Raksa duduk berhadapan dengan Feni. Wanita dengan jabatan CEO disalah satu perusahaan nirlaba itu terlihat gugup dan sesekali menggigit kukunya yang terawat.“Minum?” Raksa memberikan botol air mineral kecil pada Feni.“Aku mau pengacaraku, tolong!” ucapnya gugup setelah melegakan tenggorokannya.“Tentu, kau akan mendapatkannya. Apa kau sudah memberi kuasa pada pengacara perusahaan atau mungkin pribadi?” tanya Raksa lagi tak memutuskan tatapan.“Ya, sudah.”Suasana tegang kembali tercipta saat Feni kembali terdiam. Raksa tak ingin memaksa ia bicara, Feni yang datang sendiri untuk mengakui dosanya. Raksa tak ingin menekan meski ia ingin melakukannya.“Dia membunuh Alan! Dia juga membunuh Vivian! Selanjutnya pasti aku detektif, tolong lindungi aku! Aku … masih ingin hidup!” Feni akhirnya berkata dengan kalimat terbata.Raksa tersenyum miring, “Begitukah, kenapa dia mengejarmu? Apa yang kalian lakukan sampai rohnya begitu dendam dan haus darah?”“Aku …,” Feni terkesiap, menatap Raksa cur
“Bersiaplah Dex kita akan menyergap sebelum tim yang menyamar ikut berhalusinasi! Bergerak dengan aba-aba ku oke!”Raksa bergegas keluar diikuti Dex. “Kita kesana?!”“Yup, aku ingin melihat bagaimana terkejutnya Airin saat melihat ku!”Raksa mengemudikan mobilnya dengan cepat menuju gedung tua yang terbengkalai. Kevin rupanya pintar memilih lokasi. Ia menemukan gedung tua yang terbengkalai di dalam hutan pinus di sekitar rumahnya. Dengan sedikit perbaikan gedung tua itu disulap menjadi aula pemujaan sekte iblis.Tim penyergap bersiap, berjalan mengendap ngendap memutari gedung. Tak ada penjaga di bagian depan, Kevin rupanya tak pernah menyangka jika sekte sesat yang tengah didirikannya lagi itu tercium pihak berwenang. Lantunan kidung terdengar menggema, mengusik ketenangan hutan pinus.“Baiklah apa kalian siap?” Raksa memberi aba-aba untuk bersiap masuk.Setelah mendapat kabar kepastian dari pemantau situasi di kantor pusat mereka pun mendobrak masuk. Suasana ricuh terjadi, beberapa
“Kalian menipuku! Kalian memanfaatkan diriku!” James berteriak kasar pada Airin.“Huh, benarkah? Kami membantumu membalas dendam, apa kau lupa itu?!” balas Airin sengit.“Tapi kau tidak mengatakan jika Kevin secara tidak langsung menjadi otak dari pembunuhan adikku!” mata James melotot menahan amarah yang membuncah.“Kau menikmati setiap kematian mereka! Jangan lupakan itu James. Dan yah memang benar, Kevin bertanggung jawab atas semua kemalangan ini!”“Brengsek! Dasar jalang, pelacur, kau pantas disebut penyihir jalang!”“Lakukan apa yang kau mau, karena aku bisa membunuhmu kapan saja!”“Brengsek!”James menghempas tubuh Airin dengan keras, ia gelap mata. Tanpa belas kasihan James kembali menghajar Airin, memukul dan menendang tak peduli dengan rintihan sakit yang keluar dari bibir Airin yang mulai berdarah.Marina berteriak minta tolong, ia berusaha menghentikan tingkah brutal James yang menghajar Airin. Mariana berusaha menghalangi dan melindungi Airin tapi ia justru terkena pukula
Seorang wanita muda berjalan dengan langkah riang menyusuri koridor sebuah kantor. Hari ini semua pekerjaannya selesai tepat waktu jadi Amelia bisa pulang dengan cepat. Sederet kegiatan sudah disiapkan Amelia begitu tiba di rumah."Me time! Akhirnya bisa menikmati weekend dengan tenang!" ujarnya dengan senyum terkembang.Amelia memasuki basement, memeriksa pesan di ponsel nya sebelum masuk ke dalam mobil. Ia tersenyum menatap layar ponselnya, mendapati pesan cinta dari sang kekasih. Besok ia janji bertemu dengan kekasih yang sedang menjalankan tugas di luar kota. "Aku merindukanmu, Alan." gumamnya sambil mengetik pesan cinta balasan. Sebuah foto terkirim ke dalam ponsel Amelia, foto yang membuatnya terpekik sambil menahan geli. Pacarnya itu mengirimkan foto setengah telanjang bak model pria dewasa."Uuugh, your naughty boy!" Begitu balasnya pada Alan. Saking asiknya berbalas pesan, Amelia tak menyadari keganjilan sedang terjadi di sekelilingnya. Di sisi gelap tempat parkiran, sepas
"Hantu? Ayolah jangan membuatku tertawa, kawan! Mana mungkin hantu melakukan semua ini? Membunuh? Itu hanya cerita dalam film!" Budi mencibir pendapat Raksa, ia kembali memotret korban."Lalu bagaimana kalian menjelaskan tulisan dengan penuh darah ini?" Raksa berkata lirih memperhatikan. Tulisan di kaca bagian belakang mobil. "Dia, ada disini? Apa maksudnya? Pelakunya, atau orang lain?" Raksa kembali bermonolog, memperhatikan dari dekat tulisan darah yang telah mengering.Bau amis darah tercium Raksa, sedikit menyengat ditambah bau tak sedap yang menurutnya mirip bau daging busuk. Raksa mengendus-endus pakaiannya dan juga mencari ke sekeliling mobil."Hei, apa kalian mencium bau bangkai?" Ia berseru pada kedua anggota Inafis yang masih sibuk mencatat. Keduanya terlihat menggeleng bahkan Budi semakin sinis menanggapi setiap kalimat Raksa. Raksa tak kehilangan akal, ia mengambil kontak mobil yang masih menggantung di tempatnya lalu membuka bagasi belakang.Dua atau mungkin tiga ekor
Seorang wanita gemetar memperhatikan Raksa dari balik tiang besar. Kerumunan orang dan petugas kepolisian yang berlalu lalang memancing perhatiannya. Wanita itu salah satu pekerja di gedung perkantoran. Rasa penasarannya membuat ia nekat menyelinap diam-diam. Dari bisikan yang masuk ke telinganya, telah terjadi pembunuhan di basement. Mayat wanita ditemukan tewas dengan sejumlah luka tusuk pada wajah dan tubuhnya. Beruntung, ia memiliki kartu pass yang membuatnya bisa melewati penjagaan ketat petugas keamanan.Wanita itu langsung menuju basement demi memuaskan rasa penasarannya. Tapi betapa terkejutnya ia saat tiba di lokasi pembunuhan dan mengetahui siapa yang terbunuh. Wanita itu tak mampu lagi menahan rasa ketakutannya. Tangannya gemetar, wajah cantiknya memucat. Ia menutup mulut agar suara tangisannya tak terdengar."Bukan, itu bukan dia kan?" Gumam wanita itu lirih di sela air mata yang membasahi pipinya.Wanita itu terkesiap saat matanya beradu dengan Raksa, detektif muda itu m
Raksa dan Airlangga dibuat penasaran dengan suara tawa ganjil di akhir video. Bagi Raksa suara itu mirip dengan yang ada dalam ilusi nya. Airlangga kembali memutar video, memotong bagian yang tak perlu dan memperjelas suara."Dengarkan ini pak, ada suara yang sama sesaat sebelum teriakan Amelia."Airlangga memperdengarkan suara yang sudah diperhalus sehingga menajamkan kalimat yang terekam.Kau, harus mati!Suara itu terdengar begitu cepat dan lirih lebih mirip gumaman hingga telinga Raksa tidak terlalu bisa memahami. "Kita dengarkan sekali lagi," Airlangga melambatkan rentang waktu, mengeraskan suara.Kau, harus mati!"Bagaimana menurutmu?" Raksa bertanya pada dua rekannya.Dian mengusap tengkuknya. "Jujur, saya merinding. Suara ini seperti bukan suara manusia, ini seperti suara …,""Setan?" Airlangga menyambar."Yeah, seperti itulah." Jawab Dian tak yakin.Raksa tersenyum masam melihat tingkah dua rekan sejawatnya itu. Andai dia tidak terbiasa dengan kehadiran para roh bisa dipasti
Raksa menyesap kopinya, menikmati pahit dan harumnya kopi yang menyelusup di indra pengecap dan penciumannya. Ia menunggu dokter Frans keluar dari ruangan otopsi."Apa otopsinya sudah selesai?" Dian berjalan mendekat, wajahnya masih terlihat pucat."Hem, sudah tinggal menunggu hasilnya.""Kamu baik-baik saja? Wajahmu pucat sekali." Raksa sedikit mengkhawatirkan kondisi rekannya."Sedikit pusing tapi kafein pasti membantu."Tak lama kemudian dokter Frans keluar ruangan. Ia membawa salinan hasil otopsi untuk Raksa."Maaf sedikit lama. Ini hasilnya, dari bentuk luka yang ada di tubuhnya tidak menunjukkan keragu raguan. Sembilan tusukan di perut dan satu tepat melubangi jantung. Kami menyimpulkan, Amelia melakukannya sendiri.""Apa? Itu mustahil, satu tusukan saja biasanya cukup membuat pelaku bunuh diri ragu. Tusukan kedua biasanya tidak terlalu dalam, rasa takut mati akan menguasai." Dian mencoba mematahkan pendapat forensik.Dokter Frans menaikkan sudut bibirnya. "Faktanya begitu, semu