“Kamu bisa terus berkhayal!” Bambang membersihkan ujung bibirnya dengan serbet.
“Dara, nanti siang kamu makan siang dengan Salim. Suamimu yang gak berguna ini gak akan bisa dapat uangnya!” Bambang menatap Dara dengan tajam, tidak ingin dibantah.Dara yang melihat sang ayah hanya bisa menunduk tidak berani mengatakan apapun. Tak lama Dara berdiri, menyusul Bambang meninggalkan ruang makan.Aksa ikut menyudahi sarapannya. Ia yang merasa wanita itu sedang marah segera menyusul Dara masuk ke dalam kamar.“Aku pasti bisa bayar tagihan listriknya. Jangan khawatir.” Aksa meyakinkan. Ia mengambil tas yang biasa ia bawa bekerja bersiap untuk berangkat.Dari tidak menjawab, namun Aksa bisa merasakan manik wanita itu menatapnya dalam mencoba membaca apa yang sedang ia pikirkan.Satu hembusan nafas panjang keluar dari bibir Dara. Tangannya bergerak membuka laci meja rias, mengambil buku kecil dan meletakkannya di atas meja.“Aku akan pergi sama ayah, Mas,” ujarnya pasrah.Aksa tahu, Dara ingin ia membaca buku itu. Maka, setelah Dara meninggalkannya sendirian di kamar, Aksa mengambil buku itu.Di halaman pertama ada gambar rumah. Gambar yang Aksa gambar sendiri. Ia bahkan bisa merasakan Aksa yang dulu sangat menginginkan rumah ini.Halaman kedua ada foto pernikahannya dengan Dara. Gambarnya buram. Ingatan Aksa lama membuat ia tahu foto itu diambil menggunakan ponsel jadul miliknya.Pernikahan sederhana, sangat jauh dari pernikahan impian Dara. Mereka hanya bisa menikah di KUA dari uang hasil penjualan kalung dan gelang milik ibu Aksa.Ia membalik satu per satu halaman buku catatan itu dan menemukan halaman yang berisi nama dan nominal uang.Catatan hutang!Aksa menutup buku itu dengan hati bergetar. Ia kini mengerti kenapa Dara menuruti ayahnya dan ingin bekerja.Satu hembusan nafas panjang keluar dari bibir Aksa. Ia menarik perlahan laci meja rias dan mengembalikan buku catatan itu.“Dek, mas berangkat kerja dulu.” Panggilan itu meluncur keluar begitu saja dari mulut Aksa. Ia yang sempat terkejut segera menetralkan raut wajahnya.Sudut Dara terangkat, ia tersenyum mendengar panggilan yang tidak pernah ia dengar lagi setelah Aksa kecelakaan.Dengan mengenakan seragam oranyenya, Aksa mengendari motor menuju ke kargo bandara.“Woi, Aksa! Cepet! Tuh, turunin kiriman seafood!” Kapten tim berteriak pesawat. Tangan pria itu bergerak, meminta Aksa mempercepat langkahnya.“Jangan sampai jatuh lagi!” Ia memperingatkan dengan mata tajam menatap Aksa.Aksa hanya bisa mengumpat dalam hati. Lagi-lagi ia harus berurusan dengan hasil laut yang baunya menyengat.“Angkat dua sekalian, Sa! Jangan letoy gitu jadi cowok!” cibir teman kerja Aksa yang lain. Mereka terkekeh melihat Aksa yang hanya bisa membawa satu kotak.Baru saja hendak membalas, kapten berteriak memanggil Aksa. “Kamu dipanggil bagian keuangan.” serunya ketus sambil menunjuk ruang keuangan yang berada agak jauh di belakangnya.Aksa duduk di depan manajer keuangan. Pria berkacamata itu sedang serius membaca kertas berisi laporan kasbon Aksa.Keningnya berkerut. Ia mendongak sambil membetulkan kacamata yang melorot sampai ke tengah hidung.“Sa…” panggilnya. Mata sang manajer menatap lurus melihat manik hitam Aksa dari balik lensa kacamatanya.