Pintu rumah itu megah sekaligus asing di mataku. Berapa lama sejak aku terakhir menginjakkan kaki di rumah Papa? Dalam setahun, mungkin bisa dihitung jari aku mengunjunginya. Selain karena ia selalu sibuk dengan urusan perusahaan, aku juga tidak merasa dekat untuk sering-sering datang. Dari Bandung ke Bogor tidak jauh, tapi bagiku, terasa seperti ujung dunia. Aku hanya enggan untuk terlalu banyak ikut campur dengan hidup orang yang telah menggoreskan luka di hati Mama.
Jadi, ketika aku harus berjalan sendirian dari gerbang depan tadi, sudah kelima kalinya aku berpikir untuk kembali dan memesan taksi online untuk pergi ke stasiun, lalu pulang ke Bandung. Aku bahkan sudah mengetik chat ke Mama, bertanya posisinya di mana. Kalau ia masih belum jauh, aku bisa minta dijemput saja. Namun, mungkin Mama sudah sampai rumah, atau entahlah. Riza tidak mengebut, tapi juga tidak pelan dalam menyetir. Sisa perjalanan aku terpaksa pura-pura tidur karena enggan diinterogasi.
“Kamu masuk dulu. Nanti aku mampir lagi kalau pikiranku udah jernih,” katanya saat meninggalkanku tadi. Senyumnya sama sekali tidak diperlihatkan lagi di hadapanku.
Ingin aku mengucap “maaf” berkali-kali, tapi itu akan membuatnya lebih tak nyaman. Jadi, aku hanya bisa berkata, “Sekali lagi, aku minta maaf, Kak.” sebelum keluar dari mobil.
Riza sempat menurunkan kaca mobil, menatapku beberapa saat, sebelum kembali menutupnya dan pergi. Dan, di sinilah aku sekarang, menunduk mengamati ujung wedges-ku yang menampakkan kaki dibalut kaos.
Setelah berpikir berkali-kali, aku menekan bel di sisi kanan pintu. Dari dalam, terdengar suara langkah kaki, lalu pintu dengan dua belahan itu terbuka. Saat mendongak, aku agak kaget melihat yang keluar bukanlah pembantu maupun Papa.
“Ma-Mama kok … di sini?” Aku menengok ke pelataran, baru sadar mobil berwarna hitam metalik itu terparkir di sana. Terlalu banyak berpikir membuatku tidak memperhatikan sekitar.
Mama tersenyum. “Nunggu kamu, lah. Kita makan dulu, salat, terus pulang ke Bandung, ya.”
Aku mengangkat pergelangan tangan, memeriksa arloji yang melingkar di sana. Sudah pukul dua siang. “Aku masih kenyang, Ma. Tadi makan sama Kak Riza.”
“Kak?” Mama menyipitkan mata. “Kamu nggak bilang apa-apa—”
“Aku udah bilang,” aku memotong ucapannya karena tak tahan lagi. Sejak tadi, pikiran bahwa aku akan dimarahi habis-habisan oleh Papa akibat sikap impulsifku ini mengganggu sekali.
Mama membulatkan mata, terkejut. “Andini, kamu kan bisa minta pendapat Mama dulu.”
“Mama nggak pernah ngajarin aku bohong dari kecil,” sahutku cepat. Kenapa tiba-tiba Mama berubah begini?
“Tapi ini bohong demi kebaikan. Kamu tahu kan, papamu selalu mementingkan nama baiknya? Mama nggak mau semuanya berantakan dan dia nyalahin kamu sama Andina.” Mama menyentuh lenganku, gesturnya bila ingin aku memahami maksud ucapannya.
Aku menggeleng. “Acaranya udah selesai. Tanggung jawabku juga selesai. Ayo kita pulang, Ma.” Kugenggam tangan Mama yang bebas, menggoyangnya agar segera keluar dari sini. Rumah mewah ini bukan milik kami, bukan gaya kehidupan kami. Papa baru membelinya setelah bercerai, jadi secara otomatis rumah itu bukan tempat yang biasa kami huni.
Sebelum Mama menyahut, suara bariton itu menyela. “Nggak akan ada yang ke mana-mana sebelum Andina ketemu.” Dari dalam, aku bisa melihat Papa mendekat dan akhirnya tiba di sebelah Mama.
“Kamu tadi bilang apa sama mamamu?” tanya Papa kemudian, mengarahkan netranya padaku. Sikapnya yang selalu memerintah itu sangat mirip dengan Andina.
