Rupanya yang mengetuk kaca mobil itu adalah seorang kakek tua berusia sekitar 60-an tahun. Pakaian kakek itu terlihat lusuh dan kotor dipenuhi lumpur, sepertinya ia baru saja kembali dari sawah.
“Astaghfirullah,” ucap Syifa yang berada di dekat jendela. Ia menarik napas panjang untuk meredakan keterkejutannya.
‘Kirain siapa tadi, ngiranya udah orang jahat aja,' batin Syifa sambil menggelang pelan.
Syifa lantas segera membuka pintu mobil untuk menyapa sang kakek yang telah menunggu dengan sabar. Mereka berlima pun keluar dan sang kakek tersenyum tipis.
“Saya kebetulan sedang lewat sini dan melihat mobil kalian berhenti. Kalau boleh tahu, Nak berlima ini mau ke mana? Dan darimana?” tanya sang Kakek. Dia menaikkan sedikit capingnya dan memperhatikan penampilan khas anak kota kelima muda-mudi itu.
“Kami dari Jakarta dan hendak pergi ke Desa Pulo Majeti, Kek,” jawab Syifa dengan sopan. “Kami mau melayat ke rumah teman kami yang meninggal.”
“Oh, kebetulan saya juga tinggal di Desa Pulo Majeti, Nak,” kata sang Kakek dengan senyum lebar, membuat Syifa ikut tersenyum. “Tapi, siapa teman kalian yang meninggal itu kalau Kakek boleh tahu?”
“Namanya Faiz Kek, anaknya Ibu Lastri. Apa Kakek kenal?”
Sang kakek terlihat berpikir sejenak, kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ah, anak Bu Lastri yang sempat bekerja di kota itu, ya? Tentu Kakek kenal.”
“Iya, betul Kek, Faiz yang itu,” sahut Syifa.
Sang Kakek kembali tersenyum. “Orang desa saling kenal, Nak. Apalagi desa kami tidak besar.”
“Ah begitu ya, Kek,” timpal Azriel dengan sopan.
“Iya, Nak.”
“Kalau begitu, apa Kakek tahu ada bengkel di sekitar sini atau apa gitu yang bisa perbaikin mobil kita? Mobilnya tiba-tiba saja mati, Kek,” jelas Azriel. Ia berpikir bahwa membawa mobilnya ke bengkel mungkin akan mempercepat perbaikan, dibanding jika mereka sendiri yang memperbaikinya.
Sayangnya, sang kakek menggeleng dengan wajah berkerut. “Maaf, Nak, tapi nggak ada bengkel di dekat sini. Ada pun itu jaraknya jauh sekali.”
Bahu Azriel merosot mendengar hal itu. Ia menatap teman-temannya dan mereka juga terlihat bingung harus bagaimana.
“Tapi sepertinya Kakek bisa bantu,” kata sang kakek, berhasil menarik perhatian kelimanya.
Azriel berkedip bingung. “Bantu gimana, Kek?”
“Kamu coba hidupkan mobilmu kembali, siapa tahu sekarang sudah bisa menyala,” ucap sang Kakek dengan tenang.
Meskipun merasa heran, Azriel tetap mengikuti perintah dari sang kakek. Ia memutar kunci dan mencoba menghidupkan kembali mesin Jeep-nya.
Saat ia berpikir bahwa saran sang kakek tidak akan berhasil, namun secara ajaib mobilnya tiba-tiba menyala kembali. Mesin berdengung dengan normal seolah tidak pernah ada kerusakan apa pun sebelumnya.
Mata Azriel melebar takjub. Glen mendekat dengan cepat dan tertawa. “Heh, udah nyala?”
“Iya nih, liat. Padahal tadi kita udah coba puluhan kali, tapi tetep aja mati,” sahut Azriel.
“Gimana, Nak?” Sang kakek ikut mendekat dan melihat ke dalam mobil dengan senyum simpul.
“Udah bisa, Kek,” jawab Azriel dengan senyum mengembang. “Dan ini karena saran dari Kakek. Makasih Kek.”
