Share

Kecelakaan atau Sabotase?

7.Di balik kematian adikku yang idiot

Kecelakaan atau sabotase?

"Mas, ada penjaga!" Seruku. Mas Beni mengangguk. Matanya terlihat waspada melihat sekeliling.

"Diam di sini."

Mas Beni menekan punggungku agar menunduk. Rasanya sangat tegang. Kami berdua, berusaha untuk tidak membuat suara.

"HEY, JAWAB!

Terdengar lagi teriakan penjaga. Aku menggigit bibir, takut.

Krosak

Krosak

Suara orang menyibakkan dedaunan! Aku semakin tegang. Terdengar pula langkah kaki mendekat. Dada ini rasanya ketar ketir. Saat suara langkah kaki semakin dekat, tiba-tiba Mas Beni menarik tanganku.

"Cepat lari!"

Pontang-panting aku berlari mengikuti Mas Beni. Pegangan tanganku sampai terlepas. Pokoknya aku terus berlari sekencang-kencangnya mengikuti Mas Beni di depanku.

"Jangan lari, woyy!!"

Astaga! Mereka mengejar, bagaimana ini?

Jarakku dengan Mas Beni menjauh, aku hanya bisa melihat sosoknya saja. Dengan menyibakkan cepat dahan dan ranting yang menghalangi jalan, aku fokus berlari mengikuti Mas Beni. Ah! Kurasa, mereka yang mengejar semakin mendekatiku.

"Mas Beni, tunggu!!" Jeritku. Sekilas kulihat sosok di depanku berhenti dan menoleh ke belakang. Karena tidak fokus, aku tersandung akar pohon!

Brukk!

Tubuhku jatuh tengkurap. Cepat-cepat aku berusaha bangun, Mas Beni sudah ada di hadapanku. Gegas Mas Beni menarik tanganku dan mengajakku kembali berlari. Hhhh hhh nafasku mulai ngos-ngosan. Nggak kuat lagi rasanya. Sayangnya penjaga juga terus berlari mengejar di belakang kami.

Tangan Mas Beni menyibakkan daun dan ranting yang menghalangi di depan.

Bugh!!

Tiba-tiba, sesuatu menghantam keningku!

"Aaahh!!"

Aku menjerit seiring tubuh yang rasanya terlempar ke belakang. Untuk kali kedua aku jatuh lagi! Kali ini fatal! Aku jatuh dengan kepala belakang membentur tanah. Seketika suasana menjadi gelap.

"Mas, tolong!"

Sialnya, aku tidak bisa bangkit. Beruntung aku masih sadar. Mas Beni berjongkok dan menopang separuh badanku.

"Ann, kau tidak apa-apa?"

Tepukan tangan Mas Beni beberapa kali mendarat di pipiku. Aku menggeleng. Dengan sapu tangan, Mas Beni mengusap keningku. Samar aku melihat warna merah di sapu tangan itu. Keningku berdarah.

"Keningmu kena sambit dahan," kata Mas Beni. Uh! Pantesan sakit ....

"Heh, siapa kalian?!"

Seorang lelaki tinggi besar dengan kaos dan celana hitam sudah berdiri di depan kami. Telunjuknya mengarah pada kami.

"Mau mencuri, ya!" Bentaknya garang.

"Kami bukan pencuri!"

Mas Beni menjawab sembari mengangkat tubuhku. Selanjutnya, lelaki baik ini menopang aku berdiri. Uuh! Sakit sekali kepalaku.

Tap

Tap

Tap

Suara langkah kaki lain menuju ke arah kami. Penjaga pertama yang bertubuh besar masih melotot padaku dan Mas Beni. Seorang pria lain datang. Kali ini seorang yang lebih tua. Bapak yang baru datang ini rambutnya sudah bersulam putih. Perawakannya kecil. Kukira dia seorang mandor kebun, bukan penjaga.

"Ada apa ini?" Tanya bapak itu.

"Mereka menyusup ke kebun, pasti pencuri!" Lapor sang penjaga. Bapak yang tua melihat ke arah kami. Mas Beni menatapnya tajam.

"Kami bukan pencuri, kami hanya tersesat di sini!" Kata Mas Beni. Aku mengangguk tipis.

"Bohong!" Potong penjaga cepat.

"Buktinya apa kalau kami mencuri?" Tantang Mas Beni. Penjaga itu langsung diam.

