Kami Bukan Benalu, Bu

Kami Bukan Benalu, Bu

Oleh:  Dwi Mei Rahayu  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
2 Peringkat
43Bab
42.0KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Arum dan Faisal memilih pulang kampung karena usahanya di kota bangkrut. Tetapi, sambutan keluarga Faisal tidak menyenangkan. Terutama ibunya Faisal yang sering bersikap seenaknya pada Arum. Seolah-olah, Arum dan Faisal adalah benalu yang mengganggu.

Lihat lebih banyak
Kami Bukan Benalu, Bu Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Wahyuni
rajin up apa ngga nih?
2022-05-17 14:50:42
0
user avatar
Dwi Mei Rahayu
Cerita yang menarik
2021-12-21 02:11:32
0
43 Bab
Bab 1
Aku memperlambat langkah, karena mendengar suara orang mengobrol di samping rumah mertuaku.            “Nggak tahulah Mbak Yu, mereka maunya apa? Tiba-tiba pulang kampung, dan bilang mau menetap di sini. Katanya usaha Faisal sepi, sering merugi, makanya tutup sekalian. Nah, pulang ke sini, bukannya mikir bikin usaha apa atau cari kerja, malah buru-buru masukin anakya ke Pesantren. Katanya habis sebelas juta sama ini-itu. Lah. Wong sekolah yang gratis juga ada, kok. Gaya-gayaan nyekolahin anak di tempat mahal. Nggak tahu deh, ntar bayaran tiap bulannya gimana? Pusing aku, Yu.” Itu suara ibu mertuaku. aku yang berniat mengambil ponsel, memilih diam dulu, ingin tahu apa tanggapan Bude Warni, kakak ibu mertuaku.            “Dengernya aja pusing, Ning. Lah, anakmu itu loh, nggak bisa dikasih tahu. Nikah kok, sama orang jauh. Mana yatim piatu, ban
Baca selengkapnya
Bab 2
Mas Faisal makan dengan lahap. Mungkin dia lapar dan capek sepulang dari tambak ikan. Aku sudah menawarinya bekal tadi pagi, tapi dia tidak mau. Katanya sebentar. Tetapi, ternyata katanya ada tanggul yang longsor sedikit dan menimpa tambak kami. Karena semalam, hujan turun dengan lebatnya. Jadi,mau tidak mau Mas Faisal membetulkannya seorang diri.            “Kenapa, Dek? Kok, ngelihatin Mas ampe begitu?” teguran Mas Faisal membuatku sedikit kaget.            “Eh, anu, Mas. Nggak apa-apa.”            “Em, bener? Itu, makanan kenapa cuma diaduk-aduk? Atau mau disuapin?” Tanpa menunggu jawabanku, Mas Faisal mengambil piringku dan menyendokkan nasi, mengarahkannya padaku.            “Ih, Ibu kan u
Baca selengkapnya
Bab 3
Di sepanjang perjalanan menuju rumah Wak Darmi, aku terus memikirkan sikap Ibu padaku. Memang sikap Ibu yang akhir-akhir ini berubah atau aku yang terlalu perasa? Tetapi, seingatku, baru kali ini Ibu bersikap seperti ini. Dulu, saat aku masih tinggal di kota, Ibu selalu ramah padaku. Atau mungkin karena kami hanya bertemu dalam waktu yang singkat, makanya aku tidak paham dengan karakter Ibu?            Ya, selama menikah dengan Mas Faisal, aku memang jarang sekali berinteraksi dalam waktu yang lama dengan keluarganya. Setiap tahunnya, kami memang  bisa tiga atau empat kali pulang kampung. Tetapi, paling lama cuma tiga atau empat hari. Jadi, memang baru kali ini aku berada di dekat mertua dalam waktu lama.            “Mau ke mana, Mbak Arum?” sapa seseorang. Ternyata Bu Ijah, salah satu teman ibu mertuakuAku tersenyum pada wanita yang
Baca selengkapnya
Bab 4
Aku sedang menimang cucu Wak Darmi, saat Ibu mertua dan Nita datang.            “Eh, ada Mbak Arum,” sapa Nita sambil menyalamiku. “ Kenapa tadi nggak nunggu aku aja, biar bareng.”            “Mbak nggak tau kamu mau ke sini. Soalnya tadi pas ngajak Ibu, Ibu nggak bilang kamu mau ke sini. Kalo tahu kamu mau ke sini sekarang, tadi pasti Mbak tungguin. Biar nggak perlu minta anter Ibu, Nit. Soalnya Ibu katanya udah ke sini bareng ibu-ibu pengajian.” Aku sengaja menjawab seperti itu dengan tujuan menyindir Ibu mertua yang sudah membohongiku. Ibu terlihat salah tingkah. Wanita yang sudah melahirkan suamiku itu menggaruk tengkuknya yang tertutup kerudung hitam.            “Oh, Ibu udah ke sini?” tanya Nita pada Ibu mertua. “Kok nggak bilang?”
Baca selengkapnya
Bab 5
Pandangan Ibu dan Hanum kembali beralih padaku. Sorot mata keduanya seperti elang yang siap menerkam mangsanya.            “Tahu apa kamu soal ngajarin anak? Nggak usah menggurui Ibu! Ibu jelas lebih berpengalaman dari kalian!”            Aku dan Mas Faisal saling tatap. Ayah dari kedua anakku itu menggeleng perlahan, sebagai isyarat agar aku tidak melawan perkataan Ibu. Akan tetapi, aku pura-pura tak melihat kode dari Mas Faisal.            “Kalo Ibu lebih jago mendidik anak, harusnya, Ibu juga bisa ngasih tahu Hanum, kalo menginginkan sesuatu itu, harus berusaha. Bukan cuma ngandelin ketiga kakaknya, terutama Mas Faisal yang Ibu bilang jatuh miskin,” jawabku berusaha sesantai mungkin.            Ibu langsung m
