Share

5. Salah Satu Rahasia Mereka

Hari ini matahari terlihat lebih terik dari biasanya.

Vincent Everlasting duduk dengan bosan di pinggir lapangan, menatap anak-anak yang sedang berolahraga di tengah lapangan, ketika beberapa anak gadis menatapnya dengan terpesona.

Mau dilihat dari sisi manapun Vincent adalah anak lelaki yang rupawan, bisa dibilang dialah yang paling tampan di sekolah asrama ini. Iris matanya yang sewarna scarlet menghiasi mata tajamnya, rambut pirang keemasannya dengan potongan mullet, kulitnya putih bersih. Sepertinya memang semua anggota keluarga Everlasting dianugerahi kecantikan Dewa-dewi.

Kalau bukan karena dia selalu berdekatan dengan saudara-saudaranya yang suram mungkin anak lelaki itu sudah menjadi idola semua gadis. Gosip bahwa keluarga mereka mungkin dapat berubah menjadi tua dalam sekejap membuat tak ada yang mau mendekatinya. Terlebih dengan sikap dingin dan tatapan mematikan anak lelaki itu.

Vincent menatap sebuah bola base yang menggelinding ke arahnya, dengan wajah yang sama sekali tak tertarik. Seseorang dari kejauhan melambai ke arahnya, dan itu adalah Francisco Mendoza. Anak lelaki dengan kulit kecoklatan dengan tubuh tinggi, salah satu atlet baseball terkenal di sekolah itu, dan dia satu kamar asrama dengannya.

"Oy! Kesinikan bola itu," teriaknya sambil terus melambai.

Vincent bingung, dia harus melemparnya atau membawanya di tengah terik begini? Kalau dia melempar, dia takut tangannya akan sengaja mengenai wajah lelaki itu. Walau itu kedengarannya bagus juga. Tapi, dia tak mau membuat drama dipagi hari, sudah cukup dengan kejadian hari itu.

Victoria membawa anak baru itu ke hutan di belakang sekolah, untung saja Vincent lebih cepat dari siapapun di keluarganya. Dia berhasil menemukan adik kembarnya itu sebelum semuanya terlambat.

Victoria melempar tubuh Daniel ke sebuah pohon, menatapnya bagaikan predator menatap mangsanya. Vincent tentu tahu kewarasan telah sepenuhnya terenggut dari tubuh Victoria. Vincent tahu betul rasanya, mereka tak akan pernah tahu apa yang terjadi dan akan tersadar dengan lupa dan sebuah mayat manusia di hadapannya setelahnya. Vincent tak ingin Victoria mengetahui bagaimana rasanya menyesal.

"Victoria!" Vincent berteriak berusaha menghentikan Victoria yang sudah mencengkeram leher Daniel dengan kuku-kuku hitam panjangnya.

Anak perempuan itu berbalik. Menatap Vincent dengan sepasang matanya yang telah sepenuhnya berubah menjadi hitam pekat, gigi taringnya lebih panjang dari biasanya. Dia benar-benar sudah menjadi monster sepenuhnya.

Vincent segera menusuk pisau perak pada dadanya, dan merobek jantungnya. Ini adalah satu-satunya cara. Victoria terjatuh, begitupun dengannya. Ini kematian ketiga Vincent setelah enam abad hidupnya sebagai makhluk immortal, dan rasa sangat sakit itu masih sama, bahkan sampai sekarang Vincent masih bisa merasakkannya.

Vincent berdiri. Akhirnya setelah dengan penuh pertimbangan dia berjalan santai menuju tengah lapangan. Dia terlihat kontras sekali dengan anak-anak yang memakai pakaian olahraga.

"Aku hampir mengira kau itu adalah Vampire, dibanding penyihir yang selalu mereka katakan." Francisco terkekeh menerima bola dari tangan Vincent.

Ya, wajar saja Francisco bahkan semua anak di sekolah menganggapnya begitu. Vincent dan keluarganya yang suram terlihat seperti mahkluk nokturnal yang takut terhadap cahaya matahari.

