Pertarungan antara Kui Long dan Xian Mo berubah menjadi pertunjukkan yang memukau sekaligus menakutkan. Cahaya dari Teknik Pedang Surya Kui Long kini bersinar lebih kuat, setiap tebasan menciptakan retakan di udara, seolah-olah mengiris dimensi itu sendiri. Namun, Xian Mo tetap tak tergoyahkan. Aura gelapnya meresap ke tanah dan udara, menghisap cahaya sekitarnya seperti lubang hitam yang rakus.“Menarik,” Xian Mo bergumam, mengangkat tangannya perlahan. Dari tanah, tombak-tombak bayangan mulai menjulang, setiap ujungnya bergerak seolah-olah memiliki kehidupan sendiri. Dengan satu ayunan tangan, ia melepaskan tombak-tombak itu menuju Kui Long, menciptakan hujan senjata yang menembus udara dengan suara mendesing.Kui Long menggerakkan tubuhnya dengan Tapak Dewa Mabuk Immortal, gerakannya seperti tarian yang penuh keindahan tetapi mematikan. Tombak-tombak itu meleset, menghantam tanah dengan ledakan kecil yang melemparkan batu dan debu ke segala arah. Namun, salah satu tombak berhasil m
Tanah di lembah bergetar hebat, retakan-retakan semakin meluas, seolah-olah bumi sendiri merintih di bawah beban kehadiran makhluk raksasa itu. Aura hitam yang menyelimuti makhluk itu seperti gelombang pasang, menghantam para kultivator dan membuat banyak dari mereka terjatuh, tak sanggup melawan tekanan dahsyat tersebut.Kui Long, meskipun tubuhnya lemah dan dipenuhi luka, memaksakan dirinya untuk berdiri. Ia menyeka darah yang mengalir di sudut bibirnya, matanya memandang lurus ke arah makhluk itu. Cahaya di sekelilingnya mulai meredup, seolah-olah dunia menahan napas dalam ketakutan."Ketua!" Zhang Yue berteriak, mencoba merangkak mendekati sang ketua. "Jangan! Tubuhmu tidak akan kuat ...."Namun, Kui Long hanya mengangkat satu tangan, menghentikan kata-kata Zhang Yue. "Aku tidak punya pilihan," katanya dengan suara rendah tapi penuh tekad. "Jika aku tidak menghentikannya sekarang, tidak akan ada yang tersisa dari dunia ini."Kui Long menarik napas dalam, memejamkan mata. Dalam keh
Tanah yang sebelumnya retak kini dipenuhi serpihan, debu-debu beterbangan, menciptakan kabut suram yang bercampur dengan sisa-sisa aura hitam makhluk itu. Udara terasa tebal dan berat, seolah mengancam untuk menghentikan napas siapa pun yang berdiri di sana. Namun, dalam keheningan yang mencekam, terdengar suara napas tersengal-sengal Kui Long yang kini berbaring tak berdaya.Zhang Yue menggenggam bahu Kui Long, memaksa tubuhnya untuk menopang pria itu. Wajahnya basah oleh keringat dan air mata yang bercampur debu. "Ketua... bertahanlah," gumamnya, meski suaranya nyaris tenggelam dalam desiran angin dingin yang kembali merayap di lembah.Perlahan, kultivator lainnya mulai mendekat, meskipun langkah mereka masih gemetar. Beberapa bersandar pada senjata mereka, yang lain saling membantu untuk tetap berdiri. Pandangan mereka terarah ke tempat di mana makhluk raksasa itu sebelumnya berdiri. Sekarang hanya ada kawah besar yang mendidih, penuh dengan magma yang bergejolak, mengeluarkan suar
Guru Xian memutar tongkatnya dengan gesit, menciptakan pusaran cahaya emas yang berputar di sekelilingnya. Cahaya itu tidak hanya menjadi perisai, tetapi juga pancaran kekuatan yang membuat tanah yang retak di bawah kakinya kembali utuh. Para kultivator yang melihat pemandangan itu merasakan semangat mereka kembali bangkit, seolah-olah kehadiran Guru Xian menjadi mercusuar harapan di tengah kegelapan.Sosok bertopeng itu tetap tenang, meski aura dinginnya semakin intens. "Trik yang mengesankan untuk seorang tua," ujarnya sambil melangkah maju. "Tapi aku tidak punya waktu untuk permainan ini."Dalam sekejap, ia meluncur dengan kecepatan luar biasa, menciptakan jejak es yang membekukan tanah di belakangnya. Tangan kanannya membentuk cakar gelap yang tampaknya memakan cahaya di sekitarnya, sementara tangan kirinya mengayunkan bilah energi yang tajam.Namun, Guru Xian sudah bersiap. Dengan satu gerakan, ia memutar tongkatnya, menciptakan gelombang energi emas yang memantul ke segala arah.
Guru Xian berjalan mendekati Kui Long, wajahnya penuh kelelahan tetapi tetap tegas. Ia berlutut, memeriksa kondisi pemuda itu. "Kau bodoh, tapi juga berani," katanya sambil tersenyum tipis.Kui Long tertawa pelan, meski suaranya lemah. "Aku tahu kau bukan guruku... tapi entah kenapa, aku merasa bisa percaya padamu."Guru Xian terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara rendah. "Percayalah... untuk sekarang, itu sudah cukup."Kui Long terbaring dengan napas tersengal, tubuhnya terasa seolah-olah setiap tulangnya remuk akibat tekanan energi tadi. Guru Xian mengulurkan tangan, meletakkannya di atas dada Kui Long. Cahaya lembut berwarna emas memancar dari telapak tangannya, dan perlahan rasa nyeri yang menyiksa mulai mereda."Aku akan menyembuhkan sebagian luka-lukamu," kata Guru Xian. "Tapi kau harus beristirahat. Tubuhmu belum siap untuk menanggung beban sebesar itu."Kui Long memejamkan mata, mencoba mengendalikan rasa sakit yang masih tersisa. Namun, pikirannya terus berputar pada sos
Langit di atas Gunung Bayangan Jiwa mulai berubah, rona oranye dari matahari terbenam meresap melalui celah kabut tebal. Kui Long berdiri di puncak pertama jalur pendakian, tempat di mana bayangan dirinya telah hancur. Namun, gunung ini tidak memberi waktu untuk istirahat. Angin dingin menyapu tubuhnya, membawa bisikan yang menggema seperti suara ribuan jiwa yang terperangkap.Ia melihat jalan di depannya—jalur batu yang sempit dengan jurang menganga di kedua sisi. Batu-batu hitam yang berserakan tampak bergerak samar, seperti menyimpan nyawa mereka sendiri. Meskipun kakinya terasa berat, ia melangkah maju dengan tekad."Ketua, berhenti di situ!" Sebuah suara menggema dari belakang. Kui Long menoleh dan melihat Zhang Yue berlari mendekat, napasnya terengah. Guru Xian mengikuti dari belakang, lebih tenang tetapi dengan ekspresi waspada."Kau tidak seharusnya ikut," kata Kui Long tajam. "Ini bukan perjalanan yang bisa dilalui oleh siapa pun tanpa persiapan."Zhang Yue berdiri tegak, men
Langit di atas Gunung Bayangan Jiwa menggantung suram, seperti tirai hitam yang melingkupi dunia. Kilau bulan tersembunyi di balik awan kelabu, hanya menyisakan semburat cahaya redup yang sulit menembus kabut tebal. Jalan setapak semakin terjal, licin oleh lumut dan tanah basah. Udara yang dingin membawa bau lembap yang menusuk, membuat napas mereka terlihat seperti uap putih di kegelapan malam.Kui Long memimpin perjalanan, langkahnya mantap meskipun bahunya tampak tegang. Pedang di pinggangnya berayun perlahan, berkilat samar saat cahaya bulan mencapainya. Di belakangnya, Zhang Yue menghela napas, berusaha menjaga keseimbangan di jalanan curam, sementara Guru Xian berjalan dengan tenang, matanya menyapu sekitar seperti seekor burung hantu yang mengintai mangsa.Ketenangan malam itu buyar ketika suara langkah berat terdengar dari semak belukar. Ranting-ranting kering berderak, dan bayangan hitam bermunculan, menutup jalan setapak. Mereka adalah bandit—lima pria bersenjata dengan seny
Kui Long, Zhang Yue, dan Guru Xian beristirahat sejenak di dalam gua. Hembusan angin dingin menyelinap melalui celah-celah batu, membuat api kecil yang mereka nyalakan berkedip-kedip. Gua itu gelap dan sempit, tetapi untuk sementara waktu, mereka merasa aman dari bahaya yang mengintai di luar.Zhang Yue memecah keheningan, suaranya lirih tapi penuh rasa ingin tahu. "Ketua, mengapa bandit itu terlihat begitu percaya diri? Mereka tahu siapa kita, tapi tetap menyerang."Kui Long, yang sedang menyeka darah dari pedangnya dengan kain lusuh, mengangkat pandangannya. "Bukan soal siapa kita. Gunung ini menarik kekuatan gelap, bukan hanya makhluk-makhluk buas, tapi juga manusia yang ingin mengambil keuntungan dari kekacauan."Guru Xian menambahkan dengan nada serius, "Gunung Bayangan Jiwa bukanlah tempat biasa. Ada sesuatu di sini yang memanipulasi hati dan pikiran mereka. Ketamakan, kebencian, semua itu diperbesar oleh aura gunung ini."Tiba-tiba, suara geraman rendah terdengar dari kegelapan
Kilatan petir menghiasi langit malam. Angin mengamuk, membawa suara dentingan pedang dan sorakan pasukan yang bertarung di luar gerbang. Namun, di dalam benteng utama, hanya ada dua sosok... Shin Kui Long, Sang Raja Naga Hitam, julukan barunya ... dan Kaisar Han, penguasa terakhir Kekaisaran Han yang megah.Dengan langkah mantap, Shin Kui Long berjalan melewati aula megah Istana Dunia Kultivator. Sepasang matanya yang menyala biru menatap lurus ke depan, rambut hitamnya berkibar liar tertiup badai spiritual yang diciptakan kekuatannya sendiri. Tubuhnya memancarkan aura hitam pekat bercampur kilatan ungu, tanda bahwa dia telah melampaui batas-batas kultivator biasa.Di ujung aula, Kaisar Han berdiri dengan gagah, tubuhnya dibalut baju zirah emas berukir naga, pedang besar di tangannya berkilau memantulkan cahaya dari obor-obor raksasa di sekeliling ruangan. Sorot matanya dingin, tapi mulutnya melengkungkan senyum kecil.“Shin Kui Long… kau akhirnya datang,” ucap Kaisar Han, suaranya dal
Waktu tidak lagi berjalan.Ia terlipat—seperti helai sutra langit yang diremas tangan para dewa. Di setiap langkah, dimensi pecah seperti kaca rapuh yang dihantam badai, namun tak satu pun dari dua makhluk itu tergoyahkan. Mereka bukan sekadar berjalan di ruang, tapi menembus lapisan-lapisan eksistensi yang tak bisa dipahami oleh makhluk fana.Di tengah reruntuhan dimensi yang mengapung seperti puing bintang, Yinyin melayang—misterius dan mematikan dalam bentuk rubah berekor sembilan. Setiap ekornya menjulur seperti sungai bayangan yang tak berujung, menggulung dan meliuk seolah menari dengan kekosongan. Di tangannya yang lentik, dua bilah belati memantulkan cahaya kelabu:“Zaman yang Retak” dan “Kesunyian yang Abadi”, bergetar pelan ... haus. Haus akan darah yang sudah dilupakan bahkan oleh waktu.Di hadapannya berdiri sosok agung:Qilin Emas.Tubuhnya memancarkan cahaya keemasan—lembut namun padat, seperti logam surgawi yang hidup. Setiap langkahnya tidak hanya menyentuh tanah, tapi
Ratusan Immortal berdiri membentuk lingkaran sempurna di tengah dataran yang telah berubah menjadi ruang antara realita dan mimpi. Udara membeku, menekan dada mereka seperti beban tak kasatmata. Setiap tarikan napas terasa seperti menyedot es ke dalam paru-paru.Di tengah formasi itu, Array Seribu Ilusi menyala terang—ledakan cahaya spiritual meledak dari permukaannya seperti kilatan petir yang tak berhenti. Riak-riak dimensi melingkar, membelah ruang dan waktu dalam gelombang berlapis. Setiap lapisan memunculkan bayangan… wajah… tubuh…Dewa Pedang.Satu… dua… ratusan… ribuan versi dirinya tersebar di segala penjuru. Di atas, di bawah, di kiri, kanan, bahkan dari balik celah ruang, refleksi dirinya tersenyum, mengernyit, atau sekadar diam menatap tajam balik padanya.Ilusi begitu nyata, begitu sempurna, hingga mustahil membedakan mana dirinya yang asli.“Perkuat ilusi! Jangan beri celah!” teriak seorang kultivator dari garis depan, suaranya menggema seperti ledakan genderang perang. C
Dari balik reruntuhan langit yang robek oleh pertempuran, Immortal Kuno melangkah maju. Tubuhnya berlumur luka, jubah robek dan terbakar, sementara darah suci mengalir perlahan dari pelipisnya, membentuk garis tipis di wajah yang diliputi amarah dan harga diri yang tercabik.Matanya menyala—bukan oleh cahaya, melainkan oleh tekad terakhir yang menggelegak seperti magma yang tak bisa lagi dibendung.Dengan suara berat yang seperti mengguncang angkasa, ia berseru,“Aku… belum kalah.”Tangannya yang gemetar mencengkeram Pedang Sepuluh Surga, bilah sakral yang memancarkan sepuluh warna cahaya surgawi, berputar perlahan seolah menciptakan pelangi di langit malam yang muram. Ketika ia mengangkatnya, seluruh dunia seperti menahan napas.Lalu ia menebas.Seketika itu juga, langit retak. Bumi berderak. Dan realitas terbelah menjadi sepuluh dimensi.Sepuluh jalur ruang dan waktu berlapis-lapis muncul di antara kedipan mata, masing-masing berdenyut dengan hukum alam yang berbeda—dimensi cahaya,
Langit retak, seperti kaca yang meleleh di bawah panas yang tak terlihat. Angin yang biasanya liar kini membeku, menggantung di udara seperti helaian kain rapuh. Di tengah dunia yang membisu itu, Dewa Pedang dan Immortal Kuno berdiri berhadapan, bagaikan dua puncak gunung abadi yang menolak runtuh. Waktu sendiri seolah menahan napas, menonton dalam diam.Di belakang Dewa Pedang, bayangan pedang-pedang raksasa melayang megah. Namun, ini bukan sekadar ilusi. Setiap pedang adalah kenangan hidup, gema dari senjata yang pernah ia genggam dan kuasai—dari pedang batu kasar yang ia tempa sendiri di masa fana, hingga Pedang Tanpa Nama, yang konon sanggup mengiris garis waktu dan membelah masa.Dewa Pedang melangkah maju. Tapak kakinya terdengar ringan, hampir tanpa suara, namun setiap sentuhan kakinya membuat tanah mengelupas, retakan membelah bumi bagai jaring laba-laba raksasa. Aura pedang yang menguar dari tubuhnya cukup untuk membuat rerumputan hangus dan batu-batu kecil melayang.Mengitar
Dewa Mabuk tersenyum miring, getir, dan menambahkan ..."Anggur Takdir Terbalik ... Biarlah kenyataan pun mabuk bersamaku malam ini."Tanpa ragu, ia meneguk seluruh isi cangkir itu. Dalam sekejap, dunia bergidik. Awan di langit berputar terbalik, suara gemuruh mengeras seperti teriakan jutaan jiwa yang terseret arus waktu.Tiga detik. Dalam rentang sesingkat itu, dunia seolah melangkah mundur.Formasi Surga Agung—pilar energi—semua bergerak mundur, melawan kodrat mereka sendiri. Tapi tubuh para Immortal, makhluk hidup yang terikat pada alur waktu normal, tidak ikut serta.Apa yang terjadi berikutnya bukanlah pertempuran—melainkan pembantaian tanpa pedang.Tubuh para Immortal mendadak kejang, wajah mereka pucat membiru. Dari dalam daging dan tulang mereka, retakan-retakan kecil muncul, memancarkan cahaya ungu aneh. Lalu, satu per satu, tubuh-tubuh agung itu meledak dari dalam, seolah mereka dihukum oleh paradoks yang tidak bisa mereka lawan.Darah spiritual menguap menjadi kabut ung
Pergerakan Dewa Mabuk berubah.Awalnya ia hanya bergoyang goyah seperti dedaunan kering tertiup angin senja. Namun, dalam sekejap, gerakannya menjadi lebih cepat—lebih halus, lebih sulit diikuti. Tubuhnya melayang, berputar-putar, dan tiap jejak langkahnya membentuk pusaran-pusaran bercahaya, menciptakan pola sihir rumit yang berdenyut, menyedot energi spiritual dari udara sekitarnya. Tanah di bawah kakinya bergetar, lalu retak, dan dari retakan-retakan itu... mengalir sesuatu yang tak wajar.Dalam kelipan waktu yang nyaris tak terdeteksi, medan perang berubah drastis.Tanah tandus itu perlahan membasahi dirinya sendiri, mengalir menjadi Danau Anggur Surgawi. Permukaannya berkilau ungu lembut, memantulkan bukan sekadar bayangan, tapi fragmen masa depan dari siapa pun yang berdiri di atasnya.Satu per satu, para Immortal memandang ke bawah—dan apa yang mereka lihat... memaku mereka di tempat."Tidak... kenapa aku..." Seorang Immortal berseru, wajahnya berubah pucat pasi, suaranya pecah
Kabut racun menggantung tebal di udara, membelai medan pertempuran yang hancur dengan sentuhan kematian. Di tengah reruntuhan dan bau logam darah yang menusuk, terdengar tawa—tawa yang aneh, nyaring, memecah keheningan seperti dentang lonceng tua di pemakaman para dewa."HAAAA—! Sudah kubilang..." Suara itu meraung, parau dan bergaung seperti mabuk badai. "Jangan ganggu orang yang sedang menikmati tegukan terakhirnya!!"Dari pusaran kabut itu, muncul sosok yang mustahil diabaikan. Seorang pria bertubuh tambun dengan langkah limbung, seolah sewaktu-waktu bisa jatuh... namun entah bagaimana, setiap gerakannya justru memancarkan bahaya yang membuat udara terasa berat. Rambutnya kusut, acak-acakan seperti sarang burung gagak, dan jubahnya—oh, jubahnya—robek-robek dengan bekas-bekas tumpahan anggur spiritual berkilau yang menodai kain lusuh itu.Di tangannya, tergenggam erat sebuah botol kaca tua. Dari dalamnya, cairan berwarna ungu tua memancarkan cahaya redup yang hampir hipnotik—Anggur
Kabut tebal yang menelan seluruh medan pertempuran perlahan-lahan menghilang, bukan karena angin yang meniupnya atau karena kekuatannya telah pudar—melainkan karena semua yang menjadi target kabut itu telah lenyap.Di tanah yang menghitam seperti terbakar, tubuh-tubuh para Immortal membatu dalam keheningan yang mengerikan. Mereka tak lagi hidup, tapi juga belum sepenuhnya mati. Kulit mereka telah mengeras menjadi arang, hitam berkilap seperti obsidian yang retak. Tatapan terakhir mereka membeku dalam rupa yang tak akan pernah dilupakan siapa pun yang melihat—mata terbelalak oleh teror, mulut setengah terbuka oleh ketakjuban, dan alis yang merunduk dalam penyesalan yang tak terselesaikan.Namun, sang pembawa malapetaka belum berhenti. Dewi Racun masih berdiri di tengah medan, jubahnya berkibar pelan oleh hembusan angin beracun yang tersisa. Cahaya dari langit yang lembayung menyorot wajahnya yang tak menunjukkan emosi selain ketenangan dingin.Dari kehampaan, lima cahaya redup mulai be