Share

Tragedi Kebun Kopi

6.Di balik kematian adikku yang idiot

Tragedi kebun kopi

"Dari mana kamu tahu itu kebun kopinya Pak Karto?"

Aku beneran nggak tahu itu kebonnya Pak Karto. Yang aku tahu, itu kebon punyanya banyak orang, soalnya banyak warga desa yang kerja di sana.

"Keknya cuma kamu yang nggak tahu," Mas Beni tersenyum kemudian menyeruput minumannya.

"Bukannya itu kebonnya banyak orang?"

"Dulu ...," Mas Beni mengambil tissue kemudian mengelap bibirnya, aku bengong. Emm bibirnya seksi ternyata, upps!

"Sekarang semua sertifikatnya sudah dikuasai Pak Karto."

"Kok bisa, Mas?" Dahiku mengerut.

"Praktek rentenir," jawab Mas Beni singkat.

"Oh, gitu, ya?"

Memang kejam bisnis rentenir itu. Sayang sekali, kebanyakan yang terjerat adalah orang kecil, orang miskin, dan orang dalam keadaan darurat. Mereka butuh pertolongan tapi bukan pertolongan yang akhirnya malah membawa mereka ke dalam jurang kesengsaraan yang tak berkesudahan. Hutang yang tak pernah selesai, bunga yang selalu bertambah. Menjual apapun yang mereka miliki hanya untuk menutup bunga yang semakin mencekik. Pada akhirnya, semuanya hilang. Sertifikat tanah bagi orang desa adalah harta yang berharga. Tidak punya tanah, tidak punya garapan, hanya jadi kuli di tanahnya sendiri. Ironis.

"Enak kali ya jadi rentenir, cepat kaya hehehe," candaku. Mas Beni tersenyum sembari menaikkan kedua alis matanya yang hitam dan teratur rapi.

"Enak sementara, nanti balasannya neraka jahanam,"

Kepalaku mengangguk, kuputar sedotan untuk mengaduk minuman dalam gelas. Senja sebentar lagi datang, kami pun sudah selesai makan dan berbicara.

"Jadi, kapan, Mas, kita ke kebon kopi?" Tanyaku saat akan naik ke boncengan motor Mas Beni.

"Besok siang saja. Kamu libur, kan?"

"Ok, siap!"ucapku bersemangat

"Ntar aku WA,"

Kuacungkan Ibu jari pada lelaki ganteng dan selalu wangi ini. Hallahh!

"Ann, kamu nggak dingin?" Tanya Mas Beni saat sepeda motor melintasi kawasan hutan jati. Angin yang cukup besar berhembus menerpa motor yang berjalan.

"Nggak, tuh ..." Jawabku senyam-senyum.

"Aku dingin,"

"Oh ... Salahnya nggak pakai jaket," aku menutup mulut yang sedang menahan tawa ini. Aku tahu, maksud Mas Beni agar aku memeluknya. Tapi, ihh! Ntar dulu, lah! Pacar juga bukan.

"Wowww! Pelan-pelan, dong, Mas!" Jeritku seraya memeluk pinggang Mas Beni. Rupanya, Mas Beni sengaja menambah kecepatan tanpa memberi tahu aku! Aaaa, ngerjain!!

(Sementara di depan, Beni gantian tersenyum melihat tangan Anna yang melingkar di pinggangnya)

**

Sekitar jam dua siang, Mas Beni datang ke rumahku. Seperti janji kita kemarin, hari ini aku dan Mas Beni akan ke kebun kopi milik Pak Karto. Kuharap ada petunjuk yang bisa membuka tabir tragedi yang menimpa adikku.

"Motor kutinggal di sini saja, Ann."

"Gapapa, Mas. Naikin ke teras saja," kataku.

Memang lokasi kebun kopi letaknya di perbukitan. Jalannya naik turun, tidak boleh dilalui sepeda motor, kecuali pemilik mungkin.

