Share

11. RIZA: Dia Bukan Andina

Sulit untuk bisa berpikir jernih di situasi sekarang. Aku baru saja merasa begitu lega bahwa acara hari ini berjalan lancar. Bapak dan Ibu juga tampak begitu terharu selama prosesi tadi. Akhirnya, aku berhasil menikah. Semua kata-kata orang yang meragukan cintaku dan Andina itu salah. Aku membungkam mereka semua dengan langsung menunjukkan di depan mata mereka, lewat televisi dan media sosial, bahwa kami memang definisi cinta sejati. Tinggal tunggu sebulan, dan aku bisa menunjukkan pada mereka semua yang nyinyir bahwa hidupku baik-baik saja meski mereka mengutuk dan menyumpahiku yang buruk-buruk hanya karena iri.

Namun, begitu Andini—benarkah itu namanya? Aku tak fokus saat melihat kartu tanda pengenalnya tadi—mengatakan yang sesungguhnya, seperti ada sesuatu tak kasat mata yang menamparku. Membuang semua angan-angan dan kebahagiaan dalam sekejap.

Rasa syok membuatku linglung dan tidak bisa bicara apa-apa sepanjang perjalanan. Hanya bisa membodoh-bodohkan diri sendiri, kenapa tidak mengenali bahwa wanita di sebelahku bukan Andina? Dan kenapa Andina tidak memberitahuku bahwa ia punya kembaran? Lebih dari itu, bisa-bisanya selama ini media tidak pernah memberitakan hal ini? Apa Andina sengaja menyembunyikan itu?

Kemudian, mulai terputar kilas balik acara lamaran tadi di kepalaku.

Pantas saja.

Terbayang bagaimana wanita itu tidak mau kusentuh, menjauh ketika aku berusaha mendekatinya, menjawab dengan jawaban yang sangat-tidak-Andina, dan tidak banyak bicara. Secara fisik, ia sama persis dengan calon istriku. Bukan hanya aku yang tertipu, tapi semua kru tadi tidak ada yang menyadarinya. Namun, secara sikap, ia memang sangat berbeda.

Belum lagi bayangan ketika ia makan masakan padang di warung yang tak begitu mewah tadi. Ia pasti punya selera yang berbeda dengan Andina, makanya sangat menikmati itu. Aku menepis rasa kecewa bahwa mungkin Andina tidak akan memberi respons yang sama seperti itu kalau kuajak ke sana.

Di jalan, gadis itu menyandarkan diri di kaca mobil dan akhirnya tertidur. Aku sesekali mencuri pandang, mencoba mencari perbedaan fisiknya dengan Andina. Sulit sekali menemukannya karena memang tidak ada. Bentuk tubuhnya pun selangsing Andina. Tingginya juga sepertinya sama. Bedanya mungkin hanya gadis ini sudah berjilbab lebih dulu daripada kembarannya.

Aku menghela napas. Perjalanan dari Jakarta ke Bogor yang biasanya penuh canda tawa antara aku dan Andina, diseling dengan bergantian memindah saluran radio, kini menjadi sangat hening. Saat tiba di depan rumah megah di kawasan elite yang sudah sering kusambangi itu, Andini segera turun setelah sekali lagi meminta maaf.

Sebenarnya, aku agak kasihan dengan wajahnya yang tampak benar-benar merasa bersalah. Namun, karena perasaanku masih kacau, aku hanya bisa menatapnya tanpa bilang apa-apa. Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, pikiranku semakin berbelit.

Bagaimana cara menjelaskan ke Bapak dan Ibu mengenai tragedi ini? Kalau begitu, lamaran tadi tidak benar-benar dihadiri calon pengantin perempuan? Jadi, apa Andina benar-benar ingin membatalkan pernikahan?