Baca selengkapnya
Bab 6
Terkadang menjaga jarak adalah hal terbaik setelah hati kita disakiti. Begitu juga aku, memilih tidak lagi terlalu dekat dengan ibu mertua. Toh, semua yang aku lakukan juga selalu salah di matanya. Lebih baik, fokus dengan rencanaku membuka usaha kuliner kekinian. Rencananya, mulai besok, aku akan mulai berjualan ceker mercon tulang lunak dan beberapa jenis minuman. Karena aku lihat, di daerah sini belum ada yang menjual makanan seperti itu. Selama ini, aku menjual makanan itu dari rumah dengan cara menawarkan ke ibu-ibu yang menunggui anaknya sekolah di TK tempat Arkan sekolah. Respon mereka bagus, bahkan ada yang dengan suka rela mempromosikan makanan buatanku di media sosial mereka. Sehingga, perlahan tapi pasti, pembeliku bertambah.Selain itu, beberapa anak tetangga yang sekolah di SMP dan SMA juga aku tawari produk ini. Hasilnya, lumayan. Sambutan mereka cukup bagus. Mereka juga mempromosikan makanan itu pada teman-temannya. Dari situlah, muncul ide untuk m
Baca selengkapnya
Bab 7
Aku tersenyum sinis ke arah perempuan dengan rambut berwarna cokelat muda itu. “Nggak usah ikut campur, Mbak. Mendingan, Mbak Tuti, pikirin hutang Mbak ke aku. Udah dua tahun, loh. Kan, waktu itu, janjinya selesai hajatan dibayar lunas. Mana? Itu uang pribadiku, loh. Hasil jualan jajanan receh. Bukan uang Mas Faisal.”Seketika wajah Mbak Tuti berubah pucat. Mungkin, dia tidak menyangka aku akan menagih hutang yang mungkin dia pura-pura lupa. Aku pura-pura tidak melihat ekspresi Mbak Tuti, dan melewati mereka begitu saja.            “Hutang segitu aja, ditagih-tagih terus. Kayak sama siapa! Ingat, siapa yang ngajarin suamimu dagang!”            Mendengar gerutuan Mbak Tuti, aku pun menghentikan langkah dan membalikkan badan. “Segitu aja? Maksud Mbak, lima juta itu sedikit? Kalo gitu, kenapa nggak dibayar-bayar? Buatku, lima
Baca selengkapnya
Bab 8
Perdebatan soal siapku atas perlakuan keluarga Mas Faisal meninggalkan rasa kesal yang tak kunjung hilang. Apalagi, Mas Faisal juga tidak meminta maaf padaku. Bahkan, setelah dia malah pergi entah ke mana. Karena, aku memilih tidur cepat selepas Isya. Sengaja, biar tidak perlu lagi berdebat dengannya.            Pagi harinya, aku tetap mengurus rumah dan menyiapkan sarapan seperti biasa, walaupun masih dengan mode senyap. Dan, seperti biasa, Mas Faisal juga tidak banyak bicara.            “Jam berapa kamu jualannya, Dek?” tanya Mas Faisal saat kami selesai sarapan.            “Mulai jam sebelas siang. Kan, ngejar waktu istirahat anak-anak sekolah.”            “Oh, ya udah, ntar Arkan biar Mas yang jemput d
Baca selengkapnya
Bab 9
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 9        Aku baru saja selesai menyiapkan bahan untuk jualan saat Mas Faisal pulang. Tanpa banyak bicara, aku menyambutnya seperti biasa. Sedangkan Arkan, pergi mengaji bersama anak tetangga.     “Ada apalagi, Dek? Kok, dari tadi diem aja?” tanya Mas Faisal saat aku menghidangkan segelas kopi. Rupanya Mas Faisal masih belum sadar apa kesalahan yang ia perbuat hari ini.     “Nggak ada apa-apa,” sahutku ketus, sambil berlalu. Aku berharap, lelaki yang jarang bicara itu menyadari kesalahannya tanpa kuberi tahu.    “Mas minta maaf, karena nggak bantuin kamu jualan, Dek. Mas Joko ngajak perginya mendadak. Mas nggak enak nolaknya.” Rupanya Mas Faisal mengikuti langkahku ke ruang tengah. Kemudian, ia duduk di sebelahku setelah menyimpan kopinya di atas meja.     Aku pura-pura cuek da
Baca selengkapnya
Bab 10
Kami Bukan Benalu, Bu.Bab 10     Sampai pagi, aku masih mendiamkan Mas Faisal. Dia beberapa kali mengajak bicara, tapi lagi-lagi kujawab seperlunya saja. Setelah menyiapkan sarapan, kumandikan Arkan dan memakaikan seragam sekolah.     “Arkan, nanti kalo Ibu belum jemput, kamu jangan pulang dulu, ya.”     Anak lelakiku mengangguk. “Siap, Bu.”    “Ya, udah, ayo sarapan dulu.”     Arkan menggandeng tanganku ke luar dari kamar. Setibanya di ruang makan, tampak Mas Faisal sudah menunggu di salah satu kursi.     “Biar Mas yang jemput, Dek. Ntar langsung Mas anter ke ruko.”     “Nggak usah. Selesaikan saja urusanmu sama Mas Joko. Barangkali komisimu ditambah. Atau paling nggak gantiin bensinmu yang dipakai kemarin. Ngajak pergi seharian kok, nggak dikasih makan,
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status