“Siapa kamu sebenarnya?”Davina bagai bisa mendengar pertanyaan yang terucap tanpa suara, dari balik tatapan Lucas. Namun ia tak berdaya, kuasa keluarga Carter bagai rantai yang mengunci rapat mulutnya.“Nak Lucas, Ayah baru saja mendengar kabar kalau kamu akan segera diangkat menjadi presiden direktur Dawson Group.” Lucas mengalihkan tatapannya dari istrinya. Ia mendengus samar karena pria tua dihadapannya mulai menunjukkan maksud yang sebenarnya. “Ya,” ucapnya sembari menaikkan dagu. “Sejak awal posisi itu dipersiapkan untuk ku, hanya masalah waktu saat aku bisa berada di kursi itu,” lanjutnya dengan kepercayaan diri penuh.Abraham tertawa keras meski hatinya menggeram kesal. Pria muda itu tak sedikitpun menunjukkan rasa hormat. Bahkan Dawson Junior itu tak segan menunjukkan arogansi dihadapannya.“Ayah sungguh bangga memiliki menantu sepertimu,” cetus Abraham. Cecilia mengangguk setuju. “Eleana sungguh beruntung,” imbuhnya.Duo Carter itu telah menetapkan tekad, menyanjung bocah
“Nyonya, anda ingin tambahan kue?” Davina menggeleng lemah, menanggapi pertanyaan kepala pelayan yang tengah menatapnya dengan sorot cemas. “Anda baik-baik saja? Saya bisa meminta dokter keluarga Dawson untuk datang.”“Tidak, Herman. Aku baik-baik saja,” cegah Davina. Davina tidak sakit, dia hanya dilema akan perasaannya karena Lucas mengabaikannya sejak mereka kembali dari kediaman keluarga Carter.Mungkin akan terdengar lucu, Davina merasa Lucas mengabaikannya padahal dari sejak awal, pria dingin itu tak benar-benar menganggapnya sebagai istri.Tapi kali ini serasa berbeda, Lucas mengabaikannya dalam artian yang sebenarnya. Pria itu bahkan tak menunggunya untuk sarapan bersama seperti yang mereka lakukan sejak kedatangan Davina ke rumah ini.“Nyonya, bisakah anda berhenti mengaduk-aduk sisa makanan? Para pelayan telah menunggu cukup lama hanya untuk memindahkan piring anda,” usik Herman gemas.Davina mendesah dalam lalu mendorong piring yang belepotan krim itu dari hadapannya. “H
Davina duduk di sofa ruang tengah sambil menggosok perutnya yang terasa begah—efek dari puluhan stroberi yang bersarang di perutnya.“Harusnya aku mengendalikan diri! Memasukkan semua buah itu ke dalam mulut,” gerutunya. “Karma manusia tamak.”“Kenapa? Perutmu sakit?”“Eh, Lucas?” Davina nyaris menjerit senang begitu melihat sosok tampan yang muncul dihadapannya. “Kamu pulang?”“Bukankah ini rumah ku? Kamu tidak suka aku pulang?” Selidik Lucas sambil memicingkan matanya. Ia memilih duduk di sofa yang sama, disamping sang istri.Davina mengibaskan tangan. “Tidak, tidak! Aku tidak berpikiran seburuk itu,” kilahnya cepat.Ia tak ingin Lucas kembali marah dan mengabaikannya. Dua hari saja, ia tidak melihat wajah tampan itu mengomel, hati Davina gundah.“Apa kamu tidak marah lagi?”Satu alis Lucas naik untuk membentuk pertanyaan tak terucap. “Kamu membuat masalah?” “Aku tidak.” Davina menggeleng lemah dengan wajah tertunduk lesu.Ekspresi itu terlihat menggemaskan bagi Lucas, hingga ia ha
Davina memejamkan matanya perlahan, menyambut sentuhan lembut di bibirnya. Meski tak menuntut, namun terasa sangat intens. Merengkuhnya dalam kehangatan hingga membuat kunang-kunang berpendar di bawah akal sehatnya yang melambung tinggi.Ia kembali membuka mata saat gerakan di bibirnya perlahan memudar, pandangannya langsung berhadapan dengan mata yang meredup, seakan dibayangi awan kelabu. Lucas tak berucap apapun, hanya menatapnya lekat seraya mengusap lembut permukaan bibir Davina dengan ibu jari. Lucas bangkit dengan gerakan cepat dan kembali menekan, tanpa memberi celah bagi sang istri untuk mengatur langkah—melarikan diri. Lucas mendorong tubuh ramping itu hingga merapat ke sudut sofa, mengungkung di bawah kuasanya. Pikiran Lucas dibayangi bisikan setan, menyeru seraya memaksanya untuk melepaskan kendali. “Lu-lucas …” desah Davina terbata. Ia panik begitu pria yang mengurung tubuhnya, kembali mendekapnya. “Tunggu, A-aku …”Lucas mengulas senyum tipis lalu merendahkan tubuhnya,
