Arum dan Faisal memilih pulang kampung karena usahanya di kota bangkrut. Tetapi, sambutan keluarga Faisal tidak menyenangkan. Terutama ibunya Faisal yang sering bersikap seenaknya pada Arum. Seolah-olah, Arum dan Faisal adalah benalu yang mengganggu.
Lihat lebih banyakAku memperlambat langkah, karena mendengar suara orang mengobrol di samping rumah mertuaku.
“Nggak tahulah Mbak Yu, mereka maunya apa? Tiba-tiba pulang kampung, dan bilang mau menetap di sini. Katanya usaha Faisal sepi, sering merugi, makanya tutup sekalian. Nah, pulang ke sini, bukannya mikir bikin usaha apa atau cari kerja, malah buru-buru masukin anakya ke Pesantren. Katanya habis sebelas juta sama ini-itu. Lah. Wong sekolah yang gratis juga ada, kok. Gaya-gayaan nyekolahin anak di tempat mahal. Nggak tahu deh, ntar bayaran tiap bulannya gimana? Pusing aku, Yu.” Itu suara ibu mertuaku. aku yang berniat mengambil ponsel, memilih diam dulu, ingin tahu apa tanggapan Bude Warni, kakak ibu mertuaku.
“Dengernya aja pusing, Ning. Lah, anakmu itu loh, nggak bisa dikasih tahu. Nikah kok, sama orang jauh. Mana yatim piatu, banyak maunya pula. Nggak jelas banget. Kayak di sini udah kehabisan stok perempuan aja. Coba, kalo dulu dia nikah sama Erina, anaknya Pak Haji Udin. Kan, Faisal nggak perlu merantau jauh-jauh. Tinggal diam di kampung, ngelola usaha mertuanya. Anakmu juga ngeyel, Ning. Giliran susah di perantauan, tetap aja pulang kampung, kan?”
Aku menghela napas perlahan. Sungguh tak di sangka, mereka yang selama ini bersikap manis padaku, ternyata bersikap sebaliknya di belakang.
“Terus, sekarang Arum kerjanya ngapain?” tanya Bude Warni. Rupanya mereka belum menyadari kehadiranku. Entah karena posisi mereka yang duduk membelakangiku, atau asyik bergunjing, sehingga mereka tak tahu aku tengah berdiri mendengarkan semua obrolan mereka.
“Ya gitulah, main hape. Ngapain lagi? Dari pas udah ke luar kerja kan, dia nggak bisa lepas dari hape. Dikit-dikit hape. Aku lihatnya aja bosen, Yu.”
“Ya begitulah anak sekarang. Dikit-dikit hape. Lagian, aku juga heran sama Arum. Udah enak-enak kerja, kok malah ke luar. Alesane ngurus anak. Padahal kan, bisa bayar yang ngasuh kayak waktu Alea dulu. Orang lain aja pada pengen kerja, ini udah kerja malah ke luar. Coba kalo dia nggak ke luar kerja, sekarang Faisal bangkrut, kan, Arum masih bisa nopang pengeluaran. Mereka nggak perlu pulang kampung. Nyusahin aja! Udah tahu keadaan di kampung serba susah. Orang lain aja pada pengen ke kota. Lah, ini, udah di kota malah pulang kampung.”
“Embuhlah, Yu. Mumet aku.”
Aku yang mulai tak tahan dengan gunjingan mertuaku dan kakaknya, memilih berbalik. Biarlah, ponsel tidak jadi diambil. Toh, tadi sebelum pergi, aku sudah membawa uang untuk berjaga-jaga kalau Arka, anak bungsuku minta jajan. Lebih baik aku cepat kembali ke sekolah Arkan, takut dia mencariku.
-dmr-
Mas Faisal, berprofesi sebagai penjual ayam bakar dan ayam goreng. Awalnya memang hanya pakai gerobak. Semakin lama, usaha suamiku semakin berkembang. Dia sampai bisa menyewa tempat yang lebih enak. Bahkan sampai buka dua cabang. Tetapi, sejak wabah covid 19 merajalela, usaha Mas Faisal menjadi sepi. Apalagi sempat diterapkannya PSBB tahun lalu. Keadaan semakin memburuk. Walau pun sekarang keadaan tidak semencekam awal pandemi, tetap saja, usaha Mas Faisal susah kembali normal seperti dulu. Karena sekarang, semakin banyak yang membuka usaha serupa.
