Kendaraan yang berlalu-lalang di bawah sana terlihat begitu kecil di mata biru Nathan. Seakan hal tersebut adalah pemandangan terindah, atensi pria itu tak sedikit pun beralih dari rapatnya lalu lintas yang ia lihat dari rooftop rumah sakit tempat ia bekerja. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya mengapit sebatang rokok yang masih menyala. Matahari yang sudah meninggi seakan terabaikan begitu saja. "Kamu di sini? Semua orang mencarimu, dr. Nathan!" pertanyaan dari suara yang begitu akrab di telinga pria pirang itu sama sekali tidak mengganggunya. Nathan hafal di luar kepala suara berat yang berasal dari belakang punggungnya; tentu suara Arvi."...." Nathan memilih tidak menjawab. Ia justru kembali menghisap sebatang nikotin yang terselip di celah jarinya dengan mata terpejam, kemudian mengembuskan asapnya di udara. Mata biru itu kembali terbuka, pandangannya menerawang jauh di atas awan."Sejak kapan kamu menjadi perokok?" Arvi yang kini sudah berdiri di sampingnya kembali b
Waktu berjalan dengan begitu cepat, namun tidak bagi Nathan. Meskipun terhitung sudah 3 hari berlalu semenjak kejadian malam itu, entah kenapa kepala pirangnya tidak pernah bisa sedikit pun tidak memikirkan Reanna. Tentang perempuan bermata indah dan berambut legam selembut sutra yang ia renggut harta paling berharganya sebagai seorang wanita, kesuciannya.Entahlah ... rasa bersalah dan berdosa selalu saja mendominasi pikiran dan juga hatinya. Apalagi ketika ia teringat momen sebelum peristiwa itu terjadi. Mereka sudah sedekat itu sebagai teman, dan kini ikatan itu terasa memudar dan perlahan menghilang. Sungguh, ia benar-benar menyesal.Reanna, wanita itu sampai detik ini selalu saja menghindarinya, tidak pernah sekali pun mengangkat telepon atau pun sekedar membalas pesan darinya. Tentu saja hal tersebut membuat Nathan hampir kehilangan akal, ia bingung harus bagaimana lagi untuk bisa bertemu dengan Reanna. Ia ingin sekali meminta maaf, sekaligus memperbaiki hubungan mereka.Tetapi,
Nasi padang yang mereka pesan melalui aplikasi Gofood adalah menu makan siang keduanya. Jika biasanya Tisha dan Reanna menikmati makan siang mereka di kafe sebelah, kali ini sepasang sahabat itu memilih untuk mengisi perut mereka di dalam ruangan Carnation florist. Jika dilihat, Tisha memang tampak khidmat menyuap menu makan siangnya ke dalam mulut, namun atensinya tak lepas memperhatikan wajah Reanna. Keadaan sahabatnya itu tak berbeda dari hari kemarin, justru ia merasa bahwa Reanna semakin sering terdiam dan melamun."Kamu terlihat kurang baik hari ini, Re. Wajahmu pucat. Apa kamu benar-benar tidak apa-apa?" setelah meneguk air mineral di botol untuk membasahi tenggorokannya, pada akhirnya Tisha bertanya. "Aku baik-baik saja, Sha. Jangan khawatir." Reanna sejenak tampak mengukir senyum dengan susah payah, meskipun yang tercipta justru senyuman getir. Walaupun nasi padang adalah makanan favoritnya, namun entah kenapa ia merasa tak berselera kali ini. Semuanya terasa pahit di lidah
"Janin dalam keadaan sehat dan berkembang sesuai usia kandungannya. Detak jantungnya pun sudah terdeteksi. Ibu bisa melihatnya sendiri." Nathan berucap seraya menggerak-gerakkan alat pemindai di atas permukaan perut pasiennya, seorang wanita muda yang sepertinya adalah pengantin baru.Sedangkan mata wanita muda itu tampak berkaca-kaca menatap layar USG, berbanding lurus dengan senyuman yang justru terulas di kedua belah bibirnya yang pucat. Sang suami yang berdiri di sisi ranjang tingginya terlihat selalu menggenggam erat tangannya, turut melihat titik yang bergerak-gerak di dalam layar, calon anak mereka.Melihat hal itu, tanpa sadar Nathan tersenyum, mereka pasti sedang sangat bahagia sekarang. Dan entah kenapa ia jadi teringat Reanna, berandai-andai memikirkan kemungkinan bahwa wanita itu tengah mengandung darah dagingnya. Namun, di detik selanjutnya ia menggeleng singkat saat menyadari jika pikirannya mulai melantur ke mana-mana. Yah, meskipun sebenarnya ia tahu bahwa kemungkinan
Senja kali ini terasa murung, sebab awan hitam menggantung begitu pekat di langit kelabu di luar sana. Cuaca kali ini begitu menggambarkan raut wajah Reanna. Setelah menyandang tas selempangnya, wanita itu bergegas menuju pintu keluar florist. "Aku pulang dulu," pamitnya pada Tisha yang berdiri di dekat meja kasir. Namun, sahabatnya itu segera meraih salah satu pergelangan tangannya untuk menahan kepergiannya. Hal yang membuat Reanna menoleh ke arahnya dengan kernyitan di kening."Sebaiknya kamu pulang bersamaku nanti, Re. Dohyun akan segera datang menjemputku menggunakan mobil. Di luar mendung, kamu akan kehujanan di jalan kalau pulang sekarang."Reanna tampak memberikan senyum tipis. Ia tahu bahwa Tisha begitu peduli padanya dan ia bersyukur memiliki sahabat sebaik dia. Tetapi, ia memang berniat ingin pergi sekarang, maka dengan gerakan pelan Reanna mengurai cekalan tangan sahabatnya itu di pergelangan tangannya."Tidak apa-apa, aku memang sengaja ingin menikmati hujan," lirihnya.
