Share

Titik Terang

5.Di balik kematian adikku yang idiot

Titik terang

"Masuk, Bu!"

Kuajak Bu Salamah masuk kembali ke rumahnya. Perempuan tua itu nampak ketakutan. Jujur, aku juga sempat takut tadi. Aku merasa tadi benar-benar ada orang di belakang rumah Bu Salamah.

Segera kutepis pikiran buruk dari otakku. Kuanggap tadi ada kucing di sana. Meskipun aku yakin, seekor kucing tidak akan bisa menjatuhkan gentong padasan berisi air. Kembali aku duduk di depan tungku bersama Bu Salamah.

Bu Salamah mulai membungkusi nasi lembek setengah matang yang dia masak tadi dengan daun pisang yang sudah dia persiapkan. Menggunakan sendok plastik, tangan kurus itu mulai menyendoki nasi kemudian dia tata melebar di atas daun pisang. Setelah itu dia tata di atasnya oseng tempe pedas, lalu dia gulung dan bungkus dengan menyematkan dua potong lidi di setiap ujungnya. Jadi lah arem-arem, makanan murah meriah yang bikin kenyang.

"Besok tinggal ngukus," kata Bu Salamah sembari menata arem-arem ke dalam dandang besar yang sudah terpasang sarangannya.

"Lanjutkan ceritanya, Bu," pintaku. Bu Salamah tampak membuang nafas kasar.

"Sampai mana tadi, ya?" Tanyanya.

"Sampai Aida diantar pulang pria misterius," aku menjawab.

"Oh ya. Setelah pria itu pergi, Ibu berlari menemui Aida. Dia nangis huaa huaaa gitu seperti anak kecil," kata Bu Salamah.

"Kenapa katanya?"

"Ibu nggak tahu, tapi baju, rambut sama tubuhnya kotor semua sama tanah basah. Sendalnya juga nggak ada, ilang."

"Ya Allah kasihan sekali!" Sakit hatiku dengar cerita Bu Salamah.

"Lha iya itu, Mbak. Terus ibu ajak Aida masuk buat dimandiin, tapi pas jalan Aida tambah nangis sambil bilang sakit, sakit, gitu. Tangannya megangin kemaluan. Saat itu, Ibu benar-benar nggak tahu apa yang sudah terjadi pada Aida."

Aku menghela nafas. Membayangkan sakitnya Aida karena dipaksa melakukan hubungan sex. Apalagi menurut Bu Salamah pria yang mengantar Aida bertubuh besar. Kalau dugaanku benar dia yang memperkos* Aida ... Bisa dibayangkan, pasti barangnya juga besar. Pantas saja Aida sampai menangis keras. Pasti sakit banget itunya Aida! Malangnya adikku.

"Pas mandi juga, Mbak, itu di celana dalam Aida ada darahnya," Bu Salamah setengah berbisik padaku. Netraku melebar. Itu darah perawan Aida! Kurang ajar bajingan itu! Dia merobek paksa keperawanan adikku! Awas, akan kubuat perhitungan denganmu! Dadaku dipenuhi dengan dendam.

"Kenapa kemudian Ibu nggak cerita ke saya?" Tanyaku gusar. Bu Salamah menoleh padaku. Dia nampak takut.

"Ibu kira Aida mens ...."

Huh! Rumit kalau begini. Mau nyalahin Bu Salamah juga nggak mungkin. Perempuan tua itu terlalu lugu untuk menyadari apa yang telah terjadi dengan Aida saat itu. Lagipula, siapa yang akan menyangka ada orang bejad bersembunyi di balik desa yang damai ini?

Sekitar jam sebelas malam, aku pamit dari rumah Bu Salamah. Sampai rumah, langsung masuk ke kamarku. Tapi, aku tidak segera tidur. Menganalisa cerita Bu Salamah tadi, sepertinya Aida bangun dari tidur dan berusaha mencari Bu Salamah tapi tidak ketemu. Karena terbiasa diajak ke kebon untuk mencari kayu bakar, Aida otomatis menuju ke sana untuk mencari pengasuhnya.

Menilik dari baju, tubuh, dan rambut Aida yang kotor dengan tanah basah, sepertinya Aida terjatuh saat berjalan menuju kebon. Secara saat ini lagi musim peralihan dari musim penghujan ke musim kemarau, jadi sesekali hujan masih turun. Itu sebabnya baju Aida kotor oleh tanah basah.

Eh, tunggu dulu! Bagaimana kalau ternyata Aida tidak jatuh? Dan kotoran itu dia dapatkan saat diperkos*?

Aku bangkit dan bersandar di dipan kayu ini. Kutata bantal di belakang punggung. Iya! Bisa jadi noda kotor itu akibat Aida bergumul dengan si bajingan itu di tanah, hingga seluruh baju, badan dan rambut Aida menempel tanah basah! Hmm sepertinya, misteri ini mulai menampakkan titik terang.

Biasanya Bu Salamah mencari kayu bakar di hutan pinus. Kalau ke hutan jati, tidak berani karena ada penjaganya. Sebaiknya, aku melakukan napak tilas di jalan menuju hutan pinus yang sekiranya dilalui Aida, untuk mencari bukti.

**

"Aida, kakak berangkat dulu, ya?"

Kulihat Aida duduk termenung sambil memangku boneka di kursi meja makan. Sudah beberapa hari ini dia tidak enak badan. Muntah-muntah setiap pagi. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Sudah sepuluh hari setelah Aida ketahuan hamil dan aku belum melakukan apapun untuk menolongnya.

"Mainan karetmu mana, Da? Udah lama kakak nggak lihat?" Tanyaku. Aida menoleh sekilas, lalu kembali fokus melihat ke depan. Seperti tidak bergairah hidup adikku ini. Gimana ya, meskipun adikku ini berkebutuhan khusus, tapi kalau lagi hamil ya rasanya pasti sama lah dengan perempuan normal lainnya yang sedang hamil juga. Aida mungkin juga pusing, enek, mual, lemas dan sebagainya.

Kreek

Suara pintu belakang terbuka. Bu Salamah masuk. Aku menyuruhnya datang lebih awal tadi soalnya Aida sudah mulai muntah.

"Bu, tolong jagain Aida ya? Nggak usah cari kayu dulu. Tadi aku sudah pesankan kayu bakar sama Mbah Darsono satu dokar. Itu cukup buat seminggu," kataku.

"Makasih, Mbak Anna," Bu Salamah tersenyum lebar. Senang sekali sepertinya.

Mas Beni sudah menunggu di depan. Gegas aku keluar.

"Ayo, Mas!"

"Dari tadi aku udah siap," katanya sambil berdiri.

"Hehehe, maaf," aku nyengir. Kebiasaan ngaret.

Motor berjalan melalui rute biasa. Aku mengobrol dengan Mas Beni. Topiknya masih seputar masalah Aida.

"Mas, kayaknya aku dapat petunjuk tentang di mana tempat Aida diperkosa deh," kataku membuka pembicaraan.

"Oh ya, di mana?"

"Di kebon, arah ke hutan pinus."

"Dapat info dari mana?"

"Aku mengorek keterangan dari Bu Salamah," jawabku.

"Bagaimana ceritanya?"

"Nanti pulang kerja, jemput aku di terminal, ya? Aku ceritakan semuanya. Ntar aku traktir makan."

"Wow ... Gajian, ya?" Mas Beni tertawa.

"Hihi iyaa dong,"

Sampai terminal, aku turun dan bersiap naik bis. Mas Beni menunggu hingga bisnya berjalan.

"Jangan lupa nanti sore, ya!"

Dengan senyum manis, Mas Beni mengangguk. Tanganku melambai padanya. Duduk di bis, aku menoleh ke jendela, Mas Beni masih duduk di jok motornya, menunggu. Bibirku tak bisa berhenti tersenyum untuknya hingga bis berjalan ke luar terminal.

"Mas Beni baik banget,"

Aku tersenyum sendiri.

Ini hari Sabtu, kalau kantor tidak banyak pekerjaan, biasanya aku pulang jam 2 siang. Boss tadi sudah bilang, hari ini boleh pulang jam 2, hore!

Cepat-cepat aku ngabari Mas Beni via WA. Cowok itu langsung oke saat aku memintanya jemput di terminal sekarang.

Turun dari bis, aku tengak-tengok sebentar, sebelum akhirnya motor Mas Beni menghampiri.

"Lama nunggunya?"

"Nggak,"

Berboncengan, aku mengajak Mas Beni ke restoran fast food produk lokal yang ada tak jauh dari terminal. Restonya cozy. Menunya ala-ala KFC gitu. Ada ayam Kentucky, kentang goreng, hot dog, sama burger. Meski lokal tapi ramai lho pengunjungnya.

Sambil duduk dan makan, aku bercerita pada Mas Beni.

"Jadi analisaku gitu, Mas. Aida diperkos* di kebon."

"Dari mana kamu menyimpulkan begitu?"

"Karena baju dan badan Aida kotor sama tanah basah. Kalau sudah sampai hutan, tanahnya justru keras dan kering, Mas," ucapku.

"Kalau habis hujan, sama aja, tanah di hutan juga basah," Mas Beni menatapku.

"Beda Mas ... Kalau di kebon, apalagi kebon kopi, tanahnya gembur dan lembab. Kalau jatuh di sana, tanahnya nempel."

Mas Beni mengangguk-angguk. Aku semakin bersemangat bercerita. Analisaku mantap menurutku.

"Jadi apa rencanamu?"

Aku mengambil minum dan meneguknya. Terlalu bersemangat cerita membuat tenggorokanku kering.

"Aku mau ke kebon kopi untuk memastikan, Mas! Kamu mau kan nganterin aku ke sana?" Pintaku. "Aku nggak berani ke sana sendirian, takut kejadian serupa dengan Aida akan menimpaku,"

Mas Beni terdiam sebentar, menatapku lama, duh! Kok jadi berdebar dada ini. Huwekk!

"Kebon kopi yang ke arah hutan pinus, ya?"

"Iya, Mas, betul!"

"Bukannya itu kebon kopinya Pak Karto?"

"Apa?!"

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status