LOGINJane Elizabeth Wilson (28) hidup dalam pernikahan dingin bersama Andrew, pria yang dulu dia cintai sepenuh hati. Tapi semua runtuh ketika dia mengetahui rahasia paling keji—suaminya berselingkuh bahkan telah memiliki anak dari wanita lain. Alasannya? “Karena kau tak menarik lagi, Jane. Terlalu kurus, terlalu kusam.” Kalimat itu menancap lebih dalam daripada pisau. Dalam keputusasaan dan luka, Jane memutuskan untuk berubah. Ia melangkah ke gym tanpa tahu bahwa langkah itu akan menuntunnya pada seseorang yang mengguncang hidupnya—Brian Kevin Hall (32), pelatih pribadi yang berkarisma, tegas, dan berbahaya. Di bawah bimbingan Brian, Jane tak hanya membentuk tubuhnya, tapi juga menemukan kembali sisi liar dan percaya dirinya yang terkubur. Namun setiap tatapan, setiap sentuhan, dan setiap desahan saat latihan mulai menyalakan sesuatu yang terlarang. Antara keringat dan bisikan di ruang latihan, mereka jatuh dalam hubungan panas yang tak seharusnya terjadi. Bahkan mungkin tidak bisa lari dari semua yang sudah dimulai sejak awal.
View More“Suamimu selingkuh, Jane. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, dia sedang menghadiri pesta ulang tahun anaknya di hotel.”
Brak!
Pintu aula hotel terbuka dengan hentakan yang membuat semua kepala menoleh. Seketika itu Jane langsung datang ke hotel yang disebut oleh teman kantornya bahwa dia melihat Andrew sedang merayakan ulang tahun seorang anak kecil yang diduga adalah anaknya.
“Tidak mungkin …,” matanya langsung terbelalak menatap Andrew—sang suami yang tengah menggendong seorang anak dengan kue ulang tahun terpampang nyata di hadapannya.
Tiga tahun. Lilin yang menempel di kue ulang tahun itu sudah memberi jawaban bahwa Andrew telah memiliki seorang anak berusia tiga tahun.
Jane membeku di tempat menatap nyalang wajah Andrew yang bahkan tak terkejut sama sekali melihatnya di sana.
“Padahal usia pernikahan kami baru berjalan empat tahun. Itu artinya … perselingkuhan itu dimulai hanya beberapa bulan setelah kami menikah?”
Atau mungkinkah dia yang sebenarnya menjadi selingkuhan?
Pertanyaan itu menghantam kepalanya seperti badai. Jane tidak tahu mana yang lebih menyakitkan. Fakta bahwa Andrew berselingkuh, atau kemungkinan bahwa selama ini dialah pihak yang tak pernah benar-benar dimiliki.
Andrew menatap Jane dengan ekspresi kaku, seolah kehadiran istrinya di pesta anak hasil perselingkuhannya hanyalah gangguan kecil.
“Jane.” Andrew menatap datar wajah Jane.
“Oh, kau datang juga,” ucap Audi dengan nada manis yang dibuat-buat. “Sayang sekali, pestanya hampir selesai. Tapi tidak apa, kau masih sempat melihat suamimu meniup lilin bersama anaknya.”
Ia menekankan kata terakhir dengan kejam—anaknya.
Beberapa tamu saling berbisik menatap Jane dengan tatapan iba bercampur penasaran.
Jane bisa merasakan darahnya mendidih. Air mata sempat ingin turun, namun dia tahan. Dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan suami dan juga selingkuhannya yang telah menyakiti relung hatinya.
“Kenapa kau melakukan ini padaku, Andrew? Apa yang membuatmu mengkhianatiku?” tanyanya dengan suara bergetar sambil mengepalkan tangannya.
Audi menatapnya dari atas ke bawah, lalu tertawa kecil. “Karena kau memalukan, Jane,” jawabnya dengan santai.
“Terlalu kurus, pucat, dan kaku. Kau tidak bisa merawat diri dan akhirnya Andrew, kekasihku, memilih untuk mengkhianatimu,” lanjutnya kemudian terkekeh pelan, kekehan ejekan yang berhasil membuat hati Jane tercabik-cabik.
“Apa benar itu, Andrew? Kau … kau mengkhianatiku karena alasan itu?” tanyanya kemudian.
Andrew hanya menatap datar wajah Jane dan diamnya adalah jawaban bagi Jane.
Jane merasakan dunia runtuh seketika.
