hari yang cukup penting. Setelah hari kemarin. Oke, aku sudah tertinggal satu hari untuk bersemangat dengan skripsi ini. Setelah urusan dengan Nagita selesai, aku bisa dengan sangat santai ke kampus.Baru saja satu langkah dari kamar, aku melihat Nagita berjalan ke arahku. Ah, mungkin ha
Percakapan kami tentang ‘Jodoh masa depan Amel’ masih terus berlanjut. Aku sih bisa memahami mengapa kedua orang tuaku terkesan jauh lebih pemilih sekarang. Sudah ada sebuah contoh yang sangat nyata tentang kegagalan seorang gadis mengatur perasaannya. Itu adalah Joy. Ah, rasanya terus mengungkit kesalahan Joy membuatku sedikit tidak enak.“Sudah sampai,” kataku. Padahal jelas-jelas belum benar-benar tiba.“Apanya ….”Dan setelah sepuluh menit, kami akhirnya sampai di bandara. Aku masih menggendong bayi mungil itu, sementara ayah, ibu dan Bibi Susana sibuk dengan koper-koper mereka. Ini akan menjadi perjalanan pertama bagi orang tuaku bersama seorang bayi kecil.
“Apa ada pilihan lain? Haha!”Kami jelas akan menghabiskan waktu dengan sangat baik. Muti, Cintia dan aku. Semoga hari-hari yang baik seperti ini akan selalu datang dan menghampiri kami. Tidak banyak yang aku minta dalam hidup. Memiliki teman-teman yang baik di sekitarku saja sudah sangat cukup.“Eh, habis ini kamu mau ke mana?” Muti memulai lagi dengan pertanyaan yang baru. Dia memang bertanya, tapi matanya lurus menatap ke depan.“Mau menyusulmu. Aku akan mengerahkan semua kemampuanku. Lagipula, setelah melihat ambisi Nagita, aku semakin tidak mau kalah. Bisa-bisa, malah dia yang wisuda lebih dulu, hahaha! Kamu kapan mau daftar wisudanya, hm?”