Dia yang Menghilang di Hari Lamaran

Dia yang Menghilang di Hari Lamaran

By:  Niswahikmah  Ongoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
2 ratings
22Chapters
2.9Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Di malam hari sebelum lamarannya dilangsungkan, Andina bertemu mantan kekasihnya, Radian, dan secara impulsif memutuskan kabur bersama ke Lombok karena terbawa suasana nostalgia. Hari lamaran itu nyaris kacau. Untung saja Andini, kembarannya, hadir dan terpaksa menjadi calon pengantin pengganti untuk menyelamatkan nama baik Andina sebagai penyanyi top ibu kota yang akan menikah dengan selebgram ternama, yaitu Riza. Namun, bagaimana nasib Andini jika sang kembaran tak juga kembali? Haruskah ia terus menyamar dan membohongi publik?

View More
Dia yang Menghilang di Hari Lamaran Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
user avatar
Pie
Nice story .........
2021-10-07 16:54:45
0
user avatar
Niswahikmah
Seru banget
2021-08-14 08:56:21
1
22 Chapters
1. RIZA: Hari Lamaran
“Ko dah yakin kan, sama dia?” tanya Bapak sekali lagi padaku. Sepertinya itu pertanyaan ketiga sejak kali pertama aku mengenalkan perempuan yang sudah kubelikan cincin dan hendak kulamar hari ini.Aku tertawa menanggapinya. Bukan karena pernyataannya lucu, tapi karena bapakku yang berdarah Batak itu sudah mengenakan baju adat, begitu pula aku, dan kami sedang didandani di depan cermin besar yang tersedia di ruang rias tempat kami akan segera melaksanakan prosesi lamaran, ketika beliau menyatakan itu.“Jangan banyak ketawa ko, Bapak serius ni.” Kini wajahnya dibuat seolah bersungut-sungut, padahal aku tahu sebenarnya ia hanya sedang sangat gugup. Aku bisa menebak dari jemarinya yang terus ditautkan sedari tadi, ditambah sikap tubuhnya yang tak bisa tenang, padahal Bapak biasanya selalu tegas dan berwibawa. Jarang melihatnya canggung berhadapan dengan apa pun. Mungkin darah Batak yang kental itu penyebabnya. Paling-paling ia hanya canggung kalau d
Read more
2. ANDINA: Keputusan Impulsif
Ini semua tidak akan terjadi seandainya aku pulang bersama Riza tadi malam. Biasanya dia akan mengantarku sampai rumah, mencium keningku, lalu menyetir pulang ke apartemennya. Bahkan meski itu jauh, dari Jakarta ke Bogor. Jelas saja, karena aku masih tinggal dengan keluargaku di Bogor walau seluruh aktivitas keartisanku dilakukan di ibu kota. Sedangkan ia meski memiliki rumah keluarga di Jakarta Selatan, memilih lebih dekat dengan kantor manajemennya di Jakarta Pusat. Namun, semalam, ia menyuruhku pulang lebih dulu karena persiapan acara tidak juga selesai.Aku sudah berkata, “Nggak papa, aku seneng bisa lihat persiapannya sampai selesai.”Namun, seperti kebiasaan Riza, ia akan menggeleng dengan tatapan lembut. “Nanti kamu kecapean. Keburu ndak ada kereta juga nanti. Aku ndak yakin kuat nyetirin kalo terlalu malam. Mungkin nanti aku panggil sopir.”Aku menghargai kekhawatiran di sorot matanya, sehingga menurut. Lagi pula, hampir delapan p
Read more
3. ANDINI: Kembaranmu
“Diniii! Ayo berangkat! Kamu jangan lama-lama dandannya, nanti di sana juga didandanin lagi, kok!”Teriakan Mama membuatku buru-buru mengenakan wedges dan keluar kamar. “Aku nggak dandan, Ma. Cuma ribet pake bajunya, nggak biasa,” sahutku sambil berjalan mendekati Mama.Kulihat, ia sudah tampil dengan paripurna, mengenakan kebaya berwarna hijau yang merupakan seragam khusus untuk keluarga yang akan datang ke pernikahan Kak Andina. Aku merapikan lagi kebayaku yang sama dengan Mama, hanya berukuran lebih kecil dan tidak terlalu banyak payetnya. Aku tidak suka sesuatu yang berkilauan memenuhi diriku, terutama karena aku harus menjaga diri dengan jilbab yang kukenakan.“Oh ya, Ma, Kak Andina beneran jadi berjilbab ya?” tanyaku ketika kami sudah di dalam mobil.Meski ibuku itu sudah berusia lima puluh lebih, tapi ia masih lebih suka menyetir ketimbang diam di sebelah sopir. Jadi, setiap kami bersama, aku mengalah me