Pria berambut pirang itu terdiam cukup lama di dalam mobilnya, menatap awan hitam yang menutupi cahaya jingga senja. Mendung, sama seperti perasaannya saat ini. Seakan alam pun mengerti dengan apa yang ia rasakan di detik ini. Setelah kembali menghela napas panjang sekali lagi, pria itu keluar dari mobilnya dan menuju Carnation florist, seperti biasanya. "Apakah dia datang ke sini hari ini?" pertanyaan yang nyaris serupa ia tanyakan kembali pada gadis sahabat Reanna di depannya, dengan harapan yang sama. Ia ingin sekali bertemu Reanna. "Reanna sudah pulang," jawab Tisha seadanya. Kali ini ia jujur, Reanna memang sudah pulang dari tiga puluh menit lalu. Setelah mengetahui fakta yang Reanna ceritakan padanya beberapa hari lalu, entah kenapa pandangan Tisha pada dokter di depannya ini berubah. Entahlah, ia merasa sedikit kecewa. Awalnya ia mengira jika pria di depannya adalah pria sempurna, pria yang tepat untuk menyembuhkan luka hati sahabatnya. Namun, kenyataan seakan menamparnya
Dinginnya udara malam seakan tiada lagi mereka rasakan. Mengabaikan pakaian keduanya yang lembab karena diguyur hujan, mereka berjalan beriringan berteman kesunyian menelusuri lorong-lorong putih rumah sakit itu, menuju salah satu bangsal tempat Sang gadis kecil di rawat. Tangan kiri besar pria itu meraih tangan kanan Reanna, menggenggamnya. Mencoba menyalurkan energi positif yang tersisa di dirinya pada wanita di sebelahnya. Nathan sangat tahu apa yang Reanna rasakan saat ini, karena ia pun merasakan hal yang sama; khawatir. Gadis kecil kesayangan mereka kini sedang terbaring lemah di dalam sana. Tepat di balik pintu yang saat ini berada di hadapan mereka. Pria itu menekan gagang pintu setelah anggukan kecil ia terima dari wanita di sampingnya. Dan setelah pintu itu terbuka sempurna, terlihatlah sosok Kia yang terbaring dengan memejamkan mata di ranjangnya, dengan jarum infus yang tertancap pada pergelangan tangan kiri mungilnya. Ada Kakek dan Neneknya yang menungguinya di sana, ya
"Anda hanya perlu melupakannya." Setelah beberapa detik mencari jawaban yang menurutnya tepat, pada akhirnya Reanna berucap begitu. Ia masih berusaha mempertahankan senyumannya yang jujur saja justru terlihat menyedihkan.Nathan terdiam mendengarnya. Ia lantas memandang dalam kedua mata indah Reanna—yang terlihat bergerak gelisah ketika mata birunya menatap, sebelum pada akhirnya kata yang begitu mengejutkan meluncur dari bibir merah kecokelatannya."Menikahlah denganku.""Ap—" Reanna speechless. Ia kembali membuka dan menutup mulutnya tanpa suara lengkap dengan tawa sumbang yang justru terdengar memilukan di telinga.Dokter itu melamarnya? Yang benar saja!"Anda tidak perlu menikahi saya, Pak. Itu hanyalah sebuah kesalahan. Saya bisa memakluminya." Reanna menjeda ucapannya sebentar, hanya untuk kembali memaksakan senyuman sebelum melanjutkan. "Lagi pula kita melakukannya hanya sekali, saya tidak akan hamil. Jadi, Anda tidak perlu menikahi saya.""Hamil atau tidak, aku akan tetap meni