“Sama-sama, Nak. Kakek cuma kasih saran aja, syukur-syukur bisa nyala.”
Apa pun itu, Azriel merasa bahwa kehadiran sang kakek merupakan suatu keberuntungan bagi mereka. Syifa, Salsa, dan Rania pun bergegas masuk setelah mengucapkan rasa terima kasih yang sama pada sang kakek.
“Sebaiknya kalian langsung berangkat saja, Nak. Tidak baik tinggal lama-lama di hutan ini,” kata sang kakek kemudian. Senyum itu masih terukir di bibirnya, tetapi nada suaranya telah berubah.
Kelima muda-mudi dalam mobil itu sontak menegakkan tubuh mereka. Azriel menatap tidak mengerti dan menatap sang kakek yang berdiri di dekat jendela.
“Kakek cuman kasih nasehat, jadi kalian sebaiknya tinggalkan hutan ini sebelum matahari terbenam. Hutan ini tidak boleh dilalui kalau sudah gelap.”
Sang kakek lalu menatap ke arah hutan cukup lama dan membuat suasana menegang untuk beberapa saat. Salsa merasa bahwa jantungnya akan meledak karena rasa ngeri yang menggerogoti tubuhnya.
“Kalian masih ada waktu sebelum sampai di Pulo Majeti,” sambung sang kakek dengan suara misterius yang membawa hawa tidak mengenakkan.
Mereka berlima kembali saling tatap dengan perasaan was-was, terutama Salsa, Syifa, dan Rania yang kini menelan ludah susah payah.
Dengan gugup, Salsa menekan tangannya yang gemetar ke paha. Tanpa sadar ia beringsut lebih dekat ke arah Syifa meskipun gadis itu sudah terpojok ke dekat pintu.
“Kami mengerti Kek,” kata Azriel setelah beberapa saat. Ia mengerti benar bahwa kata-kata sang kakek menyiratkan sesuatu yang tidak boleh dilanggar. Sebagai warga Pulo Majeti, tentu kakek itu tahu apa saja pantangan di daerah ini.
“Kami akan berangkat sekarang. Tapi apa Kakek nggak butuh tumpangan?” tanya Azriel ragu-ragu.
“Kalian duluan saja. Kakek masih ada keperluan.” Kakek itu tersenyum dan melangkah mundur, menjauh sedikit dari mobil mereka.
“Sekali lagi, terima kasih atas bantuan dan nasehatnya. Kami duluan ya, Kek,” kata Azriel untuk terakhir kali.
Ia lantas membawa mobil Jeep-nya melaju pergi dengan angin dingin yang membuat bulu kuduk merinding seolah mengikuti mereka. Suasana yang terlalu tenang mendadak membuat perasaan menjadi tidak karuan.
Di kaca tengah, ia memperhatikan teman-temannya yang mengusap tengkuk mereka, tak lain merasakan hal yang sama dengannya.
“Kalian ngerasa ada yang nggak beres, nggak? Perkataan Kakek tadi kok kayak serem banget, ya?” bisik Rania.
Syifa menggeleng, memberi isyarat agar Rania tidak bicara sembarangan.
“Oh maaf.” Rania dengan cepat menutup mulutnya. Ia tidak sengaja menoleh ke belakang dan membelalak terkejut saat tidak lagi melihat sosok sang kakek di sana. Padahal belum sampai semenit mobil mereka melaju pergi.
Karena terkejut, Rania pun tanpa sadar agak berteriak, “Kakek itu menghilang!”
Salsa dan Syifa sontak menoleh ke blakang dan benar saja, kakek itu telah menghilang layaknya angin yang berembus.
“Lho, bukannya tadi barusan ....” Syifa kehilangan kata-kata untuk bicara.
Glen yang mendengar kegaduhan pun menghela napas kasar. “Astaga, kalian jangan berpikir yang nggak-nggak, deh. Bukannya tadi kalian yang bilang gitu?”