Berbagai usaha sudah kami lakukan. Bergabung dengan aplikasi berjualan online, sampai memberikan potongan harga. Tetapi, tetap saja, setiap harinya pemasukan kami tak sebanding dengan pengeluaran. Dan akhirnya, kedua cabang pun ditutup karena tidak bisa memperpanjang sewa tempat. Barang-barang kami lelang, uangnya dipakai memberikan pesangon pada ke empat pegawai setia kami.
Sementara, Mas Faisal, memilih pulang kampung. Dia bilang, ingin mengurus sawah dan tambak ikan peninggalan almarhum bapaknya. Sejak bapak mertua meninggal dua tahun lalu, sawah dan tambak ikan miliknya, digarap oleh orang lain. beberapa bulan yang lalu, Mang Asep yang selama ini menggarap sawah dan tambak ikan itu, jatuh sakit. Beliau tak sanggup lagi melakukan pekerjaan seperti biasanya. Karena itulah, sawah dan tambak pun terbengkelai. Sebagai anak tertua, Mas Faisal merasa bertanggung jawab mengurus harta peninggalan bapaknya yang tidak seberapa itu.
Sebagai istri, aku hanya bisa mendukung apa yang Mas Faisal lakukan. Aku rela mengikutinya pindah ke kampung. Karena, kami tidak mungkin pulang ke kampungku. Rumah peninggalan orang tuaku sudah ditempati oleh Mbak Arini, kakakku dan keluarganya. Keadaan ekonomi Mbak Arini yang juga pas-pasan, membuatku tak tega untuk pulang ke rumah penuh kenangan itu. Karena selain rumah yang kecil, aku dan Mas Faisal juga belum tahu akan mengerjakan apa di sana? Karena, sawah dan ladang peninggalan orang tuaku juga sudah digarap oleh orang lain. Tidak mungkin kami tiba-tiba memintanya untuk digarap sendiri.
Tetapi rupanya, keputusan yang diambil Mas Faisal ambil, menjadi beban pikiran buat ibu dan kelaurganya. Padahal, dulu, mereka selalu bersikap baik pada kami. Bahkan, saat kami menceritakan rencana kepindahan kami, ibu mertua langsung menyetujuinya. Akan tetapi, dari percakapan yang aku dengar tadi, sepertinya, mereka keberatan dengan kehadiran keluarga kecilku. Apakah, karena mereka takut kami hanya akan jadi benalu dalam kehidupan mereka?
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 43Sejak kejadian itu, aku tak pernah lagi menyambangi kediaman Ibu mertua. Entah dengan Mas Faisal dan adik-adiknya, serta menantu yang lain. Tak ingin memperpanjang masalah, aku memberikan uang yang sedianya untuk membayar denda, pada Mas Faisal. Tentu sesuai jumlah yang harus dibayar oleh Ibu. Aku juga tak pernah menanyakan kabar ibu pada siapapun. Dan, sepertinya, Mas Faisal dan adik-adiknya juga mengerti dan menghargai sikapku. Terbukti, saat berkumpul, mereka tak pernah membahas apapun soal Ibu. Menurut cerita Nita, dia juga sudah jarang berkomunikasi dengan ibu. Sebenarnya, bukan ini yang aku inginkan. Bagaimanapun juga, aku ingin anak-anak ibu mertuaku tetap dekat dan memperhatikan ibu mereka. Karena, mungkin saja, di masa senjanya, Ibu pasti ingin dekat dengan anak-anak dan cucu-cucu, serta menantunya. Akan tetapi, aku juga tak berhak memaksa mereka untuk mengambil sikap yang sedikit tegas pada ibu. Ya, walaupun tujuannya hanya untuk memberi pelaja