Memakai sepatu kets, kaos dan celana jeans aku mulai berjalan menuju lereng bukit di mana kebon kopi berada. Hawa sejuk menerpa, aku sempatkan untuk menghirupnya dalam-dalam. Segar!

Menyusuri jalan selebar dua meter, aku mengobrol dan bercanda dengan Mas Beni. Orangnya asyik juga, dewasa, sering mengalah dan lucu. Bikin betah berdekatan hehehe.

"Itu kebonnya, Ann,"

Kulihat di depan, hamparan luas kebun kopi menghijau. Jalan tanah yang akan kulalui terlihat makin sempit, hanya bisa dilewati sepeda motor saja.

"Ayo!" Aku berlari. Mas Beni mengikuti.

Memasuki kebun kopi, hanya ada jalan setapak.

"Ini rute ke hutan pinus?"

"Betul, Ann."

Aku berdiri di ujung, mataku menatap lurus, hanya pepohonan kopi di kiri kanan. Suasana sepi, hanya suara angin yang menggesek dedaunan saja terdengar. Dadaku berdebar saat Mas Beni mengajakku memasuki perkebunan. Seolah membayangkan aku adalah Aida.

"Sepi sekali, Mas?"

"Iya, patroli dilakukan sehari dua kali. Pagi dan sore," jawab Mas Beni. Tangan lelaki itu sibuk menyibakkan dedaunan yang menghalangi langkah. Pohon kopi di sini rata-rata tingginya dua meter sampai dua setengah meter saja. Aku bisa berjalan di tengah kebun tanpa terlihat.

"Jauh juga, ya, Mas?"

"Iya, kebun ini luas, berhektar-hektar,"

"Semua ini milik Pak Karto?"

Mas Beni menggeleng, " yang sebelah kananmu, itu milik Bapakku," jawab Mas Beni.

"Oh! Kok bisa bersebelahan dengan milik Pak Karto dan hanya dibatasi jalan setapak ini, Mas?"

Mas Beni berhenti melangkah, matanya nyalang di antara pepohonan. Dia menunduk dan melihat ke arah batang-batang pohon. Gelap suasananya karena tanaman kopi yang sudah lebat.

"Ada apa, Mas?" Bisikku, ikut celingak-celinguk.

"Lihat!"

Mas Beni menunjuk ke dalam kebun. Aku mengikuti petunjuk tangannya. Masih belum ngerti.

"A_apa, Mas?"

"Lihat ke sana," Mas Beni menunjuk tanah. "Daun-daun kering dan ranting yang berserakan seperti terbelah." Mas Beni berjalan memasuki lorong antara batang-batang pohon kopi. Kemudian dia berjongkok, matanya tetap awas.

Aku ikut masuk. Benar juga, terbelah seperti pernah dibuat menyeret sesuatu! Tiba-tiba dadaku berdebar lebih kencang.

Karet gelang? Kulihat ceceran karet gelang di sini. Oh Tuhan! Aku jadi gugup. Kupunguti karet-karet itu, semakin banyak! Tubuhku merinding.

"Mas,"

Tanganku bergetar saat menunjukkan tumpukan karet gelang di tanganku. Aida suka menggenggam karet gelang ke mana-mana, karena dia suka menghitungnya!

"Kenapa?" Netra Mas Beni melebar melihatku.

"I_ini, karet gelang Aida yang hilang!" Aku menelan ludah.

Mas Beni mengajakku melangkah lebih jauh, mengikuti arah dedaunan kering yang mengarah semakin dalam ke kebun kopi. Mas Beni membungkuk dan mengambil sesuatu, lalu ditunjukkan padaku.

"Sandal Aida!" Aku menjerit, tanganku menutup mulut, debar di dadaku semakin kencang membuatku gugup.

"Mas, itu sandal Aida!" Aku merebut sandal yang hanya satu itu dari tangan Mas Beni. Tidak salah lagi, ini sandal Aida! Aku hafal karena aku yang membelikan. Tiba-tiba aku menangis keras.

"Huhuhu huhuhu Aida, ...."

Mas Beni membiarkan aku menangis, dia meneruskan memeriksa keadaan. Di depan sana, pohon kopi semakin rimbun dan gelap. Mas Beni berhenti, aku menyusul.

Daun-daun kering di sini, bentuknya aneh! Mengumpul jadi satu di tengah dan porak poranda. Apakah di sini, tempat Aida diperkos*? Huhuhu

Sepi sekali, hampir tidak ada orang lewat. Dedaunan rimbun pohon kopi menghalangi cahaya matahari masuk. Mustahil orang masuk ke sini apabila tidak ada keperluan atau panen.

"Aida, huhuhu,"

Lututku lemas hingga aku tersimpuh. Tanganku meremas dedaunan di tanah. Pedih rasanya, membayangkan Aida di seret dan mungkin dipukuli, sebelum diperkosa! Bagaimana dia bisa menjerit keras meminta pertolongan, bila dia bisu tuli? Ya Allah, Aida ...

"BIADAB!! Huhuhu"

Aku menjerit menumpahkan sakit dan sesak di dada ini! Air mata yang tumpah tak akan cukup untuk merasakan derita adikku. Siapa pun dia orangnya, aku akan mengejarnya! Dia harus dihukum, bila perlu hukuman mati!

Mas Beni mengangkat tubuhku berdiri. Dia menghapus air mata di pipiku. Tangisku semakin menjadi-jadi. Biarlah kutumpahkan segala rasa sakit hati dan pedih ini. Aku tak punya orang tua lagi untuk bersandar. Aku lah orang tua bagi Aida, aku yang bertanggung jawab atas Aida!

"Kita harus lapor polisi, Mas! Semua bukti ada di sini. Karet Aida, sandal, semua bisa jadi bukti buat polisi untuk menetapkan tersangka!" Ujarku penuh emosi.

"Tunggu dulu, kita belum menemukan sesuatu yang bisa mengarah kepada tersangka," jawab Mas Beni. Betul juga ...

Aku dan Mas Beni berputar-putar di lokasi untuk mencari sesuatu yang mungkin bisa menjadi petunjuk.

"Ann, sini!"

Gegas aku menghampiri Mas Beni. Cowok itu sedang membungkuk dan mengorek-ngorek sesuatu di tanah, di bawah daun-daun kering.

"Apa, Mas?" Aku melihat ke tanah. Mas Beni menemukan botol kecil dari plastik, seperti botol spray.

"Ini, botol spray," kemudian Mas Beni berjongkok untuk memastikan.

Dengan sapu tangan yang dia ambil dari kantong celananya, mas Beni mengambil botol itu lalu mengamati lebih dekat.

"Botol ini biasa digunakan untuk orang yang punya penyakit bengek!"

"Asma maksudnya?"

Mas Beni mengangguk, lalu memasukkan botol itu ke plastik putih kecil yang dia bawa.

"Kamu bawa plastik, Mas?"

"Iya, tadi aku membeli permen untuk keponakanku, plastiknya lupa buang, malah aku kantongin," jawab Mas Beni sambil tersenyum.

"Obat spray ini, biasanya dipakai dengan menyemprotkan ke dalam mulut, saat penderita itu merasa sesak nafas," jelas Mas Beni.

"Apakah artinya pelaku punya penyakit asma, Mas?" Tanyaku.

"Aku tidak tahu, tapi, lebih baik kita bawa saja."

Mas Beni berdiri dan memasukkan plastik berisi botol spray ke kantongnya.

"Sudah sore, ayo kita pulang, sebelum penjaga berpatroli," Mas Beni menarik tanganku dan mengajakku keluar dari tengah kebun kopi.

"HEY, SIAPA DI SANA!"

Aku dan Mas Beni berhenti, mata kami melebar dan saling melempar pandangan.

Itu suara teriakan penjaga!

Next

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status