Itu bukan ucapan yang jelas mengiyakan. Aku ingin Riza menjawab, “Iya, ini yang terakhir. Kamu nggak perlu ikut campur apa-apa lagi setelah ini.” Namun, aku juga tahu setelah tiga hari ini bersama dengannya, ia orang yang jujur. Kalau ia mengatakan kebohongan hanya untuk menghiburku pun, aku juga tidak akan suka. Jadi, aku menghargai usahanya dan menguatkan hati.
Pagi tadi, Mama berpesan untuk mengabari kalau ada apa-apa terkait Andina. Jadi, dalam perjalanan pulang ke Bandung—Riza lagi-lagi bersikeras mengantarku—aku menghubungi Mama.
“Dini? Mama sudah lihat beritanya. Papa tadi juga telepon, kedengarannya agak marah karena Andina belum bisa juga dihubungi.” Mama langsung menyahut tanpa menungguku bicara lebih dulu. Nada suara panik sekaligus bingung.
“Papa udah nemu lokasi akuratnya Kak Dina?”
Kulirik Riza yang tengah menoleh padaku.
“Katanya sudah coba ke beberapa vila dan cottag
“Aduuh, diem dong! Berisik banget sih, dasar anak nggak berguna!” gerutuku kesal melihat bayi dalam gendonganku yang terus saja menangis. Sejak hari kelahirannya, aku sama sekali tidak tenang.Pertama, Radian yang seharusnya bersikap sebagai ayah yang baik, justru tidak datang waktu persalinan dan baru menampakkan batang hidung saat aku pulang dari rumah sakit. Untunglah aku tidak harus dioperasi. Sebab ia sama sekali tidak membantuku mengurus bayi baru lahir itu, sedangkan perawat bayi yang dibayarnya tidak bisa menginap, sehingga sore hari sampai pagi aku harus mengurus bayi itu sendirian. Keluarga kami tinggal di rumah yang berbeda, apalagi keluargaku yang memang beda kota.Aku membetulkan tali gendongan, kemudian mengikat cepol rambut. Usai itu, aku beranjak menuju rak dapur untuk mengambil dot dan membersihkannya. Masalah kedua adalah ASI-ku jadi macet sejak Radian tidak pulang sama sekali sampai sekarang. Kalau tidak salah, ia hanya melihat bayi ini d
WARNING: Part ini mengandung konten sensitif yang hanya diperuntukkan pembaca berusia 18 tahun ke atas. Diharapkan kebijakan dari pembaca.“Gimana? Cantik nggak?” Ini sudah ketiga kalinya aku berganti outfit. Yang pertama aku merasa tidak cocok, yang kedua Radian yang tidak cocok.Lelaki yang duduk di sofa depan ruang pas itu terlihat mengamati sejenak, kemudian menggeleng. “Terlalu … macho. Yang agak girly dikit, lah, Din. Jangan terlalu panjang, dan kalo bisa rok.”Aku menghela napas. Seorang pegawai wanita yang melayani kami sebagai tamu VVIP menunjukkan lagi beberapa kapstok berisi pakaian dengan beragam warna. Mulai dari yang mencolok hingga yang lembut. Warna-warna cerah seperti pastel, baby pink, blue sea, sampai warna gelap seperti dark blue, gray, dan hitam pekat dipadu cokelat tua.“Sebenarnya Mbak Andina cantik pakai apa saja,”
“Ko dah yakin kan, sama dia?” tanya Bapak sekali lagi padaku. Sepertinya itu pertanyaan ketiga sejak kali pertama aku mengenalkan perempuan yang sudah kubelikan cincin dan hendak kulamar hari ini.Aku tertawa menanggapinya. Bukan karena pernyataannya lucu, tapi karena bapakku yang berdarah Batak itu sudah mengenakan baju adat, begitu pula aku, dan kami sedang didandani di depan cermin besar yang tersedia di ruang rias tempat kami akan segera melaksanakan prosesi lamaran, ketika beliau menyatakan itu.“Jangan banyak ketawa ko, Bapak serius ni.” Kini wajahnya dibuat seolah bersungut-sungut, padahal aku tahu sebenarnya ia hanya sedang sangat gugup. Aku bisa menebak dari jemarinya yang terus ditautkan sedari tadi, ditambah sikap tubuhnya yang tak bisa tenang, padahal Bapak biasanya selalu tegas dan berwibawa. Jarang melihatnya canggung berhadapan dengan apa pun. Mungkin darah Batak yang kental itu penyebabnya. Paling-paling ia hanya canggung kalau d