“Iya, tapi kakek itu tadi kan masih—”
“Mungkin aja kakek itu masuk ke hutan, mau kembali ke ladangnya atau gimana,” kata Glen cepat, memotong ucapan Syifa. “Udahlah, kalian jangan mikirin yang aneh-aneh.”
“Kalian sepertinya butuh tidur, deh,” sahut Azriel. Ia menoleh sekilas dan memperhatikan ketiga teman perempuannya yang terlihat dipenuhi kekhawatiran. “Mungkin kalian cuman kelelahan aja sampai mikir kayak gitu. Kami bakal bangunin kalian kalau udah sampai di balai desa.”
Syifa, Salsa, dan Rania pun mengangguk mengiyakan. Mereka pikir mereka memang butuh tidur, daripada terus memikirkan hal buruk yang berseliweran dalam kepala.
***
Setelah dua jam perjalanan panjang, Azriel akhirnya bisa memberhentikan mobilnya di tempat yang mereka tuju.
Azriel menatap bangunan balai desa dengan cat yang paling menonjol di antara bangunan sekitarnya. Ia sempat bertanya pada warga sekitar sebelum akhirnya tiba di tempat ini.
“Syukurlah kita bisa sampai dengan selamat,” kata Azriel sambil meregangkan tubuhnya yang pegal di semua bagian. Bayangkan saja bagaimana ia menyetir dari pagi sampai sore, tangannya serasa akan putus. Tetapi di sisi lain, ia bersyukur bisa tiba di desa almarhum Faiz.
“Ayo turun.” Glen lebih dulu melompat keluar, disusul yang lainnya.
Begitu keluar dari mobil, udara sore pedesaan yang segar langsung menyambut mereka, membuat rasa lelah mereka sedikit menghilang.
Syifa menatap sekeliling dan terpaku pada gadis muda yang tengah berlari-lari kecil ke arah mereka. Matanya menyipit penasaran. “Eh eh, bukannya itu Sela?"
Empat kepala ikut menoleh ke arah yang ditatap oleh Syifa. Tanpa berpikir lama, mereka pun bisa menebak bahwa itu memang adiknya Faiz.
Wajahnya begitu mirip dengan foto yang pernah mereka lihat di ponsel Faiz. Tidak salah lagi, wajah gadis itu sama sekali tidak berubah.
“Sela? Kamu Sela, Dek?!” teriak Glen saat jarak Sela semakin dekat.
Gadis itu mengangguk dan melambaikan tangannya sebagai respon.
Mereka berlima segera menghampiri anak SMA dengan tubuh kurus itu. Sela memiliki perawakan yang kecil dan pendek, dengan pakaian sederhana yang membalut tubuhnya.
“Halo kak,” sapa Sela dengan sopan dan ramah. “Apa perjalanan kalian lancar?”
“Santai aja, Dek. Nggak perlu terlalu formal,” kata Glen dengan kekehan ringan. “Perkenalkan, namaku Glen, yang kemarin hubungin Sela lewat telepon. Kamu panggil aja Abang Glen.
Glen mencoba bicara akrab dan hanya dihadiahi tawa dari teman-temannya.
“Sok akrab kamu,” canda Salsa dengan bibir mengerucut. Di antara mereka berlima, Glen memang yang paling urakan dan tengil.
Sela tersenyum malu dan menjabat tangan Glen, disusul Azriel, Syifa, Salsa, dan Rania yang bergantian memperkenalkan diri.
Setelah perkenalan singkat itu, mereka memutuskan untuk langsung pergi ke tempat tinggal almarhum Faiz sambil menenteng tas berisi pakaian mereka. Rencananya mereka akan tinggal di sana selama beberapa hari.
Tetapi di tengah perjalanan, Rania yang sibuk memperhatikan sekitar malah tersentak saat melihat sosok sang kakek yang tadi sempat mereka temui di hutan.
Kakek itu menatap ke arah mereka dengan lengkungan senyum tipis yang membuat bulu kuduk Rania merinding. Sorot matanya yang tajam entah kenapa begitu menakutkan.