“Insya Allah, Andina bersedia.” Ah, pantas saja ia menjawab begitu, karena sejatinya bukan ia yang memberi jawaban. Namun, sekarang jika dipikir lagi, jawaban itu tidak sepenuhnya bohong. Sesaat aku merasa terkesan dengan sikap Andini.

Aku mengeluarkan ponsel dari saku, meletakkannya di sandaran ponsel di dekat pendingin mobil. Sambil menyetir, aku membuka W******p dan melihat ruang chat-ku dengan Andina. Pesan-pesan terakhirku belum dibaca. Aku mencoba meneleponnya lagi, tapi tetap tidak ada jawaban.

Where the hell are you, Ndin?” Kuembuskan napas kasar, sementara kakiku menekan pedal gas lebih kencang untuk meningkatkan kecepatan.

Sampai di rumah, aku langsung mandi air dingin demi mendapatkan kesegaran. Amarah, kalut, dan sedih bercampur jadi satu dalam kepala. Pertanyaan “kenapa” terus berputar-putar.

Kenapa Andina tega melakukan ini padaku setelah dia tahu semua ceritaku?

Kenapa keluarga Andina harus menutupi ini dan malah menyuruh kembarannya berbohong?

Kenapa juga Andina tidak pernah menceritakan, setidaknya padaku jika memang tak mau media tahu, tentang kembarannya? Apa aku tidak sepenting itu baginya?

Usai mandi dan melaksanakan salat asar, aku menekuri ponsel, teringat bahwa tadi sebelum Andini turun, aku sempat meminta nomornya.

“Kalo kamu memang niat minta maaf, saya minta nomormu,” kataku padanya.

Ia menatap sejenak ponsel yang kusodorkan, sebelum memberikan nomor tanpa banyak tanya. Sekarang, aku menatap nama kontak ‘Andini’, menimbang beberapa kali sebelum mengirim pesan padanya.

Kalau memang Andina kabur, setidaknya aku harus tahu alasannya dan di mana keberadaannya kini. Dan, kalau pun ia menginginkan hubungan ini berakhir, aku juga ingin menyelesaikannya baik-baik.

***

“Kamu kenapa, Riz? Kok dari pulang tadi, Ibu lihat muka kamu keruh banget?” Pertanyaan Ibu mengembalikanku dari lamunan. Pikiranku porak poranda, lari ke mana-mana. Pekerjaan yang masih menumpuk harus dikerjakan kembali mulai besok, tapi urusan dengan Andina belum ketemu titik terang.

Aku menatap Ibu, kemudian berpindah ke Bapak yang tengah mengunyah makanan. Ia menaikkan alis, pertanda memiliki pertanyaan yang sama.

“Ndak ada apa-apa, Pak, Bu. Cuma lagi mikir kerjaan,” sahutku.

Ibu meneguk air putih, kemudian kembali mengamati wajahku. Ia tidak mudah percaya. “Ngapain kerjaan dipikir? Biasanya juga kamu have fun aja. Kamu itu kerja rasa main.”

Mau tak mau, aku tertawa melihat gestur Ibu. Teringat dulu Bapak selalu ngomel-ngomel kalau aku hanya sibuk main di depan komputer dan ponsel. Sekalinya keluar rumah nggak pulang-pulang, bahkan sampai menginap di rumah teman segala. Namun, sebenarnya saat itu aku tengah memperjuangkan banyak hal, mencoba berbagai bidang baru. Mulai dari modelling, akting, belajar fotografi, sampai menulis lagu segala.

Sampai dari semua itu, aku bisa menekuni modelling dan pengembangan sosial media. Istilahnya sekarang adalah influencer. Sejak itu, aku mulai menemukan angin segar untuk karierku. Mulai berdatangan tawaran untuk mempromosikan barang maupun jasa dari brand kecil, lalu merambat ke brand-brand besar.

“Ya, capek aja Bu, abis lamaran kayak gitu, masih harus kerja lagi.” Aku mencoba menenangkan Ibu, tersenyum lebih lebar.