Aku merasakan jantungku berdegup cepat. Ia tidak dengar, tapi percuma. Riza sudah tahu. Cepat atau lambat ia akan membahas ini dengan calon mertua, yaitu Papa dan Mama. Aku tidak bisa menutupi apa-apa. Lagi pula, aku enggan terseret dalam masalah yang disebabkan Andina. Kembaran yang bahkan berusaha menyingkirkanku dari hidupnya.
“Aku udah bilang semuanya sama Kak Riza. Aku nggak mau pura-pura lagi,” jawabku dengan suara lirih. Meski aku tahu Papa melotot, aku tetap memindah pandangan pada Mama, memohon, “Ayo pulang sekarang, Ma. Aku masih ada target kerjaan.”
Bohong. Aku libur hari ini dan kantor kecilku tahu kalau kembaranku akan menikah. Tak tahu bagaimana aku bisa menghadapi mereka nanti. Jangan-jangan mereka sadar kalau yang di layar itu bukan Andina, melainkan aku?
Ketika Mama baru akan bicara, Papa langsung menyentak. “Kamu dengar Papa? Nggak ada yang akan pergi sebelum Andina ketemu!” Seruannya membuat Mama terlonjak. Wajahnya berubah pias.
Aku sontak menoleh pada Papa, menentang matanya. “Kita bisa cari dia dari rumah masing-masing.”
“Nggak boleh ada media yang tahu kalau dia kabur. Dan untuk itu, kamu harus tinggal di sini sementara,” sahut Papa tegas. Bukan tawaran, bukan pertanyaan, tapi perintah.
Aku menggigit bibirku dari dalam. Apa-apaan ini? Aku ingin membantah perintah itu saat ini juga, mengatakan bahwa itu salah Papa sendiri kenapa bisa Andina sampai kabur. Aku ingin bilang bahwa sekarang aku sudah dewasa dan tak bisa disuruh-suruh seenaknya, aku juga punya kewajiban di Bandung dan tidak bisa ditinggal. Namun, saat tangan Mama meremas lenganku lagi, dan kepalanya menggeleng pelan dengan pandangan lembut, aku kehilangan semua keberanian yang bahkan baru aku coba susun.
“Memang orang suruhan Papa belum dapat info dia di mana?” tanyaku kemudian.
“Sinyal hapenya sempat tertangkap, IP-nya menunjukkan dia ada di Lombok, NTB.” Papa tidak memandangku lagi saat bicara kini. “Sebenarnya apa yang dipikirkan anak itu? Nggak pernah dia gegabah begini sebelumnya.”
Ia mengambil ponsel dari saku, tampak membaca sesuatu dari sana, lalu menghela napas kasar. “Kalian masuk dulu. Jangan berdiri di pintu begini. Papa mau telepon Riza. Dia harus bisa diajak kerja sama biar info ini nggak bocor ke media.” Lalu pria bertubuh tinggi besar itu berlalu ke dalam, meninggalkanku dan Mama.
Kami saling tatap, lalu aku memutuskan mengikuti langkah Mama untuk masuk. Dengan rikuh, aku duduk di ruang tamu yang dilengkapi sofa super empuk, televisi tempel 29 inci, dan meja tamu yang tampak mengilat. Mama menutup pintu dan menyusul duduk di sebelahku.
“Kita ikutin dulu aja, Dini. Mama juga cemas karena Dina sekarang hapenya mati.” Mama mengulurkan tangan, menepuk permukaan tanganku yang tergeletak di atas paha.
Aku menyandarkan tubuh ke sofa, mengembuskan napas lelah. Otot maupun pikiranku bekerja keras hari ini. Aku merasa lebih lelah daripada harus bekerja lembur untuk menyelesaikan naskah konten yang akan diunggah dalam seminggu penuh.
“Mama kenapa masih kayak gitu di depan Papa?” sahutku seraya memejamkan mata. Ruangan ini dingin. Aku membuka mata dan menemukan pendingin ruangan di pojok atas dekat pintu. Aroma green tea menguar dari pewangi yang menempel tak jauh dari situ.
“Maksudmu?”
“Mama kenapa masih nggak berani jawab Papa? Mama bukan istri Papa lagi, jadi jangan takut, Ma.” Aku menoleh, mempertemukan mata kami. Tanganku balik meremas jemarinya.
Wanita itu menunduk, tidak bisa kudeskripsikan ekspresinya saat ini. Antara bingung, sedih, dan cemas. Tak tahu yang mana yang lebih dominan dirasakannya.
“Bukan itu masalah yang harus dipikirkan sekarang,” akhirnya ia mendongak lagi. “Kamu nggak ada tebakan, Andina pergi ke mana? Kamu kembarannya. Biasanya punya kontak batin.”