‘Bukannya Kakek itu harusnya belum sampai, ya? Dua jam perjalanan pake mobil dan kalau Kakek itu cuman jalan, kok, bisa sampai secepat itu?'
Ada begitu banyak pertanyaan yang berkeliaran di kepala Rania. Ia merasa bingung dan takut secara bersamaan. Teman-temannya sibuk berbicara dan sepertinya belum menyadari kehadiran sang kakek yang tidak masuk akal.
Rania mengangkat kepalanya dan ketika pandangan keduanya bersirobok, hawa dingin tidak mengenakkan itu kembali membelai tengkuknya.
Bersambung ....
“PAK, BANGUN!! BANGUN, PAK!! JANGAN TINGGALIN IBU SENDIRIAN!! PAKKKKKK! SIAPA NANTI YANG NGASIH SAYA UANG, PAKKK! BANGUNN!”Bu Linda terus berteriak histeris melihat Pak Suro yang tidak lagi bergerak di tempat. Tetapi, bukannya mendekat, Bu Linda malah hanya terus berteriak di tempat layaknya orang kesurupan.Para warga yang melihat hal itu hanya diam dan tidak berniat untuk menolong. Setelah mengetahui kebusukan Pak Suro, mereka benar-benar membenci sang kepala desa dan keluarganya yang tidak punya belas kasihan.“Jangan ada yang nolongin Bu, itu balasan untuk orang seperti mereka,” kata warga, mulai berbisik-bisik melihat Bu Linda yang bertingkah seperti orang gila.Bu Linda terus mencak-mencak di tempat sambil menarik-narik rambutnya dengan kekuatan penuh. Namun, tidak ada satu pun warga yang terlihat kasihan.“Mereka orang jahat dan kejam yang rela melakukan apa pun demi uang. Bahkan, balasan ini belum setimpal buat mereka!” kecam para warga.“Iya, betul, Bu. Saya harap sampai tuj
“Benar, ini adalah ladang ganja,” kata rekan polisi tersebut, mengonfirmasi ucapan Glen.Glen kembali berdecak, antara kagum dan juga prihatin dengan keberadaan ladang ganja yang luar biasa luas itu. Mereka sengaja menyembunyikannya di kedalaman hutan, sehingga tidak ada kecurigaan apa pun. Benar-benar pikiran para penjahat itu tidak ada duanya.“Wah, ini ladang ganjanya bisa dijadiin perumahan,” ucap Azriel sarkastik, pasalnya ganja yang ditanam luasnya bukan main.Glen dan kedua polisi di sampingnya pun spontan tertawa. Azriel terlalu jengkel melihat ladang itu karena sekarang jelas dari mana kekayaan Pak Kades berasal, selain dari pesugihan yang dia lakukan.Mereka mengamati ladang ganja itu dan Glen tiba-tiba teringat dengan foto di ponsel Faiz. Keningnya berkerut dalam saat membandingkan foto itu dengan apa yang ia lihat sekarang.Bentuk tanaman itu ... bentuk daunnya ...Glen mendekat ke salah satu tanaman ganja dan memperhatikannya dengan seksama. Meskipun foto di ponsel Faiz d
“Gimana? Apa katanya?” Azriel mengetuk-ngetukkan jarinya ke badan mobil, menunggu Glen yang tengah menghubungi Rania terkait pergerakan Pak Kades dan rekannya.“Katanya aman,” jawab Glen, menunjukkan pesan dari Rania yang mengatakan kalau mereka bisa bergerak sekarang sesuai rencana. Pak Kades sedang sibuk melayani warga dan tidak akan bergerak dari tempatnya sampai beberapa jam ke depan.“Bagus. Sekarang kita harus segera pergi,” kata Azriel, lalu beralih menatap ke arah Pak Kyai Jafar dan dua orang polisi yang telah mereka panggil sebelumnya.Mereka semua akan pergi bersama ke hutan demi menemukan Rizky, Kakek Apung, juga bukti lain yang sekiranya bisa mereka temukan untuk memperlihatkan kebusukan Pak Kades.“Kita bisa bergerak sekarang, Pak,” ucap Azriel dan mereka semua mengangguk mengerti.Kali ini, Azriel akan membawa Jeep-nya menjelajahi hutan hingga tiba ke rumah panggung itu. Glen berada tepat di sampingnya, sementara Pak Kyai Jafar dan dua polisi lainnya duduk di belakang.“