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 42Aku sangat terkejut mendengar kalimat panjang Nita. Dia yang selama ini selalu diam dan patuh pada Ibu, akhirnya buka suara juga. Mungkin,dia sudah jengah dengan sikap ibu mertua yang semakin hari semakin menyebalkan. Perlahan, kuangkat wajah, menatap satu persatu orang-orang yang ada di ruangan ini. Mereka juga sepertinya sama denganku, terkejut dengan kalimat yang diucapkan Nita, menantu kesayangan Ibu. Sedangkan Ibu, kulihat tak kalah terkejutnya. Wajahnya tampak pucat. Mungkin, ia tak menyangka, menantu kesayangan yang selama ini dibanggakan, berani membantah omongannya."Bu-bukan begitu maksud ibu, Nit." Ibu berusaha menyanggah kata-katanya sendiri. "Lalu, apa? Jelas-jelas Ibu tadi bilang, kalo Mbak Arum itu orang lain yang hanya kebetulan menikah dengan anak Ibu, bukan?"Ibu mengangguk samar, sambil menautkan jari jemari tangannya."Nah, terus, apa bedanya Mbak Arum, sama Nita? Juga Dika? Kami juga orang lain yang kebetulan berjodoh dengan anak
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 41Aku terus berjalan menjauhi rumah Hanum. Hingga tak terasa hampir tiba di gerbang komplek. Kuputuskan untuk mencari tukang ojeg yang biasa mangkal di depan komplek. Akan tetapi, belum juga sampai ke pangkalan ojek, Mas Faisal sudah berhasil menyusulku dengan mengendarai mobil kami. “Arum!” teriaknya.Tak ingin menjadi pusat perhatian orang di sekitar kami, aku pun terpaksa menghentikan langkah. Mas Faisal memarkirkan kendaraan roda empat itu di depanku, lalu bergegas turun “Masuk, Rum!” titahnya sambil menuntunku masuk ke mobil. Aku pun menurut saja. Apalagi, memang dalam hal ini Ma
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 40Seminggu sejak Hanum melahirkan, Ibu masih tidak mau datang menjenguk anak dan cucunya itu. Setiap kali aku dan Mas Faisal mengajak ke rumah Hanum, ibu selalu menolak dengan berbagai alasan. Apalagi, masalah mobil yang hilang itu masih belum selesai. Karena kendaran roda empat tersebut tidak bisa ditemukan, maka sang pemilik menuntut ganti rugi. Apalagi, ternyata, sebelum menyewa, Mbak Tuti sudah menanda tangani surat perjanjian tentang peraturan sewa. Tentu saja, hal itu membuat kami tidak bisa berbuat banyak. “Kalian ini! Hanum terus yang diurus! Ibu yang lagi kena masalah, kalian biarkan saja! Tidak satu pun yang berniat membantu!” omel Ibu saat aku dan Mas Faisal akan berangkat ke rumah Hanum.
&nb
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 38Sejak kedatangannya yang mendapat perlakukan tidak menyenangkan dari Ibu, baik Hanum maupun Satya, tidak pernah lagi berkunjung ke rumah Ibu. Begitu juga Ibu yang semakin menjaga jarak dengan kami. Bahkan, sewaktu Hanum menggelar acara tujuh bulanan, Ibu juga menolak untuk datang. “Mau ngadain acara di mana? Mereka kan, tinggal di kontrakan, pasti tempatnya sempit. Kalo kalian mau datang, ya silakan. Ibu ada acara lain,” tolaknya waktu itu.Hatiku serasa ditusuk pisau tak kasat mata mendengar kalimat Ibu. Hal yang sama juga kualami saat menggelar acara tujuh bulanan Alea dulu. Waktu itu, kami juga masih tinggal di kontrakan dua petak. Ibu menolak datang, alasannya tempat tinggal kami sempit. Dan Ibu lebih memilih membantu acara syukuran wisuda anak bungsu Bude Warni. Padahal, waktu itu Ibu belum mempunyai cucu dari anak menantu yang lain. Harusnya, kehadiran Alea dis
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen