"Maaf maaf," katanya agak tergagap dan terengah-engah. Lalu terperangah saat melihat sosok di depannya.
"Rosa!" katanya terkejut. Kenapa bisa, Rosa berada di tepian sungai di malam hari begini.
"Loh, Bang Hasan! Abang kok di sini?" Pertanyaan yang seharusnya dilontarkan Hasan untuk Rosa, justru Rosa yang bertanya pada Hasan.
"Abang mancing tadi. Kamu kenapa di sini?"
"Kalau mancing, mana ikannya? Pancingannya juga gak ada," kata Rosa sengaja tak menjawab pertanyaan Hasan.
'Oh iya, masih disana,' batin Hasan.
"Abang tinggal tadi. Abang mau cari cacing untuk umpan." Hasan beralasan. Tentunya dia malu juga, kalau ketahuan lari karena melihat sesuatu yang tak wajar.
"Kamu belum jawab pertanyaan Abang tadi. Kenapa malam-malam ke sini?" Hasan bertanya lagi.
"Aku mau ke pasar malam, Bang," jawab Rosa. Tentu saja membuat kening Hasan melipat. Dimana ada pasar malam di daerah sini? Pikirnya.
"Pasar malam? Dimana?"
"Itu, disana," jawab Rosa menunjuk ke tempat yang tak jauh dari Hasan memancing tadi.
Hasan mengarahkan pandangannya mengikuti telunjuk Rosa. Tentu saja dia terkejut, sudah ada pasar malam di situ. Padahal sejak hari belum terlalu gelap, dia sudah ada di tepian sungai itu. Tapi tak ada melihat apa pun. Selain pohon bambu, pohon-pohon yang menjulang tinggi, juga air sungai yang mengalir. Bahkan kini telinganya bisa menangkap suara keriuhan dari pasar malam itu.
"Kesana yuk, Bang," ajak Rosa. Menyadarkan Hasan yang terpukau melihat adanya pasar malam di daerah itu.
Gadis cantik itu, langsung saja menggandeng tangan Hasan. Tanpa menunggu jawaban Hasan. Hasan pun seakan terhipnotis dengan sentuhan lembut gadis nan jelita itu. Langkah kakinya ikut saja dengan Rosa yang sekarang menggamit lengannya. Pori-porinya langsung mengembang, karena tangan Rosa begitu dingin menyentuh kulitnya.
Mungkin karena hari sudah malam, Rosa pun hanya mengenakan gaun berlengan pendek. Maka tangannya jadi dingin, itulah yang ada di benak Hasan.
"Sebentar," kata Hasan saat mereka melewati tempatnya memancing tadi. Niatnya ingin membereskan pancingannya, biarlah besok beli saja ikan seperti yang dikatakan Sari tadi sore.
"Biar saja, Bang. Siapa tau, ada yang nyangkut dikail, ikannya," kata Rosa.
"Takut nanti justru dibawa ikan pancingannya," sahut Hasan berkelakar.
"Abang pacakkan lah, dengan kuat. Kasihan anak Abang, kalau Abang pulang tak membawa ikan," kata Rosa membuat Hasan kembali bertanya dalam hatinya. 'Darimana dia tau, aku mancing untuk mendapatkan ikan buat Rehan.'
"Abang kan udah punya anak. Kalau dapat ikan, pasti ikannya buat anak Abang." Hasan tambah terkejut, Rosa bisa menjawab pertanyaan yang masih tersimpan di hatinya. Namun, pesona Rosa membuat Hasan tak terlalu memikirkan keganjilan-keganjilan itu.
Hasan menuruti kata-kata Rosa. Dipacaknya dengan kuat jorannya. Agar tak mudah ditarik ikan, manakala ada ikan yang menyangkut nantinya. Setelah memastikan beres, mereka lanjut lagi ke pasar malam yang tak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang.
Pasar malam itu lumayan ramai pengunjung. Banyak juga wahana yang disediakan di situ. Ada roller coaster, ada baling-baling raksasa. Ada perahu yang diombang ambing dengan kuat. Ada juga comedy putar. Selain itu banyak juga yang berjualan makanan.
Mereka masuk semakin ke dalam pasar malam. Suasana yang tadi terdengar riuh oleh Hasan, saat dia belum menginjakkan kaki di sini. Mendadak menjadi sepi. Banyak mata yang menatapnya dengan tatapan dingin yang menakutkan.
Bahkan mereka yang naik wahana-wahana yang memacu adrenalin itu, tak mengeluarkan suara ketakutan sedikit pun. Hasan merasa sangat ganjil, namun dia berusaha menepis perasaannya itu.
Mata Hasan membeliak, dia sontak menghentikan langkah kakinya. Dia terpaku menatap orang-orang yang berlalu lalang yang menatapnya dengan dingin.
"Kenapa, Bang? Kok berhenti," tanya Rosa merasa aneh melihat reaksi Hasan.
"Telapak kaki mereka terbalik." Hasan berbisik pada Rosa, takut ada yang mendengar perkataannya. Matanya masih terpaku melihat orang banyak yang berseliweran di depannya.
Rosa menarik wajah Hasan dengan lembut untuk melihat ke arahnya. "Itu hanya perasaan Abang saja. Daritadi, Abang jalan sambil melamun."
Rosa melepaskan tangan dinginnya dari wajah Hasan. "Sekarang, Abang lihat. Mereka normal kan? Abang terlalu berhalusinasi."
Hasan mengucek matanya, benar saja yang dikatakan Rosa. Mereka semua normal, tak ada satupun yang telapak kakinya terbalik. Rosa menggandeng tangan Hasan lagi, untuk masuk lebih ke dalam pasar malam.
Hasan masih tak habis pikir, jelas jelas tadi dia melihat telapak kaki orang-orang yang berlalu lalang di depannya itu terbalik semua. Lalu kenapa bisa jadi normal? Apa benar, hanya perasaanku saja. Batin Hasan.
"Bang, ada sate di situ. Kita makan sate yuk," ajak Rosa terus menuntun tangan Hasan menuju pedagang sate. Hasan seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Mengikut saja kemana Rosa melangkah.
"Pak, sate satu porsi." Rosa memesan satenya. Bapak penjual sate segera membakar sate pesanan Rosa. Pandangan matanya yang dingin tak lepas dari Hasan. Hasan merasa risih dipandangi seperti itu oleh si penjual sate.
"Rosa!" Hasan dan Rosa serentak mengalihkan pandangan ke arah suara yang berteriak itu.
Terlihat seorang lelaki juga beberapa orang lagi di belakangnya, mendatangi Rosa dan Hasan. Pandangannya begitu nyalang penuh amarah.
"Kenapa kau bawa manusia ini ke sini!" bentaknya. Tentu saja Hasan terkejut mendengarnya. Manusia? Bukankah di sini semua manusia?
"Bukan urusanmu! Pergilah dari sini, atau aku akan mengadukanmu pada Ayah!" Rosa tak takut sedikitpun pada laki-laki bertubuh kekar di hadapannya.
"Kalau Ayah tau, Ayah akan marah besar padamu!"
"Aku sudah minta izin sama Ayah. dan beliau sudah mengizinkanku. Pergilah dari sini cepat. Kau mengganggu saja!"
Rahang lelaki itu mengeras mendengar perkataan Rosa. Dia merasa Rosa telah mempermalukan dirinya. Sebelum pergi, laki-laki itu melotot ke arah Hasan. Hasan menunduk tak berani menatap laki-laki itu.
"Siapa dia?" tanya Hasan pada Rosa saat laki-laki itu sudah benar jauh dari mereka.
"Abang aku. Tapi dia terlalu protektif. Padahal aku sudah sangat cukup umur. Sejak dulu, kalau ada laki-laki yang dekat denganku, pasti dia tak suka. Makanya aku lebih milih fokus berkarir dan tinggal sendiri. Sudah Bang, tak usah bahas dia. Kita makan sate aja." Rosa menawarkan sate yang ada di tangannya. Rosa sengaja mengalihkan pembicaraan, belum saatnya Hasan tau siapa dia.
Namun Hasan sama sekali tak berselera. Mendadak dia teringat anak istrinya. Hari sudah sangat larut, dia takut Sari akan khawatir.
"Abang pulang duluan ya, kamu masih mau di sini?"
"Cepat sekali, Bang."
"Abang takut, istri Abang jadi khawatir kalau Abang terlalu lama pulang." Raut wajah Rosa seketika berubah kecut, karena Hasan ingin cepat pulang karena Sari.
Sepertinya laki-laki ini sulit untuk ditaklukkan. Rosa semakin menyukainya, meski masih tersimpan di hatinya.
"Makanlah dulu sate ini. Atau belikan buat anak istri Abang." Rosa mencoba menawarkan sate itu lagi.
"Abang masih sangat kenyang. Tak muat lagi perut ini. Istri dan anak Abang pun pasti sudah tidur. Sayang nanti tak ada yang makan kalau dibeli," tolak Hasan lembut. Rosa sebenarnya sangat kecewa, namun berusaha ditutupi dengan seulas senyum yang dibuat semanis mungkin.
"Ya sudah kita pulang." Rosa kembali menggamit lengan Hasan. Entah kenapa, Hasan merasa jadi tak nyaman. Dia merasa sudah mengkhianati Sari. Padahal dia tak punya hubungan apapun dengan Rosa. Namun untuk menampik Rosa pun, dia merasa tak enak hati.
"Bang, besok Rosa kerja. Besok malam Abang yang jemput Rosa, ya," kata Rosa masih bergelayut manja di lengan Hasan.
"Jemput dimana?" tanya Hasan.
"Di tempat kemaren aja."
"Ya sudah. Telpon aja besok. Abang kalau narik pagi dapat rezeki lumayan, biasanya malam gak narik lagi."
"Kok begitu, Bang?"
"Istri Abang tak mengizinkan. Dia takut Abang kelelahan dan kurang istirahat. Asalkan yang Abang dapat di siang hari bisa memenuhi semua kebutuhan, dia tak pernah mengeluh." Rosa cemberut, lagi-lagi Hasan ingat dengan Sari. Tapi Rosa harus menahan diri, saat ini dia memang tak punya hubungan apa-apa dengan Hasan. Tak ada alasan untuk cemburu.
Dia takut, kalau dia menunjukkan rasa cemburunya. Hasan tak akan mau menjemputnya lagi. Mudah saja bagi Rosa untuk menaklukkan Hasan. Cukup dengan jentikan jari saja. Hasan akan jadi miliknya. Tapi dia tak mau melakukan itu. Dia ingin berproses, layaknya para pelakor pada umumnya.
Sampai di tempat pancingnya terpacak, alangkah terkejutnya Hasan melihat ….
★★★KARTIKA DEKA★★★
Sari terus berusaha berkonsentrasi memanggil Nyi Baisucen. Dia harus tau kebenaran tentang Rosa. Apakah Rosa adalah saudari yang dicarinya selama ini?"Bibi Baisucen." Berulang kali Sari memanggil Nyi Baisucen. Namun Nyi Baisucen tak juga menjawabnya. Sari hampir putus asa. Kenapa bibinya tak menjawab panggilan darinya? Kalau dia ke klinik Pak Hanif, akan memakan waktu yang lama. Hampir setengah hari perjalanan menuju ke sana. Belum lagi perjalanan pulang. Dia tak bisa meninggalkan keluarganya dalam waktu yang lama. Sari mencoba untuk berkonsentrasi lagi. Mungkin tadi bibinya sedang sibuk pikirnya."Bibi Bai. Bibi Bai. Bibi Bai.""Ada apa Sari?" Sari lega, akhirnya Nyi Baisucen menjawab panggilannya. "Bibi bisa Bibi datang lagi? Ada yang hendak Sari bicarakan." "Bibi akan datang malam nanti. Klinik sedang ramai saat ini. Paman Hanif akan curiga." "Baik Bibi. Sari akan menunggu Bibi di taman kota." "Ya, Bibi akan menemuimu di sana." Sari mengakhiri panggilan telepatinya. Dia seg
Dua orang wanita cantik tampak sedang duduk berbincang di sebuah taman kecil yang ada di sebuah klinik pengobatan alternatif. Mereka adalah Nyi Baisucen dan Rosa. Sama dengan Sari, Rosa juga merasakan ada suatu kejanggalan dengan perbincangan mereka tadi malam. "Bi, katakan yang sejujurnya. Apa yang sedang Bibi sembunyikan? Kenapa Bibi bilang Sari adalah kemanakan Bibi? Bagaimana hal itu bisa terjadi, sementara Sari itu manusia sejati? Berbeda dengan Bibi." Rosa mencecar Nyi Baisucen dengan pertanyaan yang sejak tadi malam juga menggelayuti hatinya. Nyi Baisucen masih diam dengan pandangan lurus ke depan. Dia sedang memikirkan, bagaimana cara mengawali ceritanya pada Rosa."Kenapa Bibi diam? Apa ada yang sedang Bibi sembunyikan." Rosa menyelidik."Rosa, memang sudah seharusnya kau tau cerita ini. Sejak lama Bibi ingin menceritakan padamu, tapi Bibi tak bisa. Ayahmu melarang siapapun untuk menceritakan kebenaran ini padamu." "Apa maksud Bibi?" tanya Rosa dengan alis menaut. Nyi Bai
"Siapa yang datang pagi buta begini?" tanya Nyi Baisucen pada Sari, pandangannya tak lepas dari Honda HR V warna silver yang sedang parkir di pekarangan rumah Sari."Itu mobil Bang Hasan, Bi. Ada apa ya?" Sari pun bertanya-tanya. Hasan turun lebih dulu, baru disusul oleh Rosa. Nyi Baisucen terkesiap melihat keduanya. Matanya tak bisa berkedip sama sekali. "Siapa yang bersama dengan Hasan, Sari?" Dia bertanya, untuk memastikan dugaannya tak salah. "Itulah istri kedua Bang Hasan, Rosa namanya." Nyi Baisucen terperangah, tak percaya mendengar hal yang diungkapkan Sari. Nyi Baisucen terduduk lemas. 'Berarti, orang yang telah kudukung untuk menikahi Rosa adalah Hasan' batinnya.Penyesalan segera menyergap kalbu Nyi Baisucen. Kenapa dulu dia tak menyelidiki terlebih dahulu, siapa laki-laki yang dicintai Rosa? Sayangnya dia tak hadir pada saat Rosa menikah, hingga dia tak juga mengenal suami Rosa. Apalagi sudah sangat lama Rosa dan Nyi Baisucen tak lagi bertemu."Bibi!" Rosa sangat terk
Rosa langsung membawa Hasan ke rumah ayahnya, setelah sebelumnya memanipulasi penglihatan Hasan. Sehingga yang tampak di pandangan Hasan adalah sebuah rumah yang mewah juga megah, dengan banyak security yang berjaga di setiap sisinya, baik diluar maupun di dalam. Security itu langsung membuka pintu rumah tatkala melihat kehadiran Rosa beserta suaminya. Sampai di dalam Rosa berpapasan dengan Sanca yang melihatnya dengan sinis. "Mau apa kesini, tengah malam begini?" sinis Sanca. ''Aku mau bertemu Ayah." Rosa tak lagi memperdulikan Sanca, dia langsung berjalan melenggang tanpa peduli dengan tatapaan tak suka Sanca pada Hasan.Apalagi Rosa melihat wajah Hasan kian memerah karena suhu tubuhnya semakin meningkat. Rosa menggandeng tangan Hasan yang panas untuk mempercepat langkah kakinya. Tak dipedulikan rasa terbakar di telapak tangannya.Rosa langsung menuju ke kamar Tuan Anaconda, sempat dia juga berpapasan dengan Panglima Derik di depan pintu kamar Tuan Anaconda. Walaupun Panglima Der
Hasan merasa sangat gelisah malam ini, tubuhnya terasa panas. Dia senantiasa merasa kegerahan, hingga bajunya basah karena keringat. Berulang kali dia mengganti posisi tidurnya tapi tak membantu juga untuk mengurangi rasa gerah yang sedang menderanya. Rosa merasa tempat tidurnya terus berderit sejak tadi. Dia membuka matanya, lantas melihat suaminya yang tidur dengan gelisah. Alisnya menaut melihat suaminya yang bertingkah aneh."Kenapa Bang?" tanyanya pada suaminya, lantas duduk di atas ranjangnya.Dicepolnya asal rambutnya yang ikal mayang itu, hingga menampakkan dengan jelas lehernya yang jenjang."Gerah," jawab Hasan sambil mengipasi tubuhnya dengan baju sendiri. Rosa melihat ac di kamarnya, ac nya hidup. Tak ada masalah dengan itu. Gadis cantik itu bangkit, untuk memeriksa kondisi suaminya. "Astaga! Badan Abang panas sekali!" pekiknya ketika punggung tangannya ditempelkan ke dahi Hasan. Hasan duduk, dibukanya baju yang telah basah oleh keringat. Namun tak juga mengurangi rasa
Aina duduk di hadapan seorang laki-laki paruh baya yang penampilannya tampak biasa saja. Siapa yang sangka kalau orang yang berada di depannya itu adalah seorang Dukun yang dikenal cukup handal dalam memuaskan semua kliennya.Aina mengenalnya dari rekomendasi seorang rekannya yang sudah tau jam terbang si Dukun."Ini Ki, fotonya." Aina menyerahkan dua lembar foto ke tangan laki-laki itu. Laki-laki yang dipanggil Aki melihat foto itu dengan seksama. Tadinya dia duduk dengan santai sambil bersandar di sandaran sofanya. Tapi ketika melihat kedua foto itu, matanya membulat sempurna."Ada apa Ki?" tanya Aina yang melihat perubahan pada ekspresi Dukun itu. "Ini sulit dipercaya," gumam Dukun itu. "Kenapa emangnya Ki?" Aina semakin bingung melihat sikap Dukun itu. "Ini, siapa perempuan ini?" Dukun itu bertanya seraya menunjuk wajah Rosa."Dia istri kedua si Hasan, Ki. Orang yang mau saya hancurkan. Ini Ki." Aina menunjuk wajah Hasan dan Sari."Saya ingin menghancurkan keduanya Ki. Mereka