“Mawar? Mawar? Heh? Kamu denger aku bicara nggak sih?”Dinda menghela napas keras melihat Mawar yang sama sekali tidak menggubris ucapannya. Setelah kejadian di mana Mawar kesurupan, sikapnya mendadak berubah drastis.Mawar selalu melamun dan tidak mau bicara. Dinda sudah berusaha keras untuk membujuknya dan mencoba banyak hal, termasuk membuat konten mereka lagi, tetapi nihil. Mawar sepertinya lebih suka tenggelam dalam lamunannya dan mengabaikan Dinda sepenuhnya.“Mawar, kamu sebenarnya kenapa sih?” Dinda menatap frustrasi sekaligus prihatin. Ditatapnya penampilan Mawar yang acak-acakan, begitu berantakan dan urakan. Dia tidak lagi terlihat seperti gadis modis nan cantik yang terobsesi untuk menjadi influencer terkenal.“Mawar, sampai kapan kamu diam gini sih?” Dinda kembali mencoba mengajak Mawar mengobrol. Ia telah berhasil membujuk Mawar untuk pergi ke danau tempat biasa mereka membuat konten, tetapi tetap saja dia berakhir melamun di sini. “Gimana kalau kita buat konten lagi?” t
Setelah memenggal kepala Rizky, Pak Suro pun segera mengambil kepala berlumuran darah itu untuk diberikan pada Kakek Apung.Kakek Apung bangkit dari tempatnya dengan mata yang telah memerah, juga wajah buruk rupa yang penuh belatung. Hal itu menandakan bahwa iblis yang akan membantu Kakek Apung telah merasuki tubuhnya.Pak Suro dan kedua anak buahnya kemudian berlutut penuh hormat. “Saya persembahkan kepala ini untuk Tuanku!”Kakek Apung yang telah dikuasai iblis dalam dirinya langsung memakan kepala itu dengan rakus. Saking terburu-burunya sampai beberapa potong tulang berjatuhan ke lantai.Kedua anak buah Pak Suro sontak mundur dengan perasaan ngeri luar biasa. Memenggal kepala Rizky saja sudah membuat mereka mual, apalagi melihat pemandangan di mana Kakek Apung memakan dan menguliti kepala utuh itu.Mulut dan tangan Kakek Apung telah berlumuran darah. Kedua anak buah Pak Suro hanya bisa menelan ludah susah payah, meskipun dalam hati berharap bisa lari dari tempat itu.“Ya, habiskan
“Allahuakbar!”Kyai Jafar membaca surah dengan khusyuk saat melaksanakan shalat tahajud malam itu. Jam dinding telah menunjukkan pukul dua dini hari ketika ia terbangun karena mimpi aneh.Tidak seperti biasanya, kali ini hujan deras mengguyur di puncak musim kemarau yang biasanya kering kerontang. Ranting-ranting pohon terdengar mengetuk kaca jendela tiap kali angin kencang datang dari arah timur.Hawa dingin membungkus setiap sisi pesantren. Kyai Jafar kemudian bangkit untuk melaksanakan beberapa rakaat lagi sebelum melaksanakan shalat witir. Namun, di tengah kekhusukannya, tiba-tiba ia merasa bahwa ada sesuatu yang mengganggunya.Kyai Jafar berusaha mengabaikan gangguan itu dan tetap melanjutkan sholatnya. Saat ia mulai berzikir, mendadak gangguan tersebut semakin menguat. Tangan Kyai Jafar sampai bergetar karena gangguan halus yang tiap detiknya meningkat.“Subhanallah ... Subhanallah ... Subhanallah ...” suara Kyai Jafar semakin besar di setiap dzikirnya. Terasa jelas dahinya mula