"Hei, ada apa dengan adikku yang cantik?" Sanca menoleh. Piton, abangnya datang dengan wujud setengah manusia, setengah ular dengan wajah yang bersisik meski tak keseluruhan. Ular besar berwarna hitam itu mendekati adiknya yang masih bermuram durja dengan tubuh yang meliuk-liuk."Aku kesal sama Ayah dan Rosa," kata Sanca. Matanya menatap tajam ke sungai, seolah sungai lah yang menjadi sumber kemarahannya. Piton, merubah raganya menjadi manusia seutuhnya. Lalu duduk di sebelah Rosa. Dia terlihat tampan dengan raga manusianya. Dengan raga itu, dia berhasil menjerat banyak wanita menjadi terpikat padanya.Tak hanya dari kaum siluman, bahkan dari kaum manusia. Layak kalau dia disebut don juannya kaum siluman. Sebagai seorang pangeran, pantas memang kalau dia memiliki paras yang elok. Bahkan kalau dia berwujud ular pun. Menimbulkan decak kagum bagi ular-ular betina lainnya. "Kenapa kau kesal dengan Ayah dan Rosa?" "Ayah pilih kasih!" ketus Sanca. Piton mendengus. "Kenapa baru sekara
"Rosa sudah tak bisa lagi kembali ke wujud ularnya," kata Sanca.Piton bangkit, memandangi Sanca.Dia merasa salah dengar atas ucapan Sanca. "Serius?" tanyanya, seakan memastikan bahwa dia tak salah dengar."Iya, sebab itu Ayah meminta beberapa pengawal selalu menjaganya dari jarak jauh. Abang tau kan, kalau hal ini diketahui musuh-musuh Ayah. Nyawa Rosa dalam bahaya." Siluman ular cantik itu menceritakan semua yang dia tau pada abangnya. "Bukankah kau senang kalau Rosa dalam bahaya? Kau tak perlu repot-repot menyingkirkannya." Piton kembali memainkan ujung rambut Sana."Aku memang kesal dengan Rosa. Karena Ayah lebih menyayanginya. Tapi aku tak berpikiran seburuk itu Bang. Bagaimanapun dia saudariku." Piton terkekeh mendengar perkataan Sanca. "Saudari ya hehehe."Sanca mengerucutkan bibirnya. Ditepisnya tangan Piton dari rambutnya. Dia bangkit, meninggalkan Piton sendirian. Kegelapan malam masih begitu pekat, meskipun waktu sudah menjelang Subuh. Saatnya para siluman balik ke perad
Usai memilih bahan belanja dan membayar semuanya, Sari cepat menuju ke rumah Nek Miya. Tukang urut yang paling dikenal di daerah mereka. Rumahnya melewati kedai Mak Tonah, tak seberapa jauh memang. Matahari juga belum muncul dengan sempurna. Masih malu-malu dan sedikit enggan beranjak dari peraduannya. Pagi ini sedikit di selimuti awan mendung, hanya semburat jingga di ufuk barat yang menandakan kalau Subuh telah berlalu. Dari jauh, Sari sudah melihat Nek Miya sedang menjemur pakaiannya di belakang rumah. Dari kejauhan, rumah Nek Miya, kelihatan jelas mulai dari halaman depan hingga belakang dari sisi jalan tempat Sari menuju ke rumah Nek Miya. Dipercepat langkah kakinya, takut balik ke rumah terlalu siang. Sebentar lagi, Rehan pasti bangun. Hasan sedang sakit, tak bisa diharapkan Sari untuk menjaga Rehan. Beruntung, Sari hamil dalam keadaan sehat. Sehingga pagi-pagi berjalan sedikit jauh dari rumahnya dianggap senaman saja. "Assalamualaikum Nek." Sari memberi salam pada wanita ya
Rosa tak menyangka, Sari bisa merasakan kehadirannya. Dia sengaja mengawasi Sari, ingin tau kegiatan istri lelaki yang dicintainya. Dia ingin bisa seperti Sari, agar Hasan bisa mencintainya, seperti mencintai Sari. Rosa terpaksa sedikit menjauh, agar Sari tak bisa merasakan kehadirannya. Dia sama sekali tak berniat mengganggu, hanya ingin tau saja keseharian Sari seperti apa.Rosa hanya memperhatikan Sari dari sudut rumahnya. Perempuan berbalut daster panjanh itu, sedang memasak. Daging dahulu yang direbusnya. Sambil menunggu daging empuk, Sari mencuci pakaiannya. Meski tidak menggunakan mesin cuci, Sari tak merasa lelah. Apalagi, dia setiap hari mencuci baju. Jadi hanya sedikit cuciannya setiap hari.Rosa dilanda kebosanan, dia tak pernah berada di posisi Sari. Semua pekerjaan di istana siluman ular, sudah diurus para emban ayahnya. Lebih baik dia melihat Hasan pikirnya. Rosa masuk ke dalam kamar, tanpa menyibak kain penutup pintu. Tentu saja dia melewati kain itu tanpa menyentuhnya
"Ya Allah. Mamak." Senyum Sari langsung merekah melihat mertuanya yang datang. Hasan langsung duduk mendengar Sari menyebut Mamak. Mamak Hasan masih berada di teras rumah mereka. "Kenapa tak bilang kalau mau datang?" tanya Sari sambil mencium takzim tangan mertuanya, Bu Zubaidah. Bu Zubaidah menyerahkan bungkusan plastik berwarna hitam pada Sari. Bungkusan itu berisi buah jeruk, semangka juga pisang. Sekedar buah tangan untuk anak cucunya.Ratna, adik Hasan juga mencium tangan Sari. Ratna lebih dulu masuk ke dalam rumah, rasa rindu pada keponakannya sudah tak terbendung lagi. Setelah mencium tangan Hasan, dia langsung memeluk dan menciumi Rehan. Rehan hingga menggelinjang geli dan terlihat senang. Ratna mengambil piring berisi nasi dan sop yang tergeletak di dekat Rehan. Dia langsung menyuapi Rehan, menggantikan Sari. "Tak ada rencana. Tiba-tiba saja teringin kemari. Kebetulan Ratna sedang off kerja, Mamak ajak sekalian," kata Bu Zubaidah. Sari membimbing mertuanya itu masuk ke d
Hasan menggeliat seraya meringis menahan rasa sakit yang teramat sangat. Raut wajahnya memperlihatkan betapa sakit yang dirasakan tubuhnya saat ini. Bu Zubaedah yang mendengar teriakan Hasan bergegas bangkit untuk melihat kondisi Hasan. Tak biasa Hasan mengeluh sakit sampai seperti itu.Alangkah terkejutnya Bu Zubaedah yang melihat tubuh Hasan memerah. "Astaghfirullah, kenapa sampai seperti itu badanmu San?" "Biasalah, terlalu malam di luar rumah jadi ada saja gangguannya," kata Nek Miya. Dia tak memperdulikan Hasan yang terus saja menggeliat bahkan seperti orang yang menggelupur, menahan rasa sakitnya. Kata-kata Nek Miya terdengar ambigu. Sari dan Bu Zubaedah tak faham betul maksudnya. Gangguan seperti apa yang mendera Hasan? Apakah sekedar angin malam, atau ada makna lain yang tersirat dari perkataan Nek Miya itu. Sari merasa tak tega melihat keadaan Hasan. Kelihatan sekali dia menahan rasa sakit yang teramat sangat. Tapi untuk menghentikan Nek Miya, dia pun segan. "Sari, ada di
Rosa menggelayut manja di lengan ayahnya, untuk meredam emosi Tuan Anaconda. Dia tak ingin ayahnya marah, dan akhirnya justru melarangnya mendekati Hasan lagi. Kalau hal itu sampai terjadi, dia bisa mati karena menahan rindu."Ayah, jangan marah ya. Maafkan Rosa. Rosa juga tak mengerti, kenapa Rosa seperti ini? Rasa cinta ini begitu menyiksa Ayah. Ayah tak tau, seperti apa rasanya menanggung rindu pada orang yang dikasihi." Rosa bercerita dengan suara lirih di lengan ayahnya. Dia sedang berusaha merayu Tuan Anaconda, dengan suaranya yang mendayu."Ayah tau Rosa. Tapi yang jadi masalah, kau mencintai makhluk dari bangsa lain. Akan banyak rintangan yang harus kau hadapi. Apalagi dia sudah beristri. Kejadian yang baru menimpamu, masih belum seberapa Rosa. Belum lagi dari bangsa siluman sendiri. Mereka pasti akan mencibir ayah, kalau tau akan hal ini." Tuan Anaconda menjadi gusar sendiri. Ada penyesalan di hatinya telah memberi restu pada Rosa waktu itu. Dia tak pernah bisa menolak permi
Sementara di rumah Hasan. Nek Miya mencampur minyak urutnya dengan daun bidara yang diambil Sari dari rumahnya. Sari belum tau, apa maksud Nek Miya mencampur daun bicara itu di minyaknya. Baru kali ini hal itu Nek Miya lakukan. Sepanjang mengurut Hasan, mulut Nek Miya terus saja menggumamkan ayat-ayat suci. "Arrrgghhh, sa–kiitt." Sepanjang itu pula, Hasan terus mengerang kesakitan. Hasan sampai mencengkeram kuat bantalnya, juga mengeraskan rahang demi menahan rasa sakit yang mendera akibat sentuhan tangan Nek Miya."Pe–lan Nek," rintih Hasan, Sari tak tega melihat wajah kesakitan Hasan. Dia memilih keluar dari kamar, lalu duduk bersama dengan mertua dan adik iparnya. Mamak Hasan juga tak tega, sudah lebih dulu dia keluar dari kamar.Hasan mulai tak merasakan sakit lagi di tubuhnya setelah satu jam lebih Nek Miya mengurutnya. Padahal di awal tadi, Hasan seperti merasa bukan diurut, tapi dicubiti sekujur tubuhnya oleh Nek Miya. Hingga menimbulkan rasa sakit hingga ke jantung. Masih u