Ia dulu percaya bahwa cinta bisa menyembuhkan segalanya. Ia rela menanggung rasa sepi saat Andrew tak pulang, menutup mata terhadap pesan-pesan mencurigakan, meyakinkan diri bahwa semua hanya karena pekerjaan.
Tapi kini dia sadar: dia sedang mencintai seseorang yang bahkan tak pernah menganggapnya cukup.
Jane menggenggam tas kecilnya dengan erat, lalu berbalik tanpa kata. Suara hak sepatunya bergema tajam di lantai marmer meninggalkan aula hotel yang tiba-tiba terasa terlalu sempit untuk menampung air matanya.
**
Jane duduk di bangku taman kota yang sepi tak jauh dari hotel tempat pesta berlangsung. Ia memeluk tubuhnya sendiri sambil mencoba menahan gemetar yang bukan hanya karena udara, tapi karena kehancuran.
Air mata mengalir deras membasahi pipinya. Empat tahun hidupnya terasa sia-sia.
Ia berhenti bekerja selama satu tahun demi mengurus rumah dan mendukung karier Andrew. Ia menolak tawaran promosi hanya agar bisa makan malam bersamanya setiap malam, tapi Andrew tak pernah pulang.
Dan sekarang? Dia bahkan menjadi bahan olok-olokan di depan umum.
“Cukup, Jane,” bisiknya pada diri sendiri, suaranya parau. “Berhenti menangis. Kau sudah terlalu sering dipermalukan.”
Ia menarik napas panjang dan mencoba menenangkan diri. Matanya menatap kosong ke seberang jalan, dan di sanalah dia melihat sesuatu yang membuat jantungnya berhenti berdetak sejenak, sebuah papan iklan besar bertuliskan:
“TRANSFORM YOURSELF. THE BODY, THE MIND, THE CONFIDENCE.” Hall’s Elite Gym — Private Coach Available.
Banner itu menampilkan seorang wanita berwajah tegas dengan tubuh kuat dan percaya diri. Di bawahnya tertulis: “Kami tak hanya melatih tubuhmu, tapi kami membentuk kekuatanmu kembali.”
Jane menatapnya lama. Haruskah dia merubah diri menjadi lebih sempurna? Dia lalu berdiri sambil menyeka air matanya, lalu menarik ponselnya.
“Hall’s Elite Gym …,” gumamnya lirih. Ia lalu mengetik alamat di layar dan memesan kendaraan daring.
Tak lama taksi datang dan Jane langsung masuk ke dalam.
Setibanya di sana. Jane melangkah masuk menuju resepsionis dan langsung disambut dengan hangat oleh penjaga di sana.
“Selamat malam, ada yang dibantu, Nona?” tanya staff tersebut dengan sopan.
“Aku ingin mendaftar program privat,” kata Jane dengan pelan. “Aku ingin pelatih khusus yang bisa membentuk tubuhku jadi ideal. Berapa pun harganya, aku akan membayarnya!”
Resepsionis itu langsung tersenyum lebar. “Tentu. Anda beruntung karena pelatih terbaik kami baru saja selesai kelasnya. Tunggu sebentar, aku akan panggilkan.”
Beberapa menit kemudian, langkah berat terdengar dari lorong. Jane sontak mendongak dan menatap seorang pria berperawakan tinggi, berambut hitam pekat dengan kulit sedikit kecokelatan berjalan mendekat.
Kaus hitamnya menempel pada tubuh yang berotot, dan setiap gerakannya tampak begitu terkontrol. Tatapan matanya tajam namun tampak tenang ketika menatap Jane yang masih berdiri di meja resepsionis.
“Ini dia, Brian Kevin Hall,” ujar resepsionis. “Pelatih utama kami yang sudah profesional dan berpengalaman selama sepuluh tahun."
Brian menatap Jane sebentar, hanya beberapa detik, tapi cukup untuk membuat napas Jane tercekat. Tatapan itu menembus jantungnya yang langsung berdebar tak karuan.
"Selamat datang, Jane. Sudah siap untuk sesi latihan dan membentuk tubuh jadi lebih indah?"