Bapak manggut-manggut. “Memang calon istri ko tuh, yang bikin ribet. Nikah sederhana saja Bapak bilang, tapi dia tak mau.”

Ibu membela, “Ya jangan sampe nikahnya sama sederhana kayak kita, Pak. Kan itu momen sekali seumur hidup. Walau itu agak terlalu mewah, tapi yang penting Andina seneng.” Dari awal bertemu, Ibu sangat respek dengan Andina. Ia menyayangi gadis itu seperti putrinya sendiri.

“Semua perempuan memang sama saja. Tak Andina, tak ibumu. Kita yang harus sabar-sabar, Riz.” Bapak mengerling padaku, tapi lantas mengaduh saat Ibu mencubit lengannya. “Bercanda, Ros.” Ia nyengir pada Ibu. Meski tampangnya garang, hati Bapak seperti Hello Kitty. Lembut, apalagi kalau sudah sama Ibu, tapi memang jarang menyatakan cinta langsung lewat kata-kata.

Aku hanya tersenyum tipis, lalu melanjutkan makan dengan cepat. Biarpun terasa hambar di lidah, tetap aku harus habiskan agar Ibu tidak khawatir. Setelah makan, aku membalas beberapa pesan dari manajer mengenai jadwal kerjaku besok. Ada beberapa pemotretan dan pengambilan video untuk promosi produk. Jadwal yang mulanya kutunda karena persiapan lamaran, sekarang menerjang bagai air bah. Belum lagi beberapa brand yang mensponsori pernikahanku juga akan meminta imbal balik.

Satu pesan terakhir dari manajer membuatku tercenung.

Gusti (Manajer)

Jangan lupa, lusa ada promo yang bareng Andina. Ingetin dia juga, kali aja lupa

Sontak dadaku berdebar. Bagaimana ini? Aku benar-benar lupa kalau ada beberapa tawaran promosi yang sempat masuk dan memintaku membawa Andina ikut serta. Jempolku otomatis memencet panggilan lagi ke gadis itu, tapi masih sama. Belum ada jawaban, masih di luar jangkauan.

Akhirnya, aku hanya bisa merebahkan tubuh ke kasur. Apa aku harus jujur saja? Namun, jemariku yang masih menggulir layar ponsel, mendapati beberapa notifikasi dari trending Twitter dan I*******m. Betapa banyak yang memberikan selamat pada kami. Foto-foto lamaran hari ini membanjiri beranda, belum lagi berbagai potongan video yang memenuhi TikTok dan Reels I*******m. Akan jadi bencana kalau sampai orang-orang tahu.

Belum usai pusing memikirkan ini, tiba-tiba ponselku berdering. Nama ‘Papa Mertua’ muncul di layar, membuatku spontan duduk kembali, menggeser tombol hijau untuk mengangkat panggilan tersebut.

“Assalamualaikum, Pa,” sapaku, sementara pikiranku bingung bagaimana harus bersikap di hadapan calon mertua. Lebih bingung daripada hari aku melamar Andina langsung di hadapannya.

“Waalaikumsalam. Riza, Papa langsung saja. Papa minta maaf untuk hari ini. Andina benar-benar mengecewakan Papa.”

Mendengarnya, aku merasa seperti dijatuhi bom. Benar pengakuan Andini, semua ini jelas bukan keinginannya semata. Ini suruhan orang tuanya. Saking kagetnya, aku benar-benar tak merespons apa-apa pada perkataannya.

Dengan suara tenang, Papa melanjutkan, “Tapi kamu tenang saja. Papa akan segera temukan Andina. Sementara ini, semua pekerjaan Andina biar di-handle Andini. Mereka kembar.”

Apa? Kupingku tidak salah dengar, kan? Aku tak habis pikir mendengarnya. Dan, kenapa pula suara lelaki di seberang ini terdengar sangat tenang, seolah tak terjadi sesuatu yang serius? Ini benar-benar aneh.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status