Senja mulai merangkak mendekati malam. Beruntung Janeta menemukan sebuah lampu teplok yang masih berisi minyak tanah di dalam mangkuk kaca yang berada di bagian bawah lampu yang biasa di tempelkan ke dinding itu. Ada dua lampu disana. Satu besar dan satu lagi berukuran lebih kecil. Selain kedua lampu tersebut, di sana juga ada beberapa kotak korek api kayu. Tentu saja ini sangat menggembirakan hati Janeta.
Sepertinya pemilik pondok sederhana itu cukup lama tinggal di sana tapi sudah cukup lama pula meninggalkan pondok atau dangau tersebut. Hal itu bisa terlihat dari beberapa barang-barang yang sudah ditempeli debu yang cukup tebal. Namun melihat perbekalan yang cukup lengkap dan banyak, Janeta yakin kalau pemilik pondok adalah petani atau pemancing ikan. Karena di sana terlihat beberapa joran pancing lengkap dengan tali dan mata kail. Ada pula alat pertanian bahkan alat memasak cukup lengkap. Ada periuk, kuali, sendok, piring serta gelas plastik. Yang semuanya terlihat usang kaSi Hitam mengendus-ngendus dan mencium tanah. Lalu ia berpaling ke suatu arah dan mengeram dengan keras.“Ada apa, Hitam?” tanya Janeta sedikit cemas dan ikut menatap e arah si Hitam menoleh.Guk...guk..guuuk...!!Si Hitam menyalak dengan keras memandang ke arah sebuah cahaya yang semakin mendekat. Suara si Hitam menggema membelah pekatnya hutan belantara.“Hitaaaam....!!” terdengar suara memanggil.“Kang Cecep...??” teriak Janeta hampir tak percaya begitu ia mengenali suara itu.Si Hitam melompat-lompat girang dan ekornya dikibaskan ke kiri dan ke kanan. Ia lalu berlari manja menuju Cecep yang sudah hampir sampai di depan pondok.“Hahaha.. kamu memang pintar, Hitam! Nalurimu sangat peka membedakan musuh dan kawan.” ucap Cecep sambil jongkok dan memeluk si Hitam sejenak.Janeta menarik nafas lega ketika sosok Cecep benar-benar sudah nyata berdiri di hadapannya. Tadinya ia sempat berfikir ba
Malam itu di rumah Rusmidi.Sebuah mobil mewah memasuki halaman pensiunan perwira polisi itu. Kendaraan mahal itu terparkir lalu turunlah seorang lelaki tua yang masih gagah.“Hei Ardy..! Sudah besar kamu rupanya, Nak!”Terdengar sapaan yang sangat akrab dari pemilik mobil mewah itu setelah Ardy, anak bungsu Rusmidi membukakan pintu untuknya.“Iya Om! Sudah lama sekali Om tidak pernah datang ke mari.” Terdengar sahutan Ardy sopan dan anak muda yang telah duduk di bangku kuliah di tahun kedua itu menyalami dan mencium punggung tangan lelaki tua yang datang yang tak lain adalah Tuan Morat.Tuan Morat adalah sahabat Rusmidi. Namun karena kesibukan masing-masing mereka jarang bisa saling menyambangi.“Hahaha, iya Ardy. Maafkanlah orang tua yang selalu sibuk tak menentu ini.” sahut Tuan Morat sambil menepuk bahu Ardy.Ardy tersenyum dan mempersilahkan Tuan Morat masuk ke rumah.“Papa ada di ruang kerja, Om!” ucap Ardy sambil bermaksud mengantarkan Tuan
Cukup lama Tuan Morat dan Rusmidi terdiam. Mereka hanyut dalam keresahan hati masing-masing.“Maafkan aku Midi, aku sungguh tidak tahu kalau Nona Janeta itu adalah keponakanmu. Aku juga sempat mencurigai dirinya.” Akhirnya Tuan Morat memecah keheningan.“Itu karena kau sudah lama tidak kemari, Morat. Jadi kau tidak pernah bertemu dengannya. Padahal aku telah mengambilnya sejak kedua orang tuanya mati terbunuh. Aku membawanya ke sini dan menguliahkannya.”“Apa kau bilang tadi, Midi? Orang tua siapa yang mati terbunuh?” mata Tuan Morat membesar. Ia mencecar sahabatnya itu dengan pertanyaan.“Kedua orang tua Jane. Ayahnya adalah Kakak kandungku.” sahut Rusmidi lirih dengan pandangan mata kelam. Air bening menutupi pemandangan lelaki paruh baya itu.“Jangan bercanda kau, Midi!”Tuan Morat sampai berdiri karena tidak percaya dengan berita yang didengarnya dari Rusmidi. Wajahnya tegang dan tubuhnya bergetar menahan emosi dirinya sendiri.“Aku tidak bercanda Morat! Itulah
Malam kini telah berlalu dengan berbagai cerita bagi masing-masing insan di bumi. Sang fajar muncul di balik bukit menandakan bahwa malam kini akan berganti siang. Perlahan matahari mulai menaik dan menyinari bumi.Suara burung-burung riuh bagaikan nyanyian alam menggambarkan betapa kayanya sang pencipta.Cecep menggeliat masih di atas pohon tumbang yang syukur cukup besar hingga mampu menahan tubuhnya. Si Hitam dengan setia tidur di bawah pohon itu.“Oh, sudah pagi, Hitam!”Beberapa kali Cecep menguap petanda kantuk belum sepenuhnya pergi dari matanya.Si Hitam melompat-lompat manja. Ekornya ia kibaskan ke kiri dan ke kanan.“Ayolah kita mandi, Hitam! Aku sudah rindu berendam dalam sungai itu!” seru Cecep sambil menunjuk ke arah sungai yang suaranya dapat di dengar dari tempat mereka berada saat itu.Si Hitam kembali melompat-lompat girang. Cecep segera bangkit dan turun dari rebahan kayu itu lalu berjalan menuju sung
Ratih berjalan perlahan mendekati Salma tanpa mengalihkan pandangannya dari gadis cantik itu.“Apa maksudmu?” tanya Ratih sedingin es.Salma menaikkan kedua tangannya lalu ia lipat di dadanya. Ia juga berjalan lebih mendekat kepada Ratih dan membalas tatapan tajam gadis itu.“Kamu mau tahu siapa yang membunuh Pak Warno sebenarnya?” tanyanya tanpa berkedip menatap Ratih.Pertanyaan Salma kepada Ratih sontak membuat Darma gelisah. Ia terlihat semakin salah tingkah. Ia bergegas mendekati Ratih dan merangkul kedua bahu calon istrinya itu dan membawa agak menjauh dari Salma.“Sudahlah Ratih, jangan diladeni perempuan sinting itu!” ucap Darna sambil menunjuk Salma yang masih melipat tangan di depan dada.Salma melengos lalu tersenyum menjijikkan.“Lepaskan Kang! Ratih mau tahu apa yang sebenarnya terjadi!” seru Ratih sambil mengibaskan rangkulan tangan Darna di kedua bahunya. Ia kembali berjalan mendekati
Darna dan Ratih terpana mendengar rekaman suara dari ponsel Abbas tersebut. Sadarlah mereka berdua bahwa mereka telah terjebak untuk ke sekian kalinya.“Bagaimana? Apakah kalian sudah mendengar dengan jelas?” ucap Salma yang kini telah memindahkan kedua tangannya ke balik bokongnya yang seksi. Ia berjalan mengitari Darna dan Ratih bagaikan seorang guru mengitari muridnya yang telah melakukan kesalahan.Ratih dan Darna berpandangan. Darna mengirim kode kepada Ratih lewat pandangan matanya agar Ratih mengikuti saja kemauan Salma. Ratih mengangguk walau hatinya menolak. Tapi demi keselamatan ibunya, ia harus mengikuti kemauan Salma dan Abbas. Ia benar-benar tidak tega jika harus melihat ibunya di penjara dalam waktu yang lama.“Tapi baju berdarah itu tidak ada bersama Ratih!" ucap Ratih lirih.“Apa maksudmu, Ratih? Jangan coba-coba bermain denganku!” ujar Salma sedikit menghardik. Matanya melotot.Tiga pasang mata yang ada
Sementara itu di dalam hutan.Cecep sudah siap mandi dan tampak segar. Di atas tungku sudah terlihat pula beberapa ekor ikan yang dibakar dan menyebarkan aroma yang membuat usus melilit meminta jatah. Cecep duduk di atas pohon kayu yang rebah dan secangkir kopi menemaninya.Janeta turun dari atas pondok dan bersiap menuju ke sungai. Ia memang sengaja pergi ke sungai agak terlambat karena menunggu Cecep kembali dari sungai itu. Memang Cecep membutuhkan waktu agak lama karena ia menangkap beberapa ekor ikan terlebih dahulu untuk sarapan pagi itu.Janeta langsung memeriksa pakaiannya yang semalam ia jemur. Syukurlah pakaian itu tidak terlalu tebal hingga beberapa jam saja terkena sinar matahari sudah kering.“Neng mau mandi?” Cecep menyapa.“Iya, Kang! Kita harus segera turun ke kota untuk mencari Fitri.” sahut Janeta.Cecep terlihat sedikit melongo.“Apa tidak sebaiknya kita tunggu besok saja Neng. Saya rasa polisi masih
Sementara itu Ratih dan Darna sedang melaju cukup kencang dengan sepeda motor dari desa menuju arah Jakarta. Cuaca yang sedikit panas tidak dihiraukan mereka berdua. Pikiran mereka hanya fokus untuk mencari Fitri dan menemukan baju berdarah yang diinginkan Salma. Mereka berharap urusan dengan Salma cepat selesai dan mereka bisa menjalani hidup dengan normal kembali.Ratih memeluk pinggang Darna dengan erat. Berbagai pikiran dan perasaan bercampur aduk di dalam pikirannya. Ia teringat pesan Janeta kepadanya ketika akan dibawa oleh polisi.“Ratih, cari Fitri dan temukan baju berdarah itu untuk Kakak!”Hari ini memang ia akan pergi mencari Fitri untuk mendapatkan apa yang diminta oleh Janeta. Namun sayangnya, Ratih sudah tidak lagi berbuat untuk Janeta. Ia melakukan itu untuk Salma. Yah, untuk Salma. Karena Salma sudah berhasil menjadikan mereka sekeluarga menjadi robot permainannya.“Kak Janeta, maafkan Ratih, Kak! Ratih tidak punya pilihan