Jane berdiri tegak di hadapan meja kerja John dengan map berwarna biru tua di tangannya.Wajahnya tampak tenang dan profesional, sebagaimana yang selalu ia tunjukkan setiap kali berada dalam ruang kerja atasannya itu.Cahaya matahari sore menerobos masuk melalui jendela besar di balik meja John, memantulkan bayangan samar pada lantai marmer yang mengilap.“Ini laporan perkembangan proyek terakhir,” ujar Jane dengan suara jelas dan terukur sambil menyerahkan map tersebut.“Seluruh tahapan utama sudah berjalan sesuai rencana. Jika tidak ada kendala berarti, proyek ini dapat dinyatakan selesai dalam beberapa minggu ke depan.”John menerima map itu dan mengangguk singkat. “Baik,” ucapnya.Dia lalu membuka dokumen tersebut sekilas dan memeriksa halaman-halaman awal dengan tatapan serius. “Kau sudah memastikan semua detail teknis dan administrasi terpenuhi?” tanyanya kemudian.“Sudah,” jawab Jane mantap.“Untuk penjabaran yang lebih rinci mengenai aspek teknis dan anggaran akhir, sekretaris
Setelah hampir satu jam penuh duduk termenung di balik meja kerjanya, James akhirnya menghela napas panjang.Jemarinya saling bertaut, keningnya berkerut seolah beban pikirannya belum juga menemukan jalan keluar.Keributan yang terjadi di area gym sebelumnya masih terngiang jelas di kepalanya. Sebagai manajer, ia tidak bisa membiarkan situasi tersebut berlarut-larut dan mengganggu kenyamanan member lain.Dengan langkah berat namun mantap, James keluar dari ruangannya dan menghampiri Clara yang masih berada di area tunggu gym. Perempuan itu tampak gelisah, berdiri sambil memeluk tasnya dengan raut wajah penuh amarah.“Clara,” panggil James dengan suara tenang namun tegas.Clara menoleh cepat. “Akhirnya,” ucapnya tajam. “Apa keputusan kalian?” tanyanya dengan suara angkuhnya.James menarik napas dalam sebelum berbicara. “Setelah mempertimbangkan situasinya, aku harus menyampaikan bahwa sebaiknya kau tidak perlu datang lagi ke gym ini.”Perkataan itu membuat mata Clara membelalak. “Apa?”
Clara melangkah masuk ke dalam area gym dengan napas sedikit terengah. Aroma khas karet, besi, dan keringat bercampur di udara, suara dentingan alat angkat beban terdengar bersahutan.Pandangannya segera tertuju pada sosok Brian yang tengah berdiri di tengah ruangan, memberikan instruksi kepada beberapa member dengan sikap profesional dan penuh fokus.Tanpa ragu, Clara melangkah mendekat. “Brian,” panggilnya dengan suara tegas.Brian menoleh sekilas, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada member yang sedang ia latih.Setelah sesi itu selesai, barulah ia menatap Clara dengan ekspresi datar. “Ada apa?” tanyanya singkat.Clara menarik napas, berusaha menahan emosinya. “Aku datang lagi untuk meminta hal yang sama. Aku ingin kau yang melatihku,” ucapnya tanpa basa-basi.Brian menghela napas pelan, seolah sudah menduga permintaan itu akan terulang. “Aku sudah menjelaskan sebelumnya, Clara. Masih banyak pelatih lain di sini yang bisa membantumu. Mereka juga kompeten.”“Aku tidak mau pelat
Jane menarik napas panjang sebelum akhirnya menegakkan bahunya. Tatapannya yang semula tertunduk perlahan terangkat, menatap Brian yang berdiri tepat di hadapannya dengan sorot mata penuh harap.Udara di antara mereka terasa berat, seolah sarat oleh kata-kata yang belum terucap, oleh perasaan yang berusaha ditekan namun terus mendesak untuk keluar.“Aku minta maaf, Brian,” ucap Jane akhirnya, suaranya terdengar tenang tetapi mengandung kelelahan yang mendalam. “Aku tidak bisa.”Brian mengerutkan kening, jelas tidak puas dengan jawaban singkat itu. “Tidak bisa apa, Jane?” tanyanya lirih, tetapi tegas. “Kau bahkan belum memberiku kesempatan untuk menjelaskan.”Jane menggeleng perlahan. “Aku tidak ingin memikirkan soal pernikahan. Bukan sekarang, bukan nanti. Bahkan setelah aku resmi berpisah dengan Andrew sekalipun.”Kalimat itu meluncur dari bibirnya dengan mantap, meski hatinya bergetar. “Aku tidak ingin mengikatkan diri lagi dalam hubungan semacam itu.”Brian refleks menahan tangan J






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviews