📖 Sinopsis Novel: Mafia Santa Cruz: Raja Tanpa Mahkota Di Santa Cruz—wilayah paling kejam di Aurda—hukum bukan milik pemerintah, melainkan mereka yang memegang senjata dan menguasai ketakutan. Rayder Bomb, seorang bocah berusia 15 tahun, kehilangan segalanya dalam satu malam. Ibunya tewas di tangan kartel, ayahnya menghilang tanpa jejak. Diselamatkan oleh pamannya, Mendoza "Sabio", seorang tokoh besar di dunia kriminal, Rayder dipaksa menjalani kehidupan di mana belas kasihan adalah kelemahan, dan hanya yang kejam yang bertahan. Bersama Moya, sepupunya yang cerdas dan licik, Rayder tumbuh di bawah bayang-bayang kekuasaan Mendoza. Namun, dunia ini tidak mengenal keluarga—hanya loyalitas atau pengkhianatan. Dalam ujian mematikan, mereka mendapat tugas terpisah yang akan menentukan siapa yang pantas mewarisi kerajaan gelap ini. Tapi Rayder tidak ingin menjadi sekadar pewaris. Dia ingin menjadi raja. Di antara perang kartel, pengkhianatan dari dalam, dan ancaman pemerintah Aurda, Rayder perlahan membangun jalannya sendiri—menjadi legenda yang ditakuti oleh musuh dan dihormati oleh bawahannya. Namun, di dunia di mana setiap keputusan dibayar dengan emas atau timah panas, berapa banyak darah yang harus ia korbankan untuk tetap berada di puncak?
Lihat lebih banyak# •Novel Seri 1
~ ~ ~ Bab 1: Sumpah Darah di Santa Cruz Santa Cruz, Kota Tanpa Hukum Santa Cruz, Kota Tanpa Hukum Langit di atas Santa Cruz tampak kelam, diselimuti kabut tipis yang menyatu dengan asap dari kebakaran akibat perang. Lampu jalan berpendar temaram, menciptakan bayangan panjang di trotoar yang dipenuhi noda darah yang mengering. Di Santa Cruz, setiap orang punya harga. Beberapa dibayar dengan emas. Beberapa dibayar dengan timah Panas. Kota dimana uang lebih berkuasa daripada hukum, dan peluru berbicara lebih keras daripada pengadilan. Polisi bukan penjaga keadilan, tapi pedagang nyawa. Hakim bukan pemutus hukum, tapi pelayan bagi siapa yang membayar lebih mahal. Di antara semua nama yang dikenal dalam dunia kriminal, ada satu nama yang menggetarkan siapa pun yang mendengar namanya: Rayder "Dagger" Bomb. Hanya dengan kehadirannya, udara di sekitar berubah tegang. Ia tidak perlu berteriak atau mengancam, tatapan dinginnya saja sudah cukup untuk membuat musuh berpikir dua kali sebelum bertindak bodoh. Dia bukan hanya seorang raja dalam dunia kejahatan. Dia adalah legenda. Dan malam ini, legenda itu akan membuktikan kenapa dia ditakuti. Eksekusi di Ruang Mewah Seorang pria berlutut di lantai marmer, tangannya terikat ke belakang. Wajahnya lebam, darah menetes dari hidung dan sudut bibirnya. Napasnya tersengal, matanya penuh ketakutan. Di depannya, Rayder duduk di kursi besar, menyilangkan kaki dengan santai. Tangan kirinya memegang segelas wiski, sementara tangan kanannya memainkan pistol Beretta 92FS emas yang berkilauan di bawah lampu gantung. Di sekelilingnya, beberapa orang berdiri tegap. Moya "Mago" Bomb, Killer "Ghost" Rivas, Sergio "Cazador", dan beberapa orang kepercayaannya menyaksikan dalam diam. Rayder menyesap wiski, lalu meletakkan gelasnya dengan tenang ke atas meja. Dia menatap pria yang berlutut itu dengan tatapan dingin. "Kau tahu aturannya." Suaranya dingin. "Emas atau timah panas." Pria itu menggigil. "Boss, tolong... Aku bisa memperbaikinya... Aku bisa—" BANG..!! Tembakan bergema di seluruh ruangan. Kepala pria itu terhempas ke belakang, darah dan serpihan otak menciprati lantai marmer putih. Tubuhnya jatuh ke samping, diam selamanya. Rayder berdiri. Dia mengeluarkan selembar kartu emas bertuliskan "Dagger Bomb", lalu meletakkannya di dada mayat itu. Sebuah tanda. Sebuah peringatan bagi siapa pun yang berani mengkhianatinya. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara. "kalian semua tahu aturan nya disini, Emas atau timah panas, ini adalah pesan bagi siapapun yang berani menghianatiku." dan berjalan ke arah jendela, menatap ke luar. Di luar sana, Santa Cruz terbakar oleh perang kartel dan darah. Dagger tidak selalu seperti ini. Dulu, dia hanyalah seorang anak kecil di desa kecil yang miskin. Dan semuanya berubah dalam satu malam. MALAM KETIKA DIA KEHILNGAN SEGALANYA. Beberapa Tahun Sebelumnya... (Santa Cruz, Wilayah Pedesaan, 9090) Rayder kecil duduk di depan rumah, menendang kerikil dengan bosan. Matahari mulai tenggelam, mewarnai langit dengan jingga kemerahan. "Kemana perginya ayah 3 bulan belakangan ini?". dengan suara meratap. "Kapan Ayah pulang?" tanyanya kepada ibunya, seorang wanita dengan rambut hitam panjang dan senyum lembut. Ibunya tersenyum kecil. "Mungkin besok, Nak." TAPI BESOK TAK PERNAH DATANG. Sudah tiga bulan sejak ayahnya pergi ke kota, katanya untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Tapi sejak saat itu, tidak ada kabar. Tidak ada surat. Tidak ada pesan. Rayder tidak tahu kalau hidupnya akan berubah selamanya malam itu. Api, Darah, dan Tangisan di Malam Hari Malam itu, Rayder terbangun oleh suara jeritan. Dia melompat dari tempat tidurnya dan berlari ke luar kamar. Ibunya berdiri di ruang depan, matanya penuh ketakutan. "Rayder, sembunyi!". Suara ibunya dengan penuh ketakutan. Tapi sebelum dia bisa bergerak, pintu rumah mereka dihantam keras. Lima pria bersenjata masuk. Mereka bukan polisi. Mereka bukan tentara. Mereka adalah orang-orang dari Kartel Gardigo. "Di mana suamimu?" salah satu pria bertanya dengan suara kasar. Ibunya menggeleng, suaranya bergetar. "Aku tidak tahu..." Salah satu pria menamparnya keras hingga dia jatuh ke lantai. Rayder berlari ke arahnya, mencoba melindungi ibunya, tapi seorang pria lain menariknya dan membantingnya ke dinding. "Jangan sakiti ibuku!" teriak Rayder, matanya penuh air mata. Tetapi mereka malah tertawa. Salah satu pria menodongkan pistol ke kepala ibunya. "Salahmu menikahi pria yang berutang pada kartel, perempuan jalang!" Rayder menjerit. "JANGAN!" BANG..!! Ibunya jatuh ke lantai, darah mengalir dari kepalanya. Dunia Rayder runtuh dalam sekejap. Rayder tidak bisa bergerak. Tidak bisa bernapas. Hanya bisa menatap tubuh ibunya yang tak lagi bernyawa. Salah satu pria itu mengangkat pistolnya ke arah Rayder. "Bunuh bocah ini juga." Jari pria itu mulai menarik pelatuk. Dan kemudian— BANG! BANG! BANG! Darah & Peluru: Kedatangan Pamannya Para pria itu jatuh satu per satu, peluru menembus kepala dan dada mereka. Di ambang pintu, berdiri seorang pria berjas hitam. Mendoza "Sabio" Bomb, pamannya. Wajahnya tanpa ekspresi saat dia menembakkan peluru terakhir ke kepala pria yang membunuh ibu Rayder. Dia berjalan ke arah Rayder yang masih terduduk di lantai, menatap tubuh ibunya dengan kosong. "Bangun, aku terlambat, tak sempat menyelamatkan ibu mu." kata Mendoza. Rayder tidak bergerak, "Kenapa paman bisa ada disini." tanya nya dengan suara pelan. EMPAT JAM YANG LALU SEBLUM MENDOZA TIBA DI KEDIAMAN RAYDER. "Aku akan menjemput Rayder dan ibunya dan akan membawa mereka tinggal disini." kata mendoza kepada istrinya. "Siapa Rayder ayah?, kenapa dia harus tinggal disini?." tanya moya dengan datar, anak mendoza yang berusia 13 tahun. Mendoza diam sejenak, sebelum akhirnya dia menjawab. "Dia adalah sepupumu moya, anak dari paman mu yang tinggal di Cruel frost, tempat dimana ayah lahir." "Apakah Rayder akan baik-baik saja tinggal di sini?". Tanya istrinya kepada mendoza. Dengan suara datar Mendoza menjelaskan panjang. "Setelah ayah nya pergi ke sini untuk meminta bantuan dari ku 3 bulan yang lalu, aku tau dia tidak akan bertahan lama, kartel Gardigo terus mencarinya, aku harus membawa Rayder pergi dan mengajarinya banyak hal, sama seperti aku mengajari moya." (Kembali ke Mendoza yang berada di kediaman Rayder.) Mendoza menghela napas, lalu berjongkok di depan Rayder. "Dunia ini kejam, Nak. Kalau kau ingin bertahan, kau harus jadi lebih kejam dari siapapun." Dia meraih bahu Rayder dan sedikit mengguncangnya. "Bangun. Atau mati di sini." Rayder akhirnya mengangkat kepalanya. Matanya yang tadinya penuh air mata kini kosong. Dia bangkit. Dan tanpa menoleh ke belakang, dia mengikuti pamannya ke dalam kegelapan malam. Malam itu, Rayder Bomb lahir kembali. ****************Bab 11: Fondasi Kekuasaan1. Meja Bundar Tanpa MahkotaGudang bawah tanah di Distrik Sur kini berubah menjadi pusat komando Rayder. Tak ada lampu kristal, hanya cahaya redup dari lampu gantung industri. Di meja bundar dari kayu kasar, duduklah empat orang yang tak pernah disatukan siapa pun selain Rayder.Rayder memecah keheningan. “Kita bukan lagi anak buah siapa-siapa. Mulai hari ini, kita adalah poros baru.”Moya mengangguk pelan, kedua tangannya saling bertaut di atas meja. “Dan setiap poros butuh sistem. Kalau tidak, kita hanya jadi pemimpin setengah matang.”“Setengah matang masih bisa membakar,” sahut Ghost dingin, bekas luka di pelipisnya terlihat jelas di bawah cahaya. “Tapi kalau ini semua jadi pertunjukan demokrasi, aku keluar sekarang.”“Tidak, Ghost,” potong Rayder. “Kau di sini bukan untuk berdebat. Kau bagian dari fondasi. Sama seperti Moya, Sergio, dan Zorro.”Sergio—berbadan tambun, dengan mata waspada layaknya pedagang ulung—mengangguk. “Aku sudah dapatkan jalur peny
Bab 11: Empat Pilar Tanpa MahkotaLangit Santa Cruz sore itu memerah, seolah membakar sisa-sisa darah yang mengering di jalan-jalan belakang pelabuhan. Di dermaga tua, tempat kapal-kapal penyelundup biasa bersandar, Rayder berdiri diam menghadap laut, diapit oleh tiga sosok yang kelak menjadi tonggak kekuasaannya.Moya "Mago" Bomb berdiri dengan jas krem, tangannya memegang catatan kecil, wajahnya tenang namun matanya penuh hitungan. Di sebelahnya, Ghost Rivas, mengenakan jaket militer hitam, wajahnya kosong tanpa emosi. Di belakang, menyender ke mobil Range Rover, Rafael "Zorro" Morales menyalakan cerutu, mengamati dari jauh sambil tersenyum tipis.“Ini bukan tentang senjata saja,” kata Rayder lirih. “Santa Cruz tak bisa dikuasai hanya dengan darah. Kita butuh akar. Politik. Ekonomi. Narasi.”Moya mengangguk. “Dan legitimasi. Kita perlu buat publik percaya, kita ini bukan monster. Kita ini sistem baru.”Rayder menatapnya. “Dan siapa yang kau rasa cocok jadi wajah sistem baru itu?”Mo
Bab 10 – Pisau di Meja MakanJamuan BeracunRuangan makan itu megah tapi sunyi. Lampu gantung kristal bergoyang pelan. Di tengah meja panjang, duduk empat tokoh: Rayder, Rafael Morales, Moya, dan seorang tamu dari luar kota—Don Belisario, utusan dari kartel Rivales.Rayder menyeka tangannya, menatap Rafael tanpa senyum.Rayder:"Jadi, Rafael... katamu dia hanya ingin berdiskusi?"Rafael:“Betul. Mereka ingin jalur dagang ke timur. Tidak lebih.”Moya:"Dan kau percaya begitu saja?"Don Belisario:"Kami datang dengan itikad baik. Santa Cruz terlalu besar untuk dilawan, tapi bisa diajak bicara."Rayder mencelupkan roti ke saus, lalu menaruhnya kembali tanpa makan.Rayder:"Orang yang terlalu banyak bicara biasanya takut. Apa yang sebenarnya kalian mau?"Don Belisario (senyum tenang):"Aliansi. Kami bantu kalian ekspor senjata. Kalian buka jalur utara untuk kami. Tidak ada darah."Rayder tertawa kecil. Dingin.Rayder:"Kau datang ke meja ini bawa janji. Tapi aku tahu Rivales menyuap dua k
BAB 9: Retakan Dalam Bayanagan.Ketegangan di Ruang Tengah Di ruang rapat utama, Moya dan Rafael kembali bertemu. Keduanya mulai menunjukkan ketidaknyamanan yang lebih terang. “Rayder menyimpan terlalu banyak rahasia,” ucap Rafael. “Kita semua punya rahasia,” jawab Moya tenang. “Bukan begitu maksudku. Dia mulai curiga ke semua orang. Bahkan padaku.” Moya meneguk kopinya, lalu berkata pelan, “Mungkin memang waktunya kita siapkan rencana darurat. Kalau dia jatuh, kita tidak boleh jatuh bersamanya.” “Rencana seperti apa?” “Sesuatu yang tak akan membuat kita terjebak di tengah perang saudara,” ucap Moya tanpa menatap Rafael. Serangan Tak Terduga dari Kartel Rivales Dini hari, markas gudang timur Rayder meledak. Api membumbung tinggi, mengguncang satu blok penuh. Tim Ghost langsung meluncur ke lokasi, tapi sudah terlambat. Tiga orang tewas. Dua truk berisi senjata dan uang hangus. Rayder berdiri di depan puing-puing. Mulutnya kaku. Mata menyala marah. “Mereka masuk terlalu dalam
Bab 8: Luka yang Tidak Terlihat Luka Psikologis dan Ketegangan dalam Organisasi Pagi di Santa Cruz terasa lebih sunyi dari biasanya. Di markas utama, Rayder duduk diam di ruangannya. Pistol tergeletak di meja, pelurunya belum terisi kembali sejak eksekusi kemarin malam. Tapi suara jeritan dari gudang itu masih terngiang di kepalanya. Moya masuk tanpa permisi, membawa secangkir kopi. Tatapannya lurus, ekspresinya datar. "Kau tidak tidur, ya?" tanyanya. Rayder tidak menjawab. Hanya memandangi dinding. "Kau sudah membuat peringatan ke Rivales. Tapi kau juga meninggalkan ketakutan di anak buah sendiri." "Aku tak butuh loyalitas yang dibangun dari rasa aman," balas Rayder. "Aku butuh ketakutan yang menjaga mereka tetap bergerak." Moya duduk, meletakkan laporan di meja. "Ada yang harus kau lihat. Salah satu informan kita dibunuh. Disiksa dulu." Rayder membaca laporan itu cepat. Ekspresi wajahnya tak berubah, tapi napasnya lebih berat. "Mereka balas dendam." "Kemungkinan besar," uc
Bayang-Bayang Pengkhianatan Malam itu udara terasa berat di markas utama. Rayder berdiri di balkon lantai dua, menatap kilauan lampu kota Santa Cruz yang terasa jauh dari jangkauannya. Di bawah, suara mesin mobil dan langkah kaki para anak buahnya terdengar samar. Operasi balasan terhadap kartel Rivales berjalan lancar, tetapi di dalam dirinya, Moya merasakan sesuatu yang berbeda—sesuatu yang tidak beres."Kau yakin ini sudah cukup?" Suara Moya memecah keheningan. Ia berdiri di belakang Rayder, kedua tangannya terlipat di depan dada. Ada ketegangan yang jelas di matanya.Rayder tidak menoleh. "Kita sudah memberi mereka peringatan. Jika mereka masih berani bergerak, aku pastikan itu jadi langkah terakhir mereka."Moya melangkah mendekat. "Tapi kau tahu mereka tidak akan berhenti begitu saja. Rivales bukan kartel kecil. Jika kita terlalu keras, mereka akan membalas dengan cara yang lebih brutal."Rayder menghela napas panjang, akhirnya berbalik menghadap Moya. Sorot matanya tajam, teta
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen