“Tuan muda.”Petugas resepsionis mendadak lemas setelah mendengar Alan memanggil Aksa — pria yang ia kira tukang servis dengan sebutan tuan muda. Alan menelpon ke resepsionis untuk memastikan jika Aksa memang berada di bawah. Ia langsung turun ketika petugas resepsionis mengatakan ada seseorang yang ingin bertemu dengannya. “Saya akan mengurus dia, Tuan. Tuan ingin bicara di atas atau di mobil?” tawar Alan. Petugas resepsionis yang berdiri tidak. jauh dari Aksa dan Alan hanya bisa menunduk takut, pasrah dengan nasibnya. Aksa naik ke lantai 35 bersama Alan lewat lift khusus yang hanya digunakan oleh manajer ke atas. “Aku butuh uang, Al.” ucap Aksa getir. Batu kali ini seorang Dimas Mahardika membutuhkan uang sampai seperti ini. Aksa duduk di ruang kerjanya. Merasakan nyamannya kursi kebesaran tempatnya dulu duduk. Di ruangan ini, Aksa menghabiskan hampir lebih 10 jam sehari untuk bekerja dan juga bermain wanita. Ia menatap setiap sudut, mengingat semua yang dulu dilakukan di r
“Payah! Suami macam apa kamu itu! Tugas suami itu menafkahi istri. Masa bayar listrik aja gak sanggup!” Tangan Aksa mengepal kuat mendengar hinaan Bambang. Otaknya masih berpikir keras, ia ingin sekali menjawab ejekkan Bambang. TING! ~ Tuan, saya sudah kirimkan 100 juta ke rekening Aksa. ~ Aksa membaca pesan dari Alan. Tidak menunda, mengecek rekening Aksa melalui ponselnya. Ia masuk dengan mudah. Entah bagaimana, ia seperti tahu sandi m-banking Aksa. Tak sampai satu menit, Aksa berhasil melakukan pembayaran listrik lewat aplikasi perbankan. “Nih! Sudah saya bayar, Yah.” Aksa menunjukkan layar ponselnya. Membiarkan Bambang membaca sendiri bukti pembayaran. “Mas, mas dapat uang dari mana?” Dara ikut melihat layar ponsel Aksa. Ia tidak bisa menutupi keterkejutannya melihat transaksi sebesar 15 juta untuk pembayaran listrik. “Yang pasti bukan uang pinjaman. Sudah, besok kembalikan barang-barang ini. Kalau Salim gak mau terima, biar mas bayar semuanya.” Aksa berdiri dari duduknya.
“Lepaskan aku!” Aksa berteriak, meronta ketika satpam showroom menyeretnya keluar atas permintaan Salim.“Bawa gembel ini jauh-jauh!” Manajer showroom langsung menuruti permintaan pelanggan VIP mereka. Ia memerintah satpam mengusir Aksa. Aksa didorong dengan tongkat satpam, kadang terkena pukulan di kakinya. Satpam itu mengangkat tongkat seperti sedang mengusir seekor anjing. Salim memegang tangan Dara, melarang wanita itu menolong Aksa. Ia sudah mendapatkan kebebasan dari Bambang untuk bersama dengan Dara. Bagi Salim dan Bambang status Dara yang sudah bersuami hanya di atas kertas. Dengan terpaksa Aksa kembali melanjutkan perjalan ke Maha Group. Kali ini, Aksa tidak kesulitan untuk menemui Alan. Ia bahkan memiliki kartu pass lift khusus pemberian Alan. Ia mampir ke meja resepsionis untuk menandatangani buku tamu dan mengambil kartu pengenal. Ia sedang mengalungkan tanda pengenal, berdiri di depan lift saat beberapa orang karyawan wanita keluar dari lift yang lain. “Pak Dimas
“Saya OB baru,” Aksa segera menjawab, memotong ucapan Alan. “Maaf, Pak Alan. Lain kali saya tidak akan membuat kesalahan. Saya permisi dulu.” Aksa keluar dari ruang rapat, meninggalkan Aksa yang terheran-heran melihat Aksa. Dulu, tatanan rambutnya diejek orang saja bisa membuat Dimas murka. Tetapi kali ini, Dimas yang sedang berada dalam tubuh Aksa bisa pergi begitu saja tanpa merasa tersinggung sama sekali. Aksa menyelinap ke ruang kerja Alan begitu keluar dari ruang rapat. Ia duduk di meja kerja Alan, menyalakan laptop dan mencari tahu bisnis yang hendak ditawarkan oleh kedua orang tadi. Ia baru berhenti membaca berkas di laptop Alan setelah sang asisten datang. “Tuan, maaf atas kesalahpahaman tadi. Tapi, kalau aku boleh tahu kenapa tahu biarkan mereka berpikir kalau tuan itu OB?” Alan mengambil tempat di sebelah Aksa. Tempat biasa ia selalu berdiri saat menemani bosnya itu. Aksa menggerakan tangan tanda ia tidak mempermasalahkan kejadian di ruang rapat.Ia menutup laptop lalu