Read more
4. RADIAN: Kabur ke Lombok
Sembilan bulan yang lalu, aku meninggalkan Andina untuk menikah dengan seorang gadis yang belum lama kukenal. Dia adalah Rere, anak teman mamaku yang beberapa kali minta tolong padaku untuk mengantarnya ke sana-sini. Cewek itu bukan tipe idealku sama sekali. Badannya memang bagus, seperti gitar spanyol kata para lelaki, tapi sikapnya terlalu manja. Sangat anak mama. Tidak punya keahlian apa-apa selain merengek, dan tidak punya mimpi lain selain menikah dengan lelaki kaya. Jadi, sejak awal Mama memperkenalkannya padaku, aku tidak tertarik, apalagi sejak aku memiliki Andina.Dina, panggilan akrabnya, sangat mandiri dan pekerja keras. Ia memiliki banyak impian dan selalu semangat mewujudkannya. Kalau ia tengah bercerita tentang mimpi-mimpinya, aku selalu terpukau dengan binar di mata serta tekad di dalam suaranya. Seperti ketika akhirnya Dina bisa meraih juara satu di kompetisi menyanyi nasional yang diadakan televisi, ia memang dengan gigih berusaha meraih mimpinya. Pelan tapi
Read more
5. ANDINI: Penyamaran
Baru saja aku akan buka mulut untuk menjawab omongan Riza, pintu kembali terbuka dan orang-orang yang tidak kukenal berbondong-bondong masuk. Salah satunya cewek berambut mengombak tadi, disusul wanita berhijab yang tampak dewasa, dan ada satu laki-laki yang berjalan dengan gemulai.“Nggak ada banyak waktu lagi, Za. Harus mulai make up sekarang. Lo juga keliatan kacau gini, touch up lagi ya, di ruang sebelah.” Cewek itu mulai bicara. Riza langsung berdiri, mengangguk setuju. Ia sempat menoleh padaku, memberiku tatapan hangat, lantas berlalu menuju pintu.“Mbak, aku ….” Lagi-lagi ucapanku terpotong dengan suara derap langkah seseorang yang masuk ruangan. Aku menoleh untuk mendapati Papa menatapku serius.“Saya mau bicara berdua dulu dengan anak saya,” kata Papa. Matanya sempat berganti menatap orang-orang di situ yang kuduga adalah stylist dan make up artist yang sudah disewa oleh Dini
Read more
6. RIZA: Sikap yang Berbeda
“Gimana kalau kamu berjilbab, Say?” Aku mencoba mendapatkan atensinya saat ia tengah sibuk mengambil selfie di kafe tempat kami berkunjung. Itu kafe yang mengundangnya untuk urusan endorsement, jadi sejak tadi ia berkutat mencari angle yang bagus untuk mengambil foto.Saat mendengar tawaranku, ia langsung menoleh dengan wajah seperti tak percaya. “Apa? Jilbab?” Ia mengulang, seolah khawatir salah dengar.Aku mengambil alih ponselnya, menunjuk salah satu sudut, lantas memotretnya. Saat kutunjukkan hasilnya, ia melonjak senang. “Kalo kamu yang foto, selalu cantik! Makasih, ya, Za.”“Itu maksudku,” sahutku, “akan lebih cantik lagi kalau kamu berjilbab.”Ia mengerutkan kening. “Kamu tahu kan, Za, karierku lagi tinggi-tingginya ….”Aku angkat bahu. “Bukannya kamu dulu juga berjilbab, waktu masih sekolah? Justru sekarang, kamu udah punya banyak
Read more
7. ANDINA: To Do List