“Mengapa dia menciumku?” Davina menyentuh bibirnya yang masih diselimuti kehangatan seraya menatap pantulan wajahnya di cermin. Merah! Bahkan jauh lebih merah daripada pasta tomat.Jantung Davina kembali berdetak kencang kala mengingat lagi sentuhan lembut di bibirnya. Serangan tiba-tiba itu membuatnya nyaris lupa cara bernapas. ‘Lucas menciumku … Apa dia menyukaiku?’ bola liar kembali bergulir dalam pikiran Davina. Menerka-nerka apa yang terjadi pada pria sedingin es kutub yang tiba-tiba mencair.Davina menepuk kedua pipinya yang dihiasi senyum lebar. “Tidak Davina! Apa yang kamu pikirkan,” sergahnya panik. “Kamu tak boleh lupa, Davina! Posisi mu di rumah ini hanya sebagai pengganti Eleana,” tegas Davina pada bayangan dirinya di balik cermin.Ia berbalik, melemparkan tubuhnya ke ranjang. “Lucas tidak mungkin menyukai ku, pria itu hanya peduli pada warisannya,” desahnya sembari menatap langit-langit. ‘Yah, tidak mungkin!’Davina meraih ponselnya yang kembali berdering. Ia telah be
“Nafsu tidak membutuhkan kata cinta, istriku.”Kalimat Lucas membuat emosi Davina meluap. Ia tak pernah menyangka, ternyata Lucas menilainya serendah itu!‘Pria ini gila!’ umpat Davina demi mengabaikan emosi yang tak tertahankan. Bila menuruti amarahnya, Davina ingin melayangkan tamparan keras disertai cakaran di wajah tampan itu. Namun tubuhnya tak berpendapat serupa. Seluruh sendi di tubuhnya kaku, membuat tangan dan kaki enggan beranjak. Bahkan Davina tak mampu menggerakkan bibirnya untuk sekedar memaki pria dihadapannya.Melihat wajah panik istrinya, Lucas tak mampu lagi menahan tawanya. “Eleana, apa kamu berpikir aku serius?” kekehnya mengejek.“Apa maksudmu?” Davina bengong, susah payah mencerna maksud di balik tawa Lucas.“Dengar Davina, bagiku pernikahan ini hanya formalitas. Bahkan sedikitpun aku tidak tertarik untuk menyentuhmu,” tutur Lucas datar.Mata Davina melebar. “Tapi, tadi kamu mencium—”“Yah, aku sedikit terbawa suasana tapi hanya sebatas itu, tak lebih.” Davina
Sinar matahari yang masuk diantara celah tirai, mengusik tidur wanita yang bergelung nyaman di atas dada bidang.“Hmm …” Davina bergumam pelan, membalik tubuhnya demi menghindar dari sengatan hangat. Perlahan ia membuka matanya, mengerjap perlahan seraya meneliti langit-langit yang menaunginya.‘Ah ya! Aku tidur di kamar Lucas,” pikirnya kala sadar akan nuansa kamar yang berbeda. ‘Tapi, tunggu …’Davina beranjak cepat dan terkejut begitu mendapati adanya pria tidur disampingnya—bertelanjang dada.“Apa?” Davina menyentak selimut yang menutupi tubuhnya. “Syukurlah,” desahnya lega karena semua pakaiannya masih lengkap seperti semula.“Bodoh.” Suara desisan, mengusik perhatian Davina. Ia berpaling untuk menyapa wajah tampan yang tengah menatapnya dengan sorot mata mengejek.“Kenapa kamu disini Lucas?”Lucas beranjak turun dari ranjang, meraih kimono tidur berbahan sutra untuk menutupi tubuh atas yang terbuka. “Pertanyaan terbodoh yang pernah ku dengar,” desisnya.“Apa kau lupa? Aku pemi
Suara nyaring dari lonceng kecil yang berfungsi sebagai penanda, menggetarkan daun pintu kala Davina mendorong dan memasuki bangunan berlantai dua. Ia tersenyum lebar begitu mendapati Baron yang tengah menyeduh teh, meliriknya sebal. Tampaknya sang bos tak berniat untuk berpura-pura, menutupi kekesalannya.“Akhirnya kau tahu jalan pulang,” sindir Baron.“Tak bisakah kau berbaik hati padaku kali ini, Bos?” Davina memasang wajah polos dengan senyum cengengesan. “Aku hanya butuh istirahat beberapa hari.”“Kau tahu ‘kan?” Baron mengangkat satu alisnya, menunjukkan raut wajah serius. “Alasan klise tak mempan padaku,” desisnya.Davina meringis ngeri, namun tak sepenuhnya menanggapi amarah Baron karena ia tahu, bosnya itu hanya mencemaskannya.“Mengaku’lah, apa pasangan gila itu kembali mendobrak pintu dan memukuli mu?” tebak Baron. Bukan sekali dua kali ia mendapati Davina tiba-tiba menghilang dan kembali dengan jejak lebam di sekujur tubuh.“Mereka orangtua ku, Bos,” kekeh Davina.Baron b