Ini semua tidak akan terjadi seandainya aku pulang bersama Riza tadi malam. Biasanya dia akan mengantarku sampai rumah, mencium keningku, lalu menyetir pulang ke apartemennya. Bahkan meski itu jauh, dari Jakarta ke Bogor. Jelas saja, karena aku masih tinggal dengan keluargaku di Bogor walau seluruh aktivitas keartisanku dilakukan di ibu kota. Sedangkan ia meski memiliki rumah keluarga di Jakarta Selatan, memilih lebih dekat dengan kantor manajemennya di Jakarta Pusat. Namun, semalam, ia menyuruhku pulang lebih dulu karena persiapan acara tidak juga selesai.Aku sudah berkata, “Nggak papa, aku seneng bisa lihat persiapannya sampai selesai.”Namun, seperti kebiasaan Riza, ia akan menggeleng dengan tatapan lembut. “Nanti kamu kecapean. Keburu ndak ada kereta juga nanti. Aku ndak yakin kuat nyetirin kalo terlalu malam. Mungkin nanti aku panggil sopir.”Aku menghargai kekhawatiran di sorot matanya, sehingga menurut. Lagi pula, hampir delapan p
“Diniii! Ayo berangkat! Kamu jangan lama-lama dandannya, nanti di sana juga didandanin lagi, kok!”Teriakan Mama membuatku buru-buru mengenakan wedges dan keluar kamar. “Aku nggak dandan, Ma. Cuma ribet pake bajunya, nggak biasa,” sahutku sambil berjalan mendekati Mama.Kulihat, ia sudah tampil dengan paripurna, mengenakan kebaya berwarna hijau yang merupakan seragam khusus untuk keluarga yang akan datang ke pernikahan Kak Andina. Aku merapikan lagi kebayaku yang sama dengan Mama, hanya berukuran lebih kecil dan tidak terlalu banyak payetnya. Aku tidak suka sesuatu yang berkilauan memenuhi diriku, terutama karena aku harus menjaga diri dengan jilbab yang kukenakan.“Oh ya, Ma, Kak Andina beneran jadi berjilbab ya?” tanyaku ketika kami sudah di dalam mobil.Meski ibuku itu sudah berusia lima puluh lebih, tapi ia masih lebih suka menyetir ketimbang diam di sebelah sopir. Jadi, setiap kami bersama, aku mengalah me
Sembilan bulan yang lalu, aku meninggalkan Andina untuk menikah dengan seorang gadis yang belum lama kukenal. Dia adalah Rere, anak teman mamaku yang beberapa kali minta tolong padaku untuk mengantarnya ke sana-sini. Cewek itu bukan tipe idealku sama sekali. Badannya memang bagus, seperti gitar spanyol kata para lelaki, tapi sikapnya terlalu manja. Sangat anak mama. Tidak punya keahlian apa-apa selain merengek, dan tidak punya mimpi lain selain menikah dengan lelaki kaya. Jadi, sejak awal Mama memperkenalkannya padaku, aku tidak tertarik, apalagi sejak aku memiliki Andina.Dina, panggilan akrabnya, sangat mandiri dan pekerja keras. Ia memiliki banyak impian dan selalu semangat mewujudkannya. Kalau ia tengah bercerita tentang mimpi-mimpinya, aku selalu terpukau dengan binar di mata serta tekad di dalam suaranya. Seperti ketika akhirnya Dina bisa meraih juara satu di kompetisi menyanyi nasional yang diadakan televisi, ia memang dengan gigih berusaha meraih mimpinya. Pelan tapi
Baru saja aku akan buka mulut untuk menjawab omongan Riza, pintu kembali terbuka dan orang-orang yang tidak kukenal berbondong-bondong masuk. Salah satunya cewek berambut mengombak tadi, disusul wanita berhijab yang tampak dewasa, dan ada satu laki-laki yang berjalan dengan gemulai.“Nggak ada banyak waktu lagi, Za. Harus mulai make up sekarang. Lo juga keliatan kacau gini, touch up lagi ya, di ruang sebelah.” Cewek itu mulai bicara. Riza langsung berdiri, mengangguk setuju. Ia sempat menoleh padaku, memberiku tatapan hangat, lantas berlalu menuju pintu.“Mbak, aku ….” Lagi-lagi ucapanku terpotong dengan suara derap langkah seseorang yang masuk ruangan. Aku menoleh untuk mendapati Papa menatapku serius.“Saya mau bicara berdua dulu dengan anak saya,” kata Papa. Matanya sempat berganti menatap orang-orang di situ yang kuduga adalah stylist dan make up artist yang sudah disewa oleh Dini
“Gimana kalau kamu berjilbab, Say?” Aku mencoba mendapatkan atensinya saat ia tengah sibuk mengambil selfie di kafe tempat kami berkunjung. Itu kafe yang mengundangnya untuk urusan endorsement, jadi sejak tadi ia berkutat mencari angle yang bagus untuk mengambil foto.Saat mendengar tawaranku, ia langsung menoleh dengan wajah seperti tak percaya. “Apa? Jilbab?” Ia mengulang, seolah khawatir salah dengar.Aku mengambil alih ponselnya, menunjuk salah satu sudut, lantas memotretnya. Saat kutunjukkan hasilnya, ia melonjak senang. “Kalo kamu yang foto, selalu cantik! Makasih, ya, Za.”“Itu maksudku,” sahutku, “akan lebih cantik lagi kalau kamu berjilbab.”Ia mengerutkan kening. “Kamu tahu kan, Za, karierku lagi tinggi-tingginya ….”Aku angkat bahu. “Bukannya kamu dulu juga berjilbab, waktu masih sekolah? Justru sekarang, kamu udah punya banyak