Ini keputusan paling nekatku seumur hidup. Mungkin kalian akan bilang aku bodoh, menyia-nyiakan sebuah pernikahan yang sudah ada di ambang mata hanya demi mengejar ekstase semu, tapi … ingat, kalian bukan aku, dan tak pernah tahu rasanya jadi aku.Sebulan sebelum hari lamaran, persiapan pernikahan mencapai lima puluh persen. Aku tidak berhenti mendapatkan teror melalui media sosial, mulai dari orang yang kenal sampai yang tak pernah bertemu sama sekali.Riza itu playboy, ngapain mau sama dia?Yakin mau nikah sama Riza? Dulunya tukang bully di sekolahAh, panjat sosial aja sih? Nikah demi uang?Nggak bakal langgeng! Gue sumpahin cerai!Isi direct message di Instagram dan Twitter-ku seperti itu. Setiap aku ingin mengunggah sesuatu, jika terpencet ke kotak masuk, amarahku langsung mendidih. Terakhir, aku membanting ponsel sampai pecah karena membaca komentar kasar saat sedang
Read more
8. ANDINI: Memilih Jujur
“Ada bocoran mengenai tanggal pernikahan?”Riza di sebelahku menggeleng. “Itu masih kami rahasiakan. Yang pasti, tidak lama lagi.”Para wartawan semakin semangat mengajukan pertanyaan. Sementara aku juga semakin tidak nyaman. Khawatir penyamaran ini ketahuan karena aku kesulitan mengatur mimik muka. Akhirnya, dengan terpaksa, tanganku memberikan kode ke Riza, meremas lengan bawahnya yang harus kugandeng sedari tadi.Ia menoleh padaku dengan alis menukik, dan aku hanya bisa mengerjap beberapa kali, berharap ia paham maksudku—sekalipun aku bukanlah calon istrinya. Tak lama, ia kembali fokus ke kamera dan … syukurlah, ia memahami maksudku.“Maaf ya Mas, Mbak, kita ngobrol-ngobrol lagi nanti. Saya dan Dina capek banget, perlu istirahat,” ujarnya luwes. Nada suaranya lembut, tapi mendominasi dan mengontrol. Ada kekuatan khas di dalamnya, yang membuat sebagian besar wartawan itu memutuskan mundur. Hanya beberapa
Read more
9. RADIAN: Mempertahankan Jodoh
WARNING: Mengandung konten sensitif, hanya untuk usia 18 tahun ke atas. Dimohon kebijakan dari pembaca.***“Din, aku udah masakin omelet nih. Ayo bangun,” aku melangkah masuk ke kamar Andina setelah mengetuk dua kali. Kebetulan pintunya tidak ditutup rapat, sehingga aku yakin ia sedang tidak berganti baju atau melakukan sesuatu yang privat.Saat aku masuk, jantungku mencelus melihatnya tengah merapikan barang-barang yang semula tertata di meja. Ia bahkan mengeluarkan kembali pakaian yang sudah dikapstok di lemari.“Din … kamu mau ke mana?”Otomatis ia menoleh. Sekilas kulihat bahunya berjengit mendengar suaraku, seolah ia tengah mengendap-endap akan kabur dari sini. Matanya menatapku sejenak, kemudian kembali mengemasi kosmetik yang berjajar di meja rias.“Aku harus balik ke Jakarta, Rad. Ini nggak bener. Aku nggak harusnya pergi.”Aku mendelik. Secepat ini
Read more
10. ANDINI: Masalah Belum Selesai
Pintu rumah itu megah sekaligus asing di mataku. Berapa lama sejak aku terakhir menginjakkan kaki di rumah Papa? Dalam setahun, mungkin bisa dihitung jari aku mengunjunginya. Selain karena ia selalu sibuk dengan urusan perusahaan, aku juga tidak merasa dekat untuk sering-sering datang. Dari Bandung ke Bogor tidak jauh, tapi bagiku, terasa seperti ujung dunia. Aku hanya enggan untuk terlalu banyak ikut campur dengan hidup orang yang telah menggoreskan luka di hati Mama.Jadi, ketika aku harus berjalan sendirian dari gerbang depan tadi, sudah kelima kalinya aku berpikir untuk kembali dan memesan taksi online untuk pergi ke stasiun, lalu pulang ke Bandung. Aku bahkan sudah mengetik chat ke Mama, bertanya posisinya di mana. Kalau ia masih belum jauh, aku bisa minta dijemput saja. Namun, mungkin Mama sudah sampai rumah, atau entahlah. Riza tidak mengebut, tapi juga tidak pelan dalam menyetir. Sisa perjalanan aku terpaksa pura-pura tidur karena enggan diinterogasi
Read more
DMCA.com Protection Status