Ikuti terus kelanjutannya ya Gaes. Jangan bosan-bosan. Jangan lupa vote dan komennya juga ya. Kalau kalian suka cerita ini promosiin cerita ini ke teman-teman kalian biar yang baca makin ramai. Terima kasih.
Rista merenung di kamarnya, memikirkan kejadian hari ini. Semuanya berasa seperti mimpi. Teringat dulu bagaimana dia berupaya menjauhkan Alena dari keluarganya sampai dia mengajak suaminya pindah ke Jakarta. Suaminya juga telah berjanji tidak akan menghubungi atau mengunjungi Alena dan ibunya lagi. Namun, hari ini tiba-tiba Alena datang sendiri ke rumahnya. Dan lebih membuatnya kesal itu semua karena Alyssa, anaknya sendiri. Belum lagi Alena sekarang bekerja menjadi Cleaning Service di kantor Bagas. Kebetulan macam apa itu? Pikiran Rista langsung buyar ketika mendengar suara pintu kamar dibuka. Dia yang sedang duduk di tepi ranjang langsung menoleh. "Rista!" Bagas masuk dan menghampirinya. "Ada apa, Mas?" Rista mengernyit melihat gelagat Bagas yang tak biasa. Perasaannya mulai tak nyaman. "Ngapain kamu marahin Alyssa sampai segitunya buat nggak dekat-dekat Alena?" "A-aku nggak marahin, aku cuman--" "Alyssa yang bilang ke aku kamu melarang dia buat ngantar Alena pulang. Kamu juga
"Kamu itu benar-benar nggak punya malu, ya, Leyla, hmm, urat malu kamu udah putus? Ngapain kamu ngumbar-ngumbar aib sendiri? Menceritakan ke orang-orang tentang kehamilanmu buat apa? Minta dikasihani? Minta pembelaan?" Rista marah ke Leyla waktu tahu keponakannya itu menceritakan tentang kehamilannya pada sanak keluarga seolah sengaja mengumbar aib sendiri. Padahal Leyla melakukan itu semua hanya ingin mendapat keadilan. Dia takut kalau Bagas tak mau bertanggungjawab dan dia berharap keluarganya membelanya. Belum lagi Rista yang sempat tidak percaya kalau Bagas yang menghamilinya dan malah menuduhnya hamil dengan pria lain. Rista juga mengatakan kalau itu hanya akal-akalan Leyla untuk bisa memiliki Bagas karena Bagas merupakan pria kaya raya. Padahal itu tidak benar. Leyla hanya berusaha meluruskan kebenaran dengan meyakinkan orang-orang kalau itu memang hasil perbuatan Bagas, bukan lelaki lain. Rista juga sempat marah besar ketika Leyla mengatakan kalau dia dan Bagas saling mencint
Alyssa Alena, maafin gue ya kemarin gue nggak bisa antar lo pulang. Maafin Mami juga karena Mami udah marah-marah depan lo. Tapi lo nggak jera kan datang ke rumah gue? Alena menyunggingkan senyum membaca pesan itu. Lalu mengetik balasan. Iya nggak pa-pa. Tapi gue nggak janji ya bakal main ke rumah lo lagi. Kenapa? Pasti takut dimarahin Mami kan? Alena tercenung membaca pesan itu. Peringatan Rista tempo hari sekonyong-konyong melintasi pikirannya. "Saya nggak mau kamu mempengaruhi pikiran dan sikap anak saya ke depannya. Saya juga nggak mau kamu terlalu akrab sama anak saya. Kalau kamu masih mau main ke rumah ini, turuti apa kata pemilik rumahnya. Paham?" Namun, sejurus kemudian Alena tersadar. Buat apa dia mendengar omongan wanita itu? Tidak. Dia tidak takut. Dan dia akan manfaatkan Alyssa untuk bisa masuk ke keluarga itu. Alena pun mengetik lagi. Nggak kok. Tapi gue nggak bisa datang dalam waktu dekat ini. Lagi sibuk nih. Kalau hari Minggu aja gimana? Min
Gadis cantik berambut lurus sepinggang itu sedang duduk-duduk di ayunan di teras samping rumahnya sambil menatap layar ponsel. Gadis itu tak lain adalah Alyssa. Dia baru saja chatingan dengan pacarnya yang mengabarkan kalau pacarnya itu sudah on the way ke sini. Hari ini hari Minggu. Hari libur bagi semua pekerja dan anak sekolah. Hari yang ditunggu-tunggu semua orang tak terkecuali, Alyssa, Alena dan Andrio. Dan Minggu ini Alyssa sudah menyiapkan rencana. Yaitu mengenalkan Andrio ke Alena dan sebaliknya. Dan Alyssa membayangkan momen-momen itu akan menjadi momen yang menyenangkan karena melihat pacar kesayangannya bertemu dengan keluarganya. Apalagi kalau mereka bisa berhubungan baik. Kemarin Alena sudah berjanji, pagi ini akan datang. "Pokoknya rencana gue harus berhasil. Harus! Alena harus datang hari ini juga. Awas aja kalau nggak. Gue bakal marah!" Alyssa bersidekap di sandaran kursi ayunan, wajahnya cemberut. "Eh, anak Mami dicariin ternyata di sini?" Alyssa sedikit terkej
Andrio duduk membungkuk. Meletakkan kedua lengannya di atas pahanya. Dan menoleh ke Alyssa. "Sebenarnya nggak ada masalah gimana-gimana, sih. Cuman tadi Papa nasihatin aja Kakak harus kuliah yang bener. Soalnya waktu Kakak mendapat surat DO kemarin, Mama bela-belain datang ke kampus dan ketemu sama dekan buat kasih Kakak kesempatan kuliah lagi di sana. Setelah memikirkan beberapa pertimbangan dan syarat Kakak akhirnya di kasih kesempatan lagi," jelas Andrio panjang lebar. "Alhamdulillah kalau gitu. Terus apa yang membuat Kakak marah?" "Kakak cuman kesal aja sama Papa, beliau seperti meremehkan kemampuan Kakak. Kakak malas aja di rumah kalau udah kayak gitu." Alyssa lalu merangkul pundak lelaki itu. "Kak, kamu jangan nyerah, ya, aku yakin kamu bisa melewati semuanya. Kamu pasti bisa jadi dokter sukses nantinya. Kita sukses bareng-bareng, okay?" Alyssa berusaha menyemangati Andrio untuk sukses menjadi dokter padahal dia sendiri pun tak sanggup menjalaninya. Andrio tersenyum. "Maka
Andrio dan Alena pun berpandangan dalam waktu yang cukup lama membuat waktu seakan berhenti berputar. Andrio lalu membelalak, begitu pun Alena. Alena bahkan nyaris tersebut nama Andrio namun urung hingga bibir gadis itu sedikit bergetar. Alena tidak mau mengaku depan Alyssa kalau dia mengenal Andrio juga. Dan dia harap Andrio berpikiran sama tapi harapan itu tidak terkabul karena sepersekian detik kemudian Andrio menyebut namanya. "Alena?" Alyssa menatap Andrio heran. "Kak Andrio kenal Alena?" Alyssa pun buru-buru mendekati Andrio sambil menarik lengan Alena. Lalu Alyssa memandang Alena. "Kalian kenal?" "Iya. Dia teman Kakak waktu SMA." Andrio menjawab lebih dulu. Alyssa menatap keduanya bergantian dengan pandangan tak percaya. "Serius? Ya ampun dunia sempit banget, ya? Bagus, dong, kalau gitu." Lalu dia beralih ke Alena. "Alena, ini pacar gue yang gue ceritain kemarin, ternyata lo udah kenal?" Alena masih membisu seakan tak mampu berkata-kata. Bibirnya terkatup rapat. Gadis it
"Alena, gue bisa jelasin," jawab lelaki itu dengan tenang. "Gue bakal jelasin pelan-pelan, ya." "Dan kenapa lo ngaku kenal gue di depan Alyssa?" Tak memedulikan perkataan Andrio, Alena malah bertanya hal lain. Gadis itu sudah menangis sekarang. Membuat Andrio jadi panik. "Al, lo tenang, jangan nangis." Andrio tahu gadis itu masih punya perasaan terhadapnya dan dia memaklumi sikap Alena saat ini. Perasaan gadis itu pasti hancur sekarang. Alena pasti terkejut dan sedih mengetahui dirinya dan Alyssa berpacaran. Alena mengalihkan pandangannya ke lain arah sambil mengusap air matanya. Ya, Andrio benar. Dia tidak boleh menangis di sini. Dia tak seharusnya menampakkan kelemahan itu. Dia benar-benar tidak bisa mengendalikan perasaannya sekarang. "Memangnya kenapa kalau gue ngaku, Al? Bukannya jujur lebih baik? Alyssa memang harus tahu semuanya. Kita semua di sini sama-sama tahu. Alyssa tahu kita saling kenal. Lo juga tahu kalau sekarang gue pacar Alyssa dan gue tahu kalian keluarga. Nggak
"Ma-mami?" Wajah Alyssa berubah tegang. Alena langsung meletakkan sendok yang sempat dia angkat ke piring. Dan Andrio menyadari perubahan bahasa tubuh kedua gadis itu. "Kapan Alena datang?" tanya Rista lagi sembari berjalan mendekat. Dari pertanyaan dan caranya memandang, Alena tahu Rista memberi peringatan melalui tatapan matanya. Sekonyong-konyong perkataan Rista tempo hari melintas dipikirannya. "Saya nggak mau kamu mempengaruhi pikiran dan sikap anak saya ke depannya. Saya juga nggak mau kamu terlalu akrab sama anak saya. Kalau kamu masih mau main ke rumah ini, turuti apa kata pemilik rumahnya. Paham?" Alena tahu. Dia tak lupa itu. Tapi dia memang bertekad mendekati keluarga itu untuk memudahkan rencananya. Dan dia tak peduli dengan peringatan Rista. Sementara Rista menatap Alena penuh kebencian. Pertengkaran dengan suaminya kemarin langsung membayanginya. Dan gadis di hadapannya ini adalah penyebabnya. Alena dan Rista terlihat saling tatap. Andrio sedikit heran melihat sikap