Bapak yang tua mengamati Mas Beni, lalu mendekat. "Bukannya kamu anaknya Pak Kaji Hasan?" Tanyanya. Mas Beni mengangguk tipis. Orang tua itu menghela nafas. Kukira, dia mengenali Mas Beni.

"Oh! Tak salah lagi, pasti kalian sedang berbuat mesum di sini!" Penjaga sotoy tadi main tuduh lagi. Kali ini, aku mendelik. Berbuat mesum gundulmu! Dia kali yang otaknya mesum.

"Jaga bicaramu!" Bentak Mas Beni.

"Sembarangan aja!" Timpalku kesal.

"Berduaan di kebun kopi, kalau nggak mesum terus ngapain? Main kelereng? Hahaha," tawa penjaga itu nyaring, terdengar seperti mengejek. Geram rasanya, pingin aku tonjok! Sayang, aku sedang terluka.

"Sedang apa kalian di sini?" Bapak yang tua bertanya kalem.

"Kami tersesat, Pak. Teman saya ini tersesat masuk ke kebun sini, saya menyusul. Kemudian penjaga mengejar kami," jelas Mas Beni.

Pak tua itu melihat wajahku, kemudian berpaling pada Mas Beni. "Temanmu terluka, sebaiknya kau obati dulu. Pergi lah dari sini,"

Tanpa menunggu lama, Mas Beni memapahku berjalan.

"Tunggu!"

Penjaga yang garang menahan.

"Sebaiknya, kita bawa mereka ke Pak Karto!"

Dibawa ke Pak Karto?! Aku melirik Mas Beni. Lelaki di sebelahku menoleh ke belakang.

"Kenapa harus ke Pak Karto? Kami tidak mencuri apa-apa," kata Mas Beni.

"Sudah, biarkan saja. Dia anaknya Pak Kaji Hasan pemilik kebun sebelah. Bukan pencuri," Pak tua tadi menengahi.

Mas Beni dengan cepat membawaku pergi dari sini. Lega rasanya.

"Akan kulaporkan pada Pak Karto!"

Sempat kudengar suara penjaga yang galak bicara seperti itu.

**

Semenjak kejadian di kebun kopi, hubunganku dengan Mas Beni semakin dekat. Pertemuan kami semakin intens. Mas Beni orangnya baik dan care. Bahkan sekarang, Mas Beni kalau menungguku tidak di luar lagi tetapi masuk ke rumahku. Dia juga berbicara dan mau mengajak bermain Aida.

Hari ini, saat aku ke warung untuk membeli sabun, aku dibully sama Ibu-ibu kampung. Ada empat orang, lima dengan pemilik warung. Tadinya mereka bergerombol dan sedang bergosip. Saat melihatku datang, mereka langsung memandangku sinis dari bawah sampai atas. Aku sih tidak peduli dengan mereka. Ngapain ngurusin Ibu-ibu.

"Anna, kamu pacaran sama anaknya Pak Kaji, ya?"

Aku hanya tersenyum tipis. Maksud Ibu ini mungkin dia mengira aku pacaran dengan Mas Beni.

"Mbok dipikir adikmu itu, hamil belum ketahuan siapa bapaknya, kamu malah sibuk pacaran. Nanti kamu hamil juga gimana, Ann!"

Netraku melirik tajam pada seseibu berdaster kuning. Nyinyir banget, sih?

"Saya sedang berjuang untuk adik saya, Bu, bukan diam saja!" Balasku sengit.

"Berjuang piye to, Ann? Percuma Haha," Ibu yang punya warung tertawa hambar.

"Percuma gimana to, Bu? Saya ini sedang mencari keadilan untuk Aida. Tidak ada yang percuma!" Kutatap tajam Ibu itu. Dia mengangkat kedua bahu dan bibir sebelahnya terangkat ke atas.

"Mencari keadilan itu kalau lawanmu ecek-ecek. Lha kalau lawanmu orang berduit, percuma, mundur aja," kata salah satu Ibu.

"Saya nggak akan mundur, Bu. Kalau bukti-bukti sudah cukup, saya akan lapor polisi!" Ujarku mantap.

"Berani lapor polisi, hancur hidupmu, Ann!"

"Aku nggak percaya!" Kataku jengkel. Orang kampung ini pada sentimen sama aku. Apa salahku? Biarpun adikku cacat mental, tapi dia juga harus dapat keadilan! Aku yang akan berjuang untuknya.

"Hancur gimana, Bu? Justru saya lapor polisi nanti, kasus ini akan terungkap!"