“Bulan ini dengan terpaksa aku menahan gajimu.” Pria itu melipat kedua tangannya di atas meja. Ia menunggu, menunggu jawaban Aksa.“Seharusnya, kasbon kamu sudah lunas dua bulan yang lalu. Tapi karena sejak dua bulan yang lalu kamu minta agar pembayarannya ditunda, jadi bulan ini aku saya terpaksa melunasinya dengan semua gajimu.”“Hu – hutang? Hutang apa, Pak? Emang berapa besar hutangnya?” Wajah Aksa berubah pias. Baru kali ini seumur hidupnya ia merasakan ditagih hutang.Kening manajer berkerut mendengar pertanyaan aneh Aksa. Tetapi ia tidak mau terlalu memikirkannya.“Totalnya 4,5 juta. Dengan gajimu bulan ini saja belum bisa melunasi semuanya.”Aksa mendadak lemas. Jika gajinya dibawah 4,5 juta dan habis untuk membayar hutang, dengan apa ia akan membayar tagihan listrik bulan ini.Rekening Aksa kosong, bahkan satu rupiah pun tidak ada. Sedang dia belum bisa mengakses rekening milik Dimas.Aksa meraup wajahnya kasar. Ia mendadak frustasi karena uang begitu sulit di kehidupannya sebagai Aksa.Ia kembali ke hanggar dengan wajah lesu tidak bersemangat. Ia terlanjur menerima tantangan Bambang dan kini ia pusing sendiri.Pekerjaannya sebagai porter terasa semakin berat setelah kabar tidak mendapatkan gaji.Sambil menurunkan barang dari pesawat, Aksa mencari ide agar bisa menemui Alan.Aksa segera menyelesaikan tugasnya. Ia sengaja tidak ikut lembur seperti yang biasa Aksa lakukan.Sudah pukul tiga sore dan kantor Maha Group ada di sisi lain kota. Ia butuh satu jam untuk kesana dengan motor karena tidak bisa lewat tol.Aksa memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Menyalip beberapa kendaraan sekaligus. Dengan mudah ia bisa melewati kemacetan, menyelipkan motor dan melakukan manuver yang tidak bisa dilakukan mobil.Sayangnya, Aksa tidak memperhatikan bensinnya sampai motornya tiba-tiba mati. Ia terpaksa mendorong motor matik itu ke sisi jalan untuk memeriksa apa yang salah.Melihat jarum bahan bakar menunjuk huruf E, Aksa segera tahu apa yang terjadi. Ia mendorong motornya sampai ke pom bensin terdekat.Sudah masuk antrian, Aksa membuka dompetnya hendak mengambil uang. Ia menepuk jidat menyadari kebodohannya.Ia lupa kalau uangnya sudah habis untuk makan siang. Aksa menggigit bibir bawah, berpikir mencari cara agar bisa tetap mengisi bensin.Aksa mendorong motornya semakin maju. Tersisa dua motor di depannya dan ia belum mendapatkan cara untuk mendapatkan uang.Tiba giliran Aksa. Ia membuka jok motor disusul dengan tutup tangki bensin.“Mau isi berapa, Pak?” tanya petugas itu.“Em… dompet saya ketinggalan,” dusta Aksa.“Boleh, gak kalau saya bayarnya nanti. Habis ini saya ambil dompet dan langsung kembali kemari.”Alis pria di depan Aksa menyatu. “Gimana?” tanyanya. “Kamu gak punya uang? Kalau gak punya uang jangan beli bensin!”Pria memasang wajah kesal. Dengusan kasar terdengar, tangannya bergerak meminta Aksa untuk segera maju.“Mas, tolonglah. Saya butuh sekali isi bensin. Ada keperluan mendesak dan urgent.” Aksa tetap diam di tempatnya. Membuang rasa malu memohon agar bisa diberi bensin.“Disini bukan panti sosial yang ngurusin orang susah kayak kamu. Gak punya uang gak bisa beli bensin. Maju!” hardik pria itu lagi.Ia menendang motor matik Aksa meminta pria itu segera pergi agar ia bisa melayani pembeli berikutnya.