Aku membuang pandangan ke bagian dalam rumah. Bagaimana mungkin ada kontak batin setelah sekian lama Andina meminggirkanku dari kehidupannya? Kontak batin itu sangat mungkin ada jika sepasang kembar dekat dan saling menyayangi. Aku masih menyayangi Andina, bagaimanapun sifatnya, tapi aku tidak yakin sebaliknya. Bahkan aku nyaris tak pernah mendapat ucapan selamat ulang tahun balik darinya, padahal setiap tahun aku mengucapkan. Ia juga jarang bertanya kabar atau membalas pesanku.
Selagi mengistirahatkan punggung, aku membayangkan Andina sekarang sedang berada di Lombok. Jauh sekali. Bahkan sudah bukan pulau Jawa. Kenapa ia kabur ke sana? Atau… jangan-jangan benar dugaanku kalau ia diculik? Aku tidak punya firasat apa pun. Pagi ini, aku bersiap-siap pergi ke pernikahannya dengan bayangan akan melihatnya tersenyum bahagia karena lagi-lagi berhasil meraih impian: menikah. Itu mimpi semua wanita, tapi Andina pernah bilang kalau ia tidak mau menikah di usia terlalu matang. Setidaknya di bawah dua puluh lima. Dan, ya, kami masih 22 di tahun ini.
“Kita lapor polisi aja besok kalo dia belum ada kabar.” Aku mengemukakan pendapat. Mama menatapku dengan kerut di kening. “Kenapa? Itu tindakan paling rasional yang bisa kita lakuin. Kalo Mama tanya apa aku punya firasat… kalau aku punya, tadi pagi aku nggak bakal berangkat ke Jakarta.”
Kuperiksa lagi ponselku saat Mama akhirnya menyerah dan meninggalkanku untuk berganti baju. Mungkin pakai baju Andina yang kebesaran? Entahlah. Di layar ponselku, sudah bersarang beberapa notifikasi. Salah satunya dari nomor tak dikenal.
0877-6769-XXXX
Halo, Andini. Ini aku, Riza. Simpan nomorku, ya. Tolong kabari kalau ada info soal Dina.
***
Untuk melihat daftar cerita author dan jadwal update, follow IG: @sayapsenja
WARNING: Part ini mengandung konten sensitif yang hanya diperuntukkan pembaca berusia 18 tahun ke atas. Diharapkan kebijakan dari pembaca.“Gimana? Cantik nggak?” Ini sudah ketiga kalinya aku berganti outfit. Yang pertama aku merasa tidak cocok, yang kedua Radian yang tidak cocok.Lelaki yang duduk di sofa depan ruang pas itu terlihat mengamati sejenak, kemudian menggeleng. “Terlalu … macho. Yang agak girly dikit, lah, Din. Jangan terlalu panjang, dan kalo bisa rok.”Aku menghela napas. Seorang pegawai wanita yang melayani kami sebagai tamu VVIP menunjukkan lagi beberapa kapstok berisi pakaian dengan beragam warna. Mulai dari yang mencolok hingga yang lembut. Warna-warna cerah seperti pastel, baby pink, blue sea, sampai warna gelap seperti dark blue, gray, dan hitam pekat dipadu cokelat tua.“Sebenarnya Mbak Andina cantik pakai apa saja,”
“Aduuh, diem dong! Berisik banget sih, dasar anak nggak berguna!” gerutuku kesal melihat bayi dalam gendonganku yang terus saja menangis. Sejak hari kelahirannya, aku sama sekali tidak tenang.Pertama, Radian yang seharusnya bersikap sebagai ayah yang baik, justru tidak datang waktu persalinan dan baru menampakkan batang hidung saat aku pulang dari rumah sakit. Untunglah aku tidak harus dioperasi. Sebab ia sama sekali tidak membantuku mengurus bayi baru lahir itu, sedangkan perawat bayi yang dibayarnya tidak bisa menginap, sehingga sore hari sampai pagi aku harus mengurus bayi itu sendirian. Keluarga kami tinggal di rumah yang berbeda, apalagi keluargaku yang memang beda kota.Aku membetulkan tali gendongan, kemudian mengikat cepol rambut. Usai itu, aku beranjak menuju rak dapur untuk mengambil dot dan membersihkannya. Masalah kedua adalah ASI-ku jadi macet sejak Radian tidak pulang sama sekali sampai sekarang. Kalau tidak salah, ia hanya melihat bayi ini d
