BAGIAN 95
POV NAMI
Lugas ku tepis rangkulan Mas Anwar. Kupasang wajah dingin, lalu aku pun menoleh kepada dokter Indra yang juga terlihat kurang nyaman gerak-geriknya. Dia pasti merasa canggung. Tentu saja. Orang waras pasti menganggap ucapan suamiku itu menggelikan dan sangat kurang pantas buat diucapkan. Entahlah Mas Anwar ini. Ketika Ina menginjakkan kaki ke rumah kami, sikapnya lambat laun membuatku gondok luar biasa.
“Dokter, Fatina, silakan masuk ke dalam,” ucapku mempersilakan mereka berdua untuk masuk ke kamar tamu yang berada di pojok lorong sebelah kiri sana.
“Dok, tolong Ina dipasangkan infus saja. Mohon resepkan obat-obatan suntiknya, Dok. Nami yang akan mengawasi selama infus terpasang.&rdquo
BAGIAN 96POV NAMI Dokter Indra sudah pulang dan menitipkan kepadaku obat-obatan yang harus dimasukan melaui selang infusnya Ina. Selepas dokter Indra dan Fatina pulang, aku memutuskan diri untuk menyingkir sejenak. Aku masuk ke kamar, membiarkan Mas Anwar tertinggal di kamar tamu bersama Ina dan keluarga perempuan itu. Kepalaku rasanya sakit. Berdenyut karena sibuk memikirkan konflik yang rasanya pelik tersebut. Kutarik napas dalam-dalam sembari berjalan gontai menuju ranjang. Kulepaskan hijab dan kugantungkan kain penutup aurat itu di ujung tiang ranjang. Aku pun berbaring. Ya Allah, kenapa rasanya sedih sekali, ya? Ketika aku hendak memejamkan mata, tiba-tiba pintu kamarku dibuka dari luar. Aku pun kaget. Langsung melem
BAGIAN 97 POV NAMI “Tidak hanya Munarwan yang menjadi korban, tetapi anak Ina sendiri pun sebenarnya adalah korban. Mendiang kusadari kurang memiliki figur seorang bapak di rumah. Aku memang cenderung jauh dengannya. Selain karena sibuk bekerja, aku memang sedari dia lahir agak menjaga jarak. Bukan karena apa-apa. Aku hanya tak ingin terlalu memiliki ikatan batin dengan anak itu. Hatiku hanya menolak untuk bisa membersamainya. Mungkin, karena dia anak perempuan. Kau tahu sendiri kan, Nami, aku ini senangnya dengan anak lelaki saja. Tidak dengan anak perempuan, terlebih bukan darah dagingku sendiri.” Kalimat demi kalimat yang meluncur dari bibir tebal nan legam milik Mas Anwar kian membuatku bungkam. Aku terperanjat sebab alasannya tersebut. Untung saja anakku berjenis kelamin laki-laki. Coba kala
BAGIAN 98POV NAMI “Baik, Tika. Kamu harap sabar dulu, ya. Papa akan mengusahakan yang terbaik untuk kalian semua.” Mas Anwar terlihat agak gentar. Membuatku sangat heran dengan perubahan sikapnya yang begitu drastis sepulang dari India. Kenapa suamiku jadi serba tak tegas begini, ya? Apa pun yang diminta orang, dengan mudahnya dia akan mengiya-iyakan saja. Jangan bilang, alasannya ingin menebus rasa berdosa lagi? Kalau itu alasannya sih, aku rasanya angkat tangan juga lama-lama. “Tolong ya, Pa. Aku benar-benar sudah tidak betah lagi hidup sendirian begini. Punya suami itu bukan hanya status saja, Pa. Aku juga pengen membangun rumah tangga yang utuh seperti pasangan suami istri normal lainnya. Aku tertekan Pa, asal Papa tahu. Di sini banyak sekali yang menghujatku. Mulai dari kasus pembunu