“Mas gak akan mampu cari uang segitu.” Dara yang frustasi dengan sikap Aksa menjatuhkan diri di ranjang. Ia duduk di tepi ranjang menatap suaminya iba. “15 juta mungkin mas bisa pinjam, tapi enam miliar? Siapa yang minjemin kamu uang segitu, Mas?” Dara menutup wajah dengan kedua tangan. Isakan samar terdengar dari balik tangan Dara. Aksa menarik kursi dari meja rias, meletakkannya tepat di depan Dara. Menatap Dara dengan serius sampai wanita membuka tangannya. “Memang kamu mau jadi wanitanya Salim?” Dara menggeleng. Tangan Aksa menangkup wajah Dara, dengan ibu jarinya ia mengusap lembut air mata Dara. “Kalau begitu mas akan dapatkan uang itu bagaimanapun caranya.” Dengan mata sembab, Dara membalas tatapan Aksa membuat pria itu salah tingkah. Aksa sudah setuju akan mengembalikan semua uang yang Salim sudah keluarkan untuk Dara dalam tiga hari. Aksa mengeluarkan buku catatan hutang dari laci. Ia mencoret ‘hutang kasbon di kantor’. Satu hutang sudah terbayar lunas. Ia membaca
“Apa kamu lupa kalau ayah ini anggota dewan? Hah?!” Suara Bambang menggelegar menggema di ruang tamu. Wajah pria itu merah saking marahnya.“Punya menantu pekerja kasar saja sudah bikin malu apalagi kalau orang tahu kamu itu penjudi?” pekiknya lagi.“S – saya gak main judi, Yah. Hanya minum sedikit buat ngilangin sakit kepala.” Aksa mencoba menjelaskan. Tetapi mertuanya yang sudah terlanjur naik pitam tidak mau mendengarkan.Pria paruh baya itu kembali berteriak sampai membangunkan Dara yang tadinya sudah terlelap.“Peminum sama penjudi itu satu paket. Awas aja, ya kalau ada orang yang datang dan nangih hutang kamu. Ayah lebih rela kamu yang dipukul daripada harus bayarin hutang kamu.” Bambang yang sedang dimakan api amarah, mendorong Aksa sampai terjerembab ke sofa yang ada di belakang.Dara berlari menghampiri Aksa, membantu suaminya berdiri lalu menuntun Aksa kembali ke kamar.Wanita itu tidak bertanya apapun. Ia langsung menyiapkan air hangat untuk Aksa mandi dan juga baru bersih.
“Enak banget, lu ya?” Tiga orang staff marketing senior mendatangi kubikel Aksa yang sedang bersiap untuk pulang.Sudah pukul dua siang dan ia harus bergegas ke bandara. Shift nya sebagai porter akan mulai jam tiga sore.Aksa mengabaikan ketiganya. Ketiga orang ini yang membuat Aksa repot seharian ini. Memperlakukannya seperti office boy. Meminta Aksa membuat kopi sampai membeli makan siang. Parahnya lagi, mereka tidak memberikan uang jadi Aksa terpaksa membayar makan siang mereka. Ketiganya melihat barang-barang Aksa yang masih ada di atas meja. Salah satu dari mereka membuka kotak makan siang dan mencicipi masakan Dara.“Enak. Masakan istri lu?” Pria itu mengangguk sambil terus memakan bekal Aksa hingga hampir habis. Ia menyerahkan kembali kotak bekal berwarna hijau kepada Aksa.Aksa menerimanya dengan bibir cemberut. memasukkan kotak itu ke dalam tas ransel sambil menggerutu dalam hati. “Anak baru udah seenaknya sendiri. a banget bisa pulang jam segini.” pria dengan kemeja hitam
“Berani sekali kamu mengusik Aksa.” Suara Alan terdengar tegas dan lebih berat dari biasanya.Lima orang yang berada dalam ruangan tersentak kaget. Alan yang sedang menggunakan jas abu-abu fit body duduk dengan gagah di kursi manajer personalia. “Bahkan berani menuduh dia sebagai pencuri. Apa kalian sudah bosan bekerja di Maha Group, hah?!” Suara Alan meninggi. Ia menatap tajam bergantian empat orang yang berani menuduh tuan mudanya seperti elang yang siap menangkap mangsanya. Teriakan Alan membuat Heru dan yang lainnya tersentak kaget dan menundukkan kepalanya dalam karena ketakutan. “Bu —bukan begitu, Pak. Aksa ini sudah berani masuk ke ruang kerja tuan muda dan mengambil berkas ini.” Amir menunjuk binder yang menjadi topik pembicaraan mereka sejak tadi. Alan melirik sinis binder itu. Ia kemudian mendorong map tebal itu ke arah Aksa. “Anda bisa membawanya pulang, Tuan. Anda bisa melanjutkan kegiatan anda. Saya akan mengurus mereka.”Rahang keempat orang itu terjatuh melihat Ala