Lelaki itu tak berekpresi apapun, bahkan ketika Axel --anak lelaki hitam tinggi-- yang berdiri disebelah Francisco ikut berceloteh. "Kenapa kau harus repot-repot berjalan kesini kau bisa melemparnya tadi?"

Vincent hendak mengabaikan Axel dan berbalik pergi, sebelum Francisco menghentikan langkahnya.

"Kau bisa ikut bermain bersama kalau kau mau?" tawarnya.

"Hei, kau bercanda?" ujar Axel tak habis pikir. Axel menepuk pundak Vincent remeh. "Tak apa, Bung. Kau bisa kembali."

Vincent berbalik.

"Pfft... kau dengar tadi, Francisco menawarkan anak payah itu untuk bermain. Cara melempar bola saja dia tak tahu." Axel terbahak diikuti dengan teman-temannya. "Hei, kau mau melakukan apa? Kau mau menjadi pelatihnya? Hahaha... sial..."

Francisco hanya mengelengkan kepala melihat tingkah kekanakan teman-temannya itu.

Sebuah tangan terulur mengambil kembali bola base di tangannya. Lalu sepersekian detik kemudian melemparnya, membuat bola malang itu dengan kecepatan tinggi sampai tak terlihat.

Semua orang tercengang. Vincent melanjutkan langkahnya tanpa rasa bersalah, senyuman terukir di wajahnya, tak memperdulikan sumpah serapah di belakangnya. Vincent telah menulikan pendengarannya, berjalan santai keluar lapangan. Ah, rasanya lega sekali.

Namun, tanpa dia sadari seorang anak perempuan tengah berlarian kearahnya mencoba menangkap sebuah bola sepak, dan rupanya dia juga tak melihat keberadaan Vincent karena sibuk pada bola yang terlempar diudara itu.

"Aku akan menangkapnya!"

Vincent kehilangan keseimbangan. Sebuah beban menindihnya dengan keras, membuatnya terjatuh terlentang dengan seorang gadis berambut hitam diatasnya.

Manik ungu itu melotot kaget sementara manik biru scarlet itu menatapnya tajam.

Senyuman telah lenyap dari wajahnya tergantikan kernyitan di dahi Vincent kala anak perempuan itu tak kunjung juga beranjak dari atas tubuhnya. Terus mengamati lekuk wajahnya dengan sorot mata yang aneh, tanpa berkedip sedikitpun.

"Sampai kapan kau mau tiduran di atasku, eh?" Vincent mendorong pundak anak itu.

Membuat anak perempuan itu jatuh terduduk di hadapannya.

"Aduh..."

Entah apa yang ada dipikiran anak perempuan itu, dia seperti tersadar dari dunia lain dan langsung berdiri. Dia mengulurkan tangannya pada Vincent, namun sama sekali tak ditanggapi Vincent.

Violet meringis, kembali menarik tangannya. "Uh... tubuhmu benar-benar keras. Aku seperti menghantam beton tadi," ujarnya berusaha memecahkan kecanggungan.

"Apakah itu semacam pernyataan saat kau telah menabrak seseorang dan membuatnya terjatuh?" Vincent mendengus kesal, menatap perempuan itu dengan tatapan tak sukanya. Harinya benar-benar sial. Apakah ini karma?

"Oh... oh maafkan aku. Tadi aku sedang mengejar bola, dan tak melihat ada orang dan aku menabrakmu," ujar gadis itu beberapa saat kemudian, seperti tersadar dari sesuatu dia menatap wajah Vincent.

"Ck." Vincent berdecak kesal.

"Hei, kau terluka!" Violet berusaha menyentuh pelipis Vincent yang memerah, --pasti tadi terkantuk oleh dahinya. Namun, anak lelaki itu menghindar dan segera berjalan menjauh.

"Tunggu dulu." Violet berusaha mengejar langkah kaki lebar anak itu.

"Menjauh dariku."

"Aku mau bertanggung jawab, ayo kita ke klinik. Aku akan mengobatinya."

"Kubilang menjauh dariku!"