“Mas tolonglah. Saya janji akan saya bayar dalam dua jam.” Aksa kembali memohon.“Pergi!” Kali ini petugas SPBU itu mendorong Aksa menjauh dari motornya dan memindahkan motor Aksa. Setelah agak jauh, pria itu mendorong motor Aksa hingga jatuh.“Mas Aksa!”Aksa menoleh mencari sumber suara. Ia melihat Dara turun dari mobil dan berlari menghampirinya.“Ada apa ini? tanya Dara. Wanita itu terlihat khawatir. Ia segera membantu Aksa mengangkat motor.“Dek, Apa kamu punya uang? Boleh mas pinjem sebentar?” Aksa menodong Dara yang baru muncul dengan permintaan.“Dimas kembali?” Salim mendelik. Ia merogoh saku celana, mengambil ponsel lalu menghubungi Sonya. “Kamu bilang, kecelakan ini akan membuat Dimas menghilang selamanya, tapi kenapa dia muncul lagi?” Salim mencecar Sonya begitu wanita itu menjawab panggilan teleponnya.Salim diam, mendengarkan suara Sonya diujung telepon. Ia mengangguk beberapa kali lalu menutup teleponnya.“Usahakan sebisa mungkin untuk meredam berita ini.” Sambil berjalan, Salim memberi perintah kepada asisten ayahnya sedang ia sendiri akan bertemu dengan Sonya dan melihat sendiri keadaan Dimas di rumah sakit.Sonya dan Salim terpaksa harus kembali masuk ke dalam lift karena hanya orang tertentu yang bisa melihat keadaan Dimas.Tentu saja itu perintah Alan. Sejak kemunculan ‘Dimas’ dalam lelang tender, ia sudah menyiapkan banyak hal yang pastinya akan menjadi kejutan.“Bagaimana menurutmu, Son? Apa Dimas benar-benar sembuh dan kembali?” Ia dan Sonya sedang berdua di dalam lift.Hening.Keduanya tidak ada yang bisa men
“Kartu debit siapa itu?” Bambang menatap curiga kartu kecil berwarna kuning keemasan yang Aksa serahkan kepada perawat pria yang membawakan tagihan Dara. “Kartu saya, Yah.” Aksa membiarkan perawat pria itu bekerja. Menggesek kartunya pada mesin kecil yang ia bawa. “Silahkan PIN-nya, Pak.” Aksa menerima mesin merchant dari perawat. Menekan beberapa angka, tak lama keluar kertas tanda pembayarannya berhasil. Mulut Bambang terbuka lebar melihat kartu Aksa benar bisa digunakan. Pun begitu dengan rekan parlemen Bambang. Mereka saling tatap heran. Baru beberapa menit yang lalu ia menghina Aksa habis-habisan. “Darimana kamu dapat uang sebanyak itu, hah?! Pinjol?” Bambang menuduh di depan sejawatnya. Aksa mendengus pelan, kesal tetapi tidak bisa marah. “Awas aja kalau sampai ada debt collector yang datang ke rumah!” Setelah memberikan ancaman, Bambang bergabung lagi dengan teman satu partainya. Samar-samar Aksa mendengar rencana Bambang yang akan maju menjadi calon gubernur. Ket
“Dok —dokter!” Wanita berpakaian serba putih itu memanggil dokter dari tempatnya berdiri. Matanya tak lepas dari uang merah yang ada di dompet Aksa.Jarak bangkar Dara tidak terlalu jauh dari meja dokter. Wanita paruh baya berkacamata itu bergegas berdiri dari duduk begitu melihat kepanikan di wajah sang perawat senior.Uang memang bisa memperlancar urusan.Saat pemakai jasa asuransi di nomor sekiankan, gepokan uang merah mempercepat pelayanan.“Apa yang terjadi?” Dokter itu menempelkan stetoskop di dada Dara sambil mendengarkan cerita Aksa. Ia kemudian menanyakan informasi dasar kepada perawat.Sama seperti perawat tadi, dokter juga memeriksa mata Dara dengan senter kecil. Hasilnya dokter itu mengirim Dara untuk melakukan beberapa pemeriksaan lanjutan.“Kita akan lihat apa benturan saat jatuh berdampak pada mata ibu Dara.”Dokter itu mengisi beberapa formulir, meminta Aksa melakukan pendaftaran dan pembayaran sebelum Dara mendapatkan penanganan lebih lanjut.Hanya butuh 15 menit, kin