BAGIAN 99POV NAMI Aku dibantu dengan Rahima kini tengah berkutat di dapur. Kami tengah menyiapkan makan siang untuk Mas Anwar, para tamu, dan satpam yang berjaga. Pukul 12.00 tepat akan terjadi pergantian shift antara Sukri dengan Jali. Baik Sukri dan Jali sama-sama diberi makan siang. Sementara satpam yang berjaga setelah Sukri pada pukul 21.00 nanti, yakni Rohmadi, maka akan diberi makan malam dengan menu masakan malam nanti. Ya, beginilah keseharianku. Aku yang kata orang-orang kini dinikahi sultan itu pun harus ikut andil dalam memasak setiap menu yang bakalan disantap suami maupun karyawan. Belum lagi kalau Mas Anwar mengundang anak-anak kain atau peternakan. Aku sih, tidak masalah. Malahan senang. Karena hobiku sendiri juga memasak. Namun, entah kenapa kali ini agak beda. Seperti agak lelah saja. Mungkin karena terlalu banyak bertengkar.&nbs
BAGIAN 100POV NAMI “Apakah kamu mau tinggal di sini? Membantuku di rumah dan mengurusi pekerjaan dapur maupun beres-beres? Tidak bermaksud untuk merendahkanmu. Namun, aku tulus ingin membantu.” Aku berucap dengan mata yang berkaca kepada Ina. Membuat perempuan itu tampak tertegun. Dia seperti syok mendengarkan permintaanku. Kedua bibirnya sampai gemetar kulihat. “N-nyo-nya … a-apa saya tidak salah dengar?” lirih Ina. Air mata di kantung sendunya kini menetes. Pipi Ina yang mulus itu pun semakin basah akibat air mata yang menderu dan kian tumpah ruah. Aku menggeleng pelan. Kugenggam jemari kiri Ina. “Aku sungguh-sungguh. Tidak bergurau atau basa-basi. Aku serius ingin mengajakmu tinggal
BAGIAN 101 POV INA “Kalian baik-baik di kampung ya. Aku janji, pasti tiap bulannya bakalan ngirim uang. Kalau bisa, aku akan kirim uang yang sangat banyak untuk kalian sekeluarga.” Aku berucap dengan suara yang sangat pelan. Bahkan berbisik-bisik. Pintu kamar sebelumnya sudah kukunci. Aku takut jika Nami nanti menguping seperti tadi siang. “Iya, In. Kamu baik-baik ya, Nduk, di sini. Ojo nggawe (jangan bikin) keributan.” Mbak Rusmina menasihatiku. Dia duduk di sebelah, sementara suaminya sudah tertidur di lantai dengan beralaskan tikar dan sebuah bantal. Kasihan Mas Suwito. Beliau sudah tidak lagi muda, tapi gara-gara aku dia harus naik-turun gunung seperti ini. Sabar ya, Mas, Mbak. Kelak, aku akan membahagiakan kalian lagi seperti dulu kala. “Tenang, Mbak. Aku akan main halus. Main cantik. Percayakan semuanya kepadaku,” ujarku meyakinkan. Mbak Rusmina malah menghela napas dalam. Raut tua dan keriputnya kini terlihat menanggung beban.
BAGIAN 102POV INA “Bayu … akan segera bebas dalam waktu dekat ini. Dia dan istri barunya, Tika, akan tinggal bersama kita. Semoga nanti kalau mereka sudah berada di rumah ini, kita akan selalu akur-akur, ya?” Nami berucap dengan nada bicara yang semula terdengar agak canggung. Senyum di bibirnya pun kelihatan getir. Mendengar ucapan Nami barusan, dadaku mencelos. Gemetar seluruh inci tubuhku. Apa? Bayu dan Tika si psikolog bajingan itu akan tinggal di sini? Astaga, bagaimana bisa Bayu bebas dalam waktu sesingkat itu? Dia pembunuh! Dia yang melenyapkan nyawa anakku. Kenapa dia dibebaskan? Siapa yang membebaskannya? Mas Anwar, ini pasti ulahnya! Akan tetapi … aku bisa apa? Hanya bisa kupendam peras
BAGIAN 103POV INA “Iya, Nyonya. Apa pun yang Nyonya minta kepada saya … akan saya usahakan untuk menjalankannya,” kujawab Nami dengan sungguh-sungguh. Seketika itu juga, mata Nami yang memang terlihat cantik itu tampak semakin berbinar. Dia tersenyum tulus. Bahkan lambat laun kian semringah. “Makasih ya, Ina. Aku yakin bahwa kamu itu sudah berubah jauh.” Ucapan Nami sedikit banyak membuatku tersinggung sebenarnya. Apa dia bilang? Berubah? Memangnya ada apa dengan diriku? Kau menganggapku seburuk itu dulunya, Nami? Bedebah! Dasar wanita sok suci. Lagaknya macam malaikat saja yang tidak pernah berbuat salah dan dosa.&nbs