"Tunggu dulu..." Hampir saja Violet menyentuh tangan Vincent. Tapi, lelaki itu berhenti tiba-tiba dan langsung berbalik menatapnya tajam.

Violet mengatupkan bibirnya rapat, menatap manik itu untuk beberapa detik sebelum lelaki itu memutuskannya dan berjalan kembali. Dia benar-benar merasa bersalah. Entah bersalah karena apa. Mungkin karena telah menabraknya dan menatapnya terus menerus atau karena telah melukainya. Manik Violet terus menyorot punggung anak lelaki itu yang berjalan sebelum punggungnya mengilang ditikungan koridor.

Dari arah samping seseorang menyentuh pundaknya membuatnya menoleh seperti orang linglung.

"Violet... kau baik-baik saja?" Itu adalah Jennifer.

"Ya."

"Syukurlah... aku kira kau telah disihir jadi patung."

*

Ponsel Kayden berdering keras.

Dengan terburu-buru Kayden Laye keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang melilit pinggangnya, dan segera mengangkat panggilan telepon dari kantor pusat. Sial! Dia mengiranya dari laboratorium forensik, sudah hampir seminggu dan belum ada kabar sama sekali.

"Halo..."

"Apakah kau sudah kehilangan kewarasan, Laye?!" Suara murka Chief Scott segera menyambutnya.

Kayden sedikit menjauhkan ponselnya. "Apa maksud anda, Chief?"

"Aku memindahkanmu ke Kota itu untuk membuatmu beristirahat dan menghentikan segala aktivitas kepolisian. Tapi, apa yang kau lakukan? Mengundang tim forensik nasional untuk menyelidiki sebuah kasus tanpa izin?!"

"Bagaimana mungkin saya diam saja saat sebuah kasus pembunuhan tidak ditangani dengan benar, Chief?" Kayden mencoba bertanya setenang mungkin.

"Dengar." Di ujung telepon Chief Scott menghela nafasnya. Dia tahu bahwa Kayden akan mengatakan ini. "Aku sudah menganggapmu seperti putraku sendiri, Kayden. Dengarkan kata-kataku, kau bersantai sajalah. Aku sudah memberikan kasus ini pada Edward."

"Apa?" Kayden tak bisa menahan suaranya yang naik.

"Aku akan mengabarimu lagi nanti."

"Chief tunggu! Kumohon biarkan aku menangani kasus ini. Aku tahu ini terdengar tidak masuk akal. Tapi, kasus pembunuhan ini, maksudku luka pada korban ini sama persis seperti luka-luka yang ada pada tubuh kedua orangtua kandungku."

Teringat jelas dalam pikiran Kayden saat pertama kali dia melihat foto-foto korban itu di internet. Awalnya dia ragu, namun, saat dia datang ke tempat kejadian perkara dan melihatnya secara langsung, dia menjadi yakin kalau luka itu benar-benar sama persis seperti kedua orangtuanya. Terlebih penjelasan di lab forensik menguatkan segalanya. Walau hasilnya belum keluar. Tapi, dapat dilihat dengan kasat mata bahwa penyebab kematian itu jelas-jelas pembunuhan yang sama dengan kedua orangtuanya.

"Kayden..."

"Dan bukan cuma itu. Aku yakin, korban dari psikopat itu tidak hanya orangtuaku saja. Entah sudah berapa banyak korban-korban lainnya, kalau saja aku..."

"Kayden Laye!" Chief Scott membentak keras, menghentikan ucapan Kayden. Dia kembali menghela nafasnya kasar. "Itu sudah lama sekali Kayden, dan sadarlah orangtuamu tewas karena kecelakaan! Aku tahu kau masih masih emosional soal masalah itu. Tapi, bukankah ini sudah keterlaluan kau membawa-bawa masa lalumu dalam sebuah kasus yang belum jelas kebenarannya."

Jeda. Kayden tak tahu harus mengatakan apalagi untuk meyakinkan Chief Scott. Matanya telah memerah, dia mengatupkan giginya rapat.