“Dara, bangun!” Aksa berlari kencang menaiki anak tangga berusaha menangkap Dara agar tidak menggelinding sampai dasar tangga di lantai satu. Ia berhasil menangkap Dara yang tepat di pertengahan tangga antara lantai satu dan dua. Tak sempat lagi memikirkan Salim juga Bambang yang berteriak ketika melihatnya masuk rumah, Aksa menggendong Dara yang lemas. Ia bergegas membawa Dara turun. Melompati beberapa anak tangga sekaligus agar cepat sampai di lantai bawah. Aksa berhenti di depan pintu masuk. Melihat deretan mobil yang terparkir di halaman depan, ia memilih mobil milik Bambang. Menunggu taksi akan memakan waktu! “Hei, mau kamu bawa kemana putriku?” Bambang menarik tangan Aksa yang baru saja membaringkan Dara di kursi belakang. “Kamu mau menculik Dara, ya?” teriak pria tua itu lagi. Ia menarik tangan Aksa memaksa pria itu menoleh melihatnya. “Membawanya ke rumah sakit!” Aksa membalas dengan teriakan. Melampiaskan kemarahannya karena Bambang diam saja saat Dara diperlakukan b
“Seharusnya kau sudah bisa menebak!” Dewa keluar dari ruang kerja Sonya setelah menjawab Aksa. Wajah arogan dan berkharismanya tidak luntur meski bayang-bayang kejadian 30 tahun lalu kembali melintas di benaknya.Aksa masih berdiri di tempatnya walau pintu sudah kembali tertutup. Ia menatap Alan, kemudian bertanya, “Bagaimana menurutmu, Al?”Alan mengangkat pundak. “Kita berdua tahu bagaimana cara kerja tuan besar, Tuan muda. Seharusnya anda sudah bisa menebak.” Alan mengulang perkataan Dewa.Ya, Aksa bisa membayangkan apa yang papanya lakukan kepada keluarga Hartawan. Apa karena itu ibunya selama ini menghilang dan tidak pernah berusaha untuk menemuinya?Lagi-lagi Aksa dihadapkan pada pertanyaan yang hanya Dewa Mahardika yang tahu jawabannya.Alan mulai melakukan tugasnya. Ia menangkat interkom dan memanggil beberapa orang untuk melakukan investigasi internal sesuai dengan perintah tuan Dewa.Tidak butuh waktu lama, mulai dari satpam sampai perwakilan divisi terkait masuk ke ruang k
“Jelaskan padaku tentang proyek itu, Son.” Tatapan dingin Dewa seakan menembus jantung Aksa. Pria itu memang bicara kepada Sonya namun pandangan matanya mengarah pada Aksa.Tidak mendengar suara Sonya yang seharusnya menjawab pertanyaan, Dewa mengalihkan tatapannya kepada manajer marketing Maha Group.“Sonya?” Suara dingin Dewa kembali terdengar membuat si empunya nama merinding.Sonya terhenyak kaget. Ia mendongak menatap Dewa sejenak lalu memalingkan wajahnya melihat Aksa meminta bantuan.Rupanya Dewa mengerti maksud dari tatapan Sonya. Pria itu menyandarkan punggungnya lalu berkata, “Aku mau jawaban darimu, Sonya! Bukan anak ingusan itu!” Sonya kembali dibuat kaget dengan permintaan sang pemilik perusahaan. Sejak Dimas memegang kendali Maha Group, Dewa tidak pernah lagi mencampuri urusan perusahaan.Tapi kali ini, Dewa Mahardika pebisnis legenda kembali turun gunung. Terjun langsung menangani perusahaannya.“O —om, itu….”“Ini di kantor, Sonya. Bersikaplah profesional. Kau meman