Itu bukan ucapan yang jelas mengiyakan. Aku ingin Riza menjawab, “Iya, ini yang terakhir. Kamu nggak perlu ikut campur apa-apa lagi setelah ini.” Namun, aku juga tahu setelah tiga hari ini bersama dengannya, ia orang yang jujur. Kalau ia mengatakan kebohongan hanya untuk menghiburku pun, aku juga tidak akan suka. Jadi, aku menghargai usahanya dan menguatkan hati.Pagi tadi, Mama berpesan untuk mengabari kalau ada apa-apa terkait Andina. Jadi, dalam perjalanan pulang ke Bandung—Riza lagi-lagi bersikeras mengantarku—aku menghubungi Mama.“Dini? Mama sudah lihat beritanya. Papa tadi juga telepon, kedengarannya agak marah karena Andina belum bisa juga dihubungi.” Mama langsung menyahut tanpa menungguku bicara lebih dulu. Nada suara panik sekaligus bingung.“Papa udah nemu lokasi akuratnya Kak Dina?”Kulirik Riza yang tengah menoleh padaku.“Katanya sudah coba ke beberapa vila dan cottag
Sudah ketiga kalinya aku menghubungi Radian, tapi panggilanku selalu ditolak. Terakhir malah tidak ada jawaban. Padahal jelas beberapa kali aku melihat Whatsapp-nya online. Aku mengusap wajah frustrasi. Sementara di hadapanku, Andini tengah mengaduk-aduk nasi padang dengan tidak berselera.“Kenapa? Itu kan makanan kesukaanmu?” Aku ingat ia sangat lahap makan saat kami mampir ke restoran padang selepas acara lamaran itu.Ia mendongak, lalu menggeleng pelan. “Bukan, Kak, bukan itu. Aku cuma capek aja.”“Gara-gara kebanyakan teriak ya, kemarin?” Aku memastikan. Memang sih, ide gilaku itu membuat Andini terpaksa berakting jadi orang cerewet dan galak yang memarahi semua kesalahan kru, sekecil apa pun, tapi tak mau disalahkan kalau ia yang keliru. Akibatnya, di akhir syuting, ia batuk-batuk dan kehilangan suara.Lagi-lagi, ia menggeleng. “Gimana ya, Kak? Tiba-tiba Rere-Rere itu nyebarin hal kayak gitu, dan sek
Pagi itu adalah pagi paling indah dalam hidupku. Wajah Andina berada tepat di hadapanku, dan aroma napasnya beradu dengan deru napasku sendiri. Gadis cantik ini … sekarang sempurna menjadi milikku.Ia bergerak sesaat, mengernyit, tapi lalu tertidur kembali. Baru aku akan ikut melanjutkan tidur, ponselku berdering keras. Ah, sial. Kenapa tidak aku silent saja kemarin?Terpaksa aku bangkit, memakai kaos asal, dan turun dari ranjang saat mendapati nomor manajerku tertera di layar.“Halo, apa? Ganggu suasana aja lo.”“Suasana apa, geblek? Lo pulang sekarang juga ke Jakarta. Beresin masalah yang udah lo buat.” Suara manajerku terdengar garang dari seberang sana.“Males, ah. Gue kan udah bilang, cuti sebulan. Gue udah persiapin semuanya dari jauh-jauh hari. Lo gila, ya?”“Elo yang gila! Gue kira lo mau liburan, jadi gue izinin. Tapi lo nyolong calon istri orang, lo kira itu ngg
WARNING: Mengandung konten sensitif, hanya untuk usia 18 tahun ke atas. Dimohon kebijakan dari pembaca. *** Radi menghampiriku yang tengah menatap pemandangan malam di luar cottage. Di tangannya, ada sebuah botol dan dua gelas kaca. Ia meletakkannya di gazebo tempatku duduk. Aku mengernyit. “Itu apa?” Ia tersenyum. “Anggur. Dikit kok, alkoholnya. Udara lagi dingin, nih.” Lelaki itu tampak meneliti padaku, sebelum kemudian berkata, “Bajumu nggak terlalu tipis? Aku ambilin jaket, ya?” Memang, aku tidak bersiap-siap untuk cuaca dingin di daerah dekat pantai begini. Jadi hanya membawa baju seadanya, tidak ada mantel maupun jaket. Yang ada hanya kardigan dan blazer nonformal. Radi baru akan beranjak ketika aku menahan tangannya. Alisnya naik menatapku. “Aku nggak dingin, kok. Nggak papa, kardigan ini aja cukup,” kataku, lalu melirik pada botol anggur yang tergeletak di sebelahku. “Tapi kamu … sejak kapan k