"Ah, ini bukan salahmu, aku yang salah menilaimu," lanjut Chief Scott terdengar bersalah. "Kumohon lanjutkan hidupmu dengan baik Kayden. Aku yakin orangtuamu tak ingin melihatmu seperti ini, terjebak dalam masa lalu yang perlahan-lahan menghancurkan masa depanmu. Tenangkan pikiranmu, oke? Hubungi aku lagi nanti kalau kau sudah tenang."

Panggilan terputus sepihak.

Kayden melempar ponselnya, membuatnya pecah berserakan di lantai kayu apartmentnya.

Dia menutup wajahnya dengan telapak tangannya. Senyum miris terukir di sana.

*

Seperti sedang diikuti hantu, tepat bel kelas Bahasa Inggris selesai, Daniel segera pergi keluar kelas dengan berjalan tergesa-gesa.

Tadi, dia melihat James Robertson berada di kelas yang sama dengannya. Bukankah itu bencana? Sebelum pelajaran dimulai dia tertidur dan begitu dia terbangun dia melihat James ada satu kelas yang sama dengannya dan tepat berada tiga meter diarah jam dua bersama teman satu gengnya.

Geng Hades itu, Daniel benar-benar tak berniat untuk masuk ke dalamnya. Dia tak ingin berhadapan dengan anak lelaki pembawa bencana itu setiap hari. Bukannya dia takut pada Jamie. Dia hanya tak mau menjadi salah satu dari mereka, terlibat dalam masalah, atau berbuat kekacauan, dan yang paling dia yakini saat ini dia pasti hanya akan menjadi budaknya James. Daniel hanya ingin segera lulus dengan nilai sempurna dan melanjutkan bersekolah di Universitas Harvard yang dia impikan.

Sial! Dia harus menghindari monyet-monyet itu sebelun jam pelajaran selanjutnya. Dia takkan mungkin berjalan menuju kantin karena itu sama saja masuk ke kandang singa, jadi telah Daniel putuskan untuk mencari beberapa novel dan membacanya sambil memakan sandwich sisa sarapan paginya di pojokan perpustakaan.

Suasana lorong menuju gedung perpus yang berada di atas lab biologi tampak sepi. Semua murid pasti telah menuju kantin untuk makan siang.

Tiba-tiba Daniel hampir tersandung langkahnya sendiri karena melihat seorang anak perempuan dengan rambut pirang  bergelombangnya berjalan tenang menuju belakang gedung lab biologi.

Bukannya itu? Victoria Everlasting?

Lalu tanpa dia sadari langkah kakinya mulai mengikuti gadis itu. Dia sangat penasaran. Sungguh.

Tapi, dimana saudara-saudaranya yang lain?

Kenapa dia berkeluyuran sediri?

Daniel sempat berhenti ketika melihat gadis itu menerobos sebuah pagar berkarat di belakang gedung, dan mulai berjalan memasuki hutan Redwood yang angker. Terlebih setelah kematian George Waters yang mengenaskan.

Namun, rasa penasaran ini mengalahkan rasa takutnya. Jadi, Daniel kembali berjalan perlahan mengikuti Victoria, menerobos sebuah pagar kawat yang bolong lalu terus membuntuti seperti seorang maniak.

Dalam hati Daniel di sedikit kesal. Kenapa dia sekarang jadi seorang stalker. Yasudalah, masa bodoh.

Daniel mulai menyadari dia sudah berjalan terlalu jauh memasuki hutan. Kini pepohonan semakin tampak lebih lebat dan cahaya matahari tak bisa menembus dahan-dahannya yang tinggi dan lebat itu.

Victoria tiba-tiba berhenti di sebuah pohon dengan garis kuning yang memagari sekitarnya. Daniel panik dan langsung bersembunyi di balik pohon besar disebelahnya. Jantungnya seakan meletus.

Apa dia akan ketahuan?

Tapi, tunggu dulu. Daniel teringat sesuatu, garis kuning itu... Tempat dimana tubuh tak bernyawa George Waters ditemukan.

Dia bergerak mengintip perlahan. Namun, tak ada siapapun disana. Sosok Victoria telah menghilang dari hadapannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status