Sebuah hal biasa bagi seorang marinir melayani pria yang mencari ribut biasanya di bar, tetapi di cafe pun tak masalah. Maka Russel Banning pun berdiri berhadapan dalam jarak dekat dengan pria Perancis itu. "Apa maksudmu dengan menggebrak meja tanpa alasan?" tanya Russel menunjuk dada Rayden dengan jarinya, "apa ingin menantangku berkelahi?""Kau mencium wanitaku tadi, aku berhak marah. Dan aku juga tak takut diajak berkelahi oleh siapa pun!" jawab Rayden dengan jelas, dia ingin membuat pria berseragam angkatan laut itu mengerti posisinya dengan Emily.Mendengar jawaban pria di hadapannya Russel menoleh ke Emily. "Dia pacar barumu, Em?""Bukan. Dia saja yang kegeeran. Mungkin sebaiknya kita pindah tempat untuk bicara saja, Russ. Aku malas melihat pria ini, mengganggu saja—" Emily pun meraih tas tangannya dan berinisiatif untuk beranjak pergi dari mejanya. Namun, tangan Rayden mencekalnya. "Aku akan ikut kemana kau pergi dengan tuan marinir. Tak ada bedanya kau di sini atau pindah te
Sebuah panggilan telepon masuk ke ponsel Emily ketika dia asik mengobrol dengan Russel Banning mengenai situs konten dewasa yang diduga dikelola oleh Henry Crawford. Ternyata Letnan Benjamin Roosevelt yang meneleponnya, maka Emily pun segera mengangkat panggilan itu."Halo—" Jawaban Emily langsung terpotong oleh ucapan lawan bicaranya. "Halo, Em. Kurasa kau akan syok bila mendengar hal ini. Aku sedang berada di rumah saksi ketiga kasus putera senator Crawford. Cassandra Olivia Barnes, dia mengalami depresi dan kondisinya sangat mengenaskan. Aku dan Rodney berbicara dengan ayah dan ibunya di rumah. Kau bisa memutar hasil rekaman kesaksian mereka mengenai pelecehan seksual yang dialami Sandra," cerocos Letnan Benjamin tanpa jeda. Entah karena kegugupannya atau tekanan mental saat mengambil kesaksian dari saksi kunci sebuah kasus besar.Sebelum Emily sempat menjawab sepatah kata pun, panggilan itu terputus. Dia pun mendesah lelah seraya mengendikkan bahunya. Sebuah kiriman rekaman suara
Sebuah lenguhan pelan yang panjang terlepas dari bibir mungil Emily, sejenak ia memejamkan matanya meresapi kelembutan sentuhan pria Perancis itu di sepanjang tulang belakangnya. Wanita itu terbaring tertelungkup tanpa selembar pakaian pun di atas ranjang yang seprainya berantakan.Detak jantungnya berpacu begitu kencang dengan napas terengah di dalam ruangan yang temaram. Sore itu awan gelap mulai berarak di angkasa menandai kedatangan badai topan bercampur petir susulan yang terjadi beberapa hari yang lalu di kota Chicago. "Badai sepertinya datang lagi, Ray—"Bibir pria itu seolah tak pernah puas menelusuri, mencecap, dan menikmati rasa seorang Emily. "Hmm ... itulah kenapa orang menyebut Chicago sebagai the windy city. Terlalu sering diterjang badai angin kencang bukan? Namun, tak perlu kuatir ... tempat tinggalku aman, Sayang," jawab Rayden tanpa menghentikan jemarinya berkelana di tubuh Emily yang meringkuk di bawah tubuh kekarnya.Ketika ia mendengar suara perut Emily yang kela
Wiper kaca depan mobil dinas kepolisian itu menepis air hujan yang deras membasahi kaca dan membuat pandangan Sersan Rodney Bradford buram. Dia tak berani mengemudi dengan kecepatan tinggi di tengah cuaca buruk kota Chicago. Angin menerbangkan daun-daun pepohonan yang ditanam di ruang hijau trotoar kanan kiri jalan raya the windy city itu. "Rod, menginaplah di apartmentku kalau kau mau daripada berkendara jauh untuk pulang di tengah cuaca buruk. Aku juga ingin mempelajari semua bukti dan kesaksian kasus Crawford bersamamu," saran Letnan Benjamin.Sersan Rodney pun mengiyakan saran atasannya itu. Dia menyetir ke arah Arlington Heights. Dalam waktu setengah jam, mereka pun akhirnya sampai di Buffalo Tall Tower, apartment tempat tinggal Letnan Benjamin. Kemudian mereka naik ke lantai 8 sambil membawa kotak berisi berkas barang bukti untuk dikerjakan malam ini."Aku akan membuat seteko kopi, lakukan apa yang kau inginkan, anggap saja rumah sendiri, Rod!" Letnan Benjamin melepas sepatu b