"Mau nglaporin Pak Karto? Hahaha memangnya kamu punya duit berapa, Ann?" Ibu baju kuning yang paling nyinyir mengetawaiku.

"Pak Karto?"

Dahiku mengerut dalam. Ibu itu tadi bilang Pak Karto, apa maksudnya?

"Bu, sssttt, sssst!"

Kupandang sekeliling, para ibu-ibu ini saling berkedip mata kemudian ada yang menempelkan telunjuk di mulut. Hmm ada yang dirahasiakan rupanya.

"Ada apa dengan Pak Karto, Bu?" Aku mengedarkan pandangan kepada para ibu-ibu di warung ini. Mereka semua berpura-pura acuh, bahkan ada yang bergegas pamitan.

"Nggak ada apa-apa sama Pak Karto, Ann. Maksudnya bu Painah tadi, mungkin lawanmu itu sehebat, sekaya Pak Karto gitu lho. Jadi berat. Kamu tahu to, melawan orang berduit itu tidak mudah." Jelas Ibu pemilik warung meluruskan.

Bagiku, itu tidak menutupi sesuatu. Jelas-jelas Bu Painah tadi bilang lawanku adalah Pak Karto! Keyakinan yang ada di hatiku semakin bertambah. Dari dulu, aku yakin Pak Karto terlibat dalam kasus Aida.

Tanpa banyak pertanyaan, aku segera pulang. Jejak Pak Karto dalam kasus ini semakin nyata! Dari dia melarangku melapor polisi. Mengintimidasi dewan desa agar tidak mendukungku, kebon kopi miliknya, sekarang beredar kabar di kampung kalau Pak Karto berada di balik semua ini!

Masih dalam keadaan emosi, aku menelepon Mas Beni. Aku akan cerita semuanya dan mengajaknya ke kantor polisi segera! Aku tidak takut dengan Pak Karto!

"Mas, antar aku ke kantor polisi, sekarang!" Kataku saat Mas Beni mengangkat telepon.

"Sekarang?"

"Iya, Mas! Aku sudah dapat bukti kuat siapa tersangkanya!"

"Siapa?"

"Pak Karto!" Jawabku mantap.

Mas Beni terdiam. Apa dia tidak percaya padaku?

"Mas?"

"Kamu yakin, Ann?"

"Yakin 100%, Mas! Tadi Ibu-ibu yang bilang. Pak Karto adalah orang yang bertanggung jawab atas kehamilan Aida!" Suaraku meninggi.

"Tapi itu tidak bisa dijadikan bukti, Ann, itu cuma gosip. Buktinya nggak ada." Jelas Mas Beni. Emosiku tambah tinggi mendengarnya.

"Jadi, Mas Beni nggak percaya sama aku?!" Kakiku menghentak lantai. Sebel!

"Bukan begitu, Ann ..."

"Bilang aja nggak mau nganterin!" Aku benar-benar marah.

"Ok, aku anterin. Aku ke situ sekarang."

Huh! Kumatikan ponsel sambil mendengus kesal. Gitu dong, seharusnya laki laki-laki itu mengalah sama perempuan.

Berjalan masuk kamar, aku berganti baju. Kuambil tas dan bersiap pergi.

"Cepat dikit, Mas!" Kataku pada Mas Beni yang mengendarai sepeda motor. Lelaki itu menambah kecepatan. Nggak sabar rasanya.

Sampai pertigaan tugu desa, saat akan berbelok kiri, tiba-tiba datang sepeda motor model sport dari arah belakang yang memepet motor Mas Beni.

Mas Beni menoleh ke kanan pada motor di sebelahnya yang gelagatnya mencurigakan. Dengan menambah kecepatan motor, Mas Beni berusaha menjauh. Pengendara motor sport mengejar dan ...

Brakkk!

"Aaahh!!"

Kejadiannya begitu cepat. Sempat kulihat kaki pengendara motor sport menendang stang motor Mas Beni. Kami terjatuh di sisi kiri jalan.

Aku terjungkal dan berguling di tanah. Beberapa centi lagi, hampir saja aku jatuh ke selokan. Tanpa mempedulikan rasa sakit, aku mengangkat setengah badanku. Bertopang pada kedua siku, mataku mencari keberadaan Mas Beni.

Itu dia! Lelaki itu tergeletak beberapa meter dariku. Mas Beni diam tak bergerak tertimpa motor.

"Mas Beni!!"

Dalam kepanikan, aku berdiri dan berlari. Oh Tuhan! Semoga dia tidak apa-apa ....

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status