"Rodney, kita harus segera pergi ke rumah karantina perlindungan saksi!" seru Letnan Benjamin Roosevelt menghambur masuk ke mobil dinas diikuti oleh rekannya.Tanpa banyak bertanya, Sersan Rodney segera mengemudikan mobil dinas Ford SUV hitam itu menembus badai yang tengah melanda kota Chicago malam itu. Konsentrasinya penuh ke jalanan yang berkabut dengan hujan berangin yang cukup deras."Sepertinya ada yang telah membocorkan data saksi dan mengejar nyawa kedua saksi kita yang masih hidup. Damn it! Aku curiga Kapten Ryan Falderson mengakses data di pc kantorku melalui otoritasnya," rutuk Letnan Benjamin dengan dada yang penuh rasa amarah karena terkhianati oleh rekan sejawatnya."Polisi korup adalah yang terburuk, Letnan. Kain pel kotor untuk membersihkan lantai kotor. Huh!" timpal Sersan Rodney dengan ekspresi jijik.Benjamin menyugar rambutnya ke belakang. "Kuharap kita belum terlambat, Rod! Kita harus memindahkan kedua saksi, Julia dan Brenda keluar dari rumah karantina perlindung
Seusai menelepon petugas penjaga rumah karantina perlindungan saksi, Emily mengetik beberapa pesan percakapan dengan Letnan Benjamin Roosevelt. Situasinya semakin tak terkendali dan korban yang berkaitan dengan kasus Henry Crawford semakin banyak.Wanita itu duduk di tepi ranjang milik Rayden dan menekuri ponselnya dengan serius. Hal itu sedikit mengganggu bagi Rayden. "Letakkan ponselmu, Emily Sayang. Kita belum selesai—" "F*ck off, Ray. Pekerjaanku lebih penting!" potong Emily tanpa menoleh sedikit pun ke arah Rayden. Detik selanjutnya ponsel itu melayang jauh ke sofa. Rayden melemparkan benda pipih itu bagaikan atlet NBA melakukan three point shot. Kemudian dia melakukan sebuah manuver ala atlet WWF membanting tubuh ramping Emily dan menguncinya di bawah tubuh kekarnya."Lepas—" Emily tak akan pernah melanjutkan kata-kata protes dari mulutnya karena bibirnya tersandera oleh lumatan bibir pria Perancis itu. Tiba-tiba segalanya gelap gulita sekali lagi. Listrik gedung tempat ting
Ian McFaden menghela napas lega setelah melihat kedatangan pasangan letnan-sersan itu tiba di TKP pembantaian sebuah keluarga di Auburn. "Syukurlah kalian bisa menembus badai untuk datang kemari. Kasus pembunuhan ini jelas karena mirip dengan kasus pembunuhan ajudan jaksa beberapa hari yang lalu. Mungkin kalian tertarik menanyai tetangga korban!" ujar kepala tin forensik itu berdiri berhadapan dengan Letnan Benjamin dan Sersan Rodney.Sersan Rodney pun mengiyakan saran Ian, dia berkata, "Letnan, biarkan aku yang menginterogasi tetangga korban. Silakan mengambil foto TKP beserta korban. Permisi, Gentlemen!"Kemudian pria itu pun mendekati wanita tua tetangga korban. Dia duduk berhadapan di sofa ruang tengah tak jauh dari lokasi penembakan bersama Nyonya Suzanne Brighton."Selamat malam, Nyonya Suzanne. Perkenalkan saya Sersan Rodney Bradford. Saya mewakili Kepolisian Chicago ingin menanyakan beberapa pertanyaan mengenai kasus pembunuhan keluarga Barnes." Pria itu menghidupkan alat per
"Katakan ... kenapa kau menamparku, Emily?!" tuntut Rayden sembari menindih tubuh lembut itu di bawah badannya yang berukuran dua kali tubuh Emily.Dengan enggan wanita itu menjawab, "Kau mengabaikan perkataanku dan mulai berbuat cabul di pagi hari, Prince of Darkness! Menyingkir dari tubuhku sekarang juga sebelum lututku melesak ke atas—"Sembari tertawa Rayden melepaskan tubuh ramping itu dari dominasinya. "Menyerah bukan berarti kalah. Aku lebih menyukai ide untuk mencobanya di lain kesempatan," ucapnya sambil berjalan ke arah pantry.Sedangkan, Emily tak menyia-nyiakan kesempatan untuk kabur ke kamar mandi dan juga menelepon asisten jaksanya. Dia berdiri di depan cermin wastafel. "Halo, pagi Murat. Malam yang buruk dan aku butuh jemputan pulang sebelum berangkat ke kantor. Apa kau bisa menjemputku di lantai 50 Baltimore Eclat Tower?" ujarnya cepat dan jelas setiap patah katanya seperti dirinya ketika sedang membacakan tuntutan terdakwa di persidangan.Suara di seberang sambungan