"Kamu makan pakai sayur saja. Itu daging ayamnya untuk Mbakmu," ucap Nenek, sembari melirikku sekilas.
Aku yang baru saja hendak menyendokkan nasi hanya mengangguk mengiyakan.
Sudah biasa bagiku diperlakukan seperti ini oleh Nenek. Wanita paruh baya itu memang selalu lebih mengasihi Mbak Neni, kakak sepupuku yang tinggal di samping rumah Nenek.
Sejak kecil, aku memang di asuh oleh Nenek, Ibu dari Bapak. Semua itu dikarenakan Bapak yang sudah menikah lagi, dan ibuku meninggal dunia saat aku berusia lima tahun.
Bapak tidak mau membawaku ikut tinggal bersamanya. Ia takut direpotkan olehku yang pada saat itu masih kecil. Bapak lebih memilih berbahagia bersama istri barunya tanpaku. Makanya, Nenek dengan terpaksa mengurusku.
Mengapa kukatakan terpaksa? Karena itulah ucapan yang sering dilontarkan oleh Nenek. Katanya, aku hanya menyusahkan dia saja selama ini. Seandainya Nenek dari Ibuku masih ada, mungkin ia akan memberikanku pada Nenek dari Ibuku. Sayangnya, ibuku adalah yatim piatu sejak remaja. Jadilah dia menampungku karena tak mau juga jadi gunjingan para tetangga.
Padahal, saat usiaku memasuki sepuluh tahun, aku sudah berusaha mandiri dengan mulai membantu Nenek mencari pundi-pundi rupiah, seperti membantu tetangga di ladang agar mendapat rupiah. Tapi, tetap saja itu semua tidak pernah terlihat di matanya.
Sejak usia delapan tahun. Untuk urusan mencuci piring, mencuci pakaian, membersihkan rumah, semua sudah kukerjakan meskipun selalu saja mendapat ma-kian karena menurut Nenek semua pekerjaanku tidak becus alias tidak bersih.
Setiap hari yang kulalui bersama Nenek, selalu saja ma-kian sebagai makanan sehari-hari.
"Nek, Nenek masak apa? Aku lapar nih!"
Suara Mbak Neni yang lumayan cempreng, membuatku tersadar dari lamunan.
Tanpa mengucap salam, Mbak Neni nyelonong masuk ke dapur dan memeriksa tudung saji yang ada di hadapanku. Hmmm, cucu kesayangan Nenek.
Seandainya saja aku yang melakukan itu, sudah pasti mangkuk yang sedang dipegang Nenek akan melayang ke arahku.
"Nenek tadi beli ayam. Cuma setengah kilo. Khusus untuk kamu," jawab Nenek seraya tersenyum penuh kasih sayang pada Mbak Neni.
Wajah gadis yang usianya hanya terpaut dua tahun di atasku itu langsung semringah.
Bukan karena dia jarang makan daging ayam. Tapi, dia merasa senang karena selalu diistimewakan oleh Nenek. Terkadang, aku juga iri. Akan tetapi, aku iuga harus sadar diri. Aku ini, hanyalah cucu yang tidak diinginkan oleh Nenek.
"Aku makan ya, Nek. Di rumah Mama nyayurnya nggak enak," ucapnya seraya duduk dan menyingkirkan tudung saji.
Matanya berbinar melihat apa saja yang tersaji di sana.
"Rah, ambilkan piring!" perintahnya tanpa menatap. wajahku.
Aku yang sedang menyuapkan nasi ke mulut, sejenak menghentikan aksiku dan mengambilkan piring untuknya.
"Ini, Mbak," ucapku seraya menyerahkan padanya.
Mbak Neni menerima piringnya dan mulai menyendok nasi, lalu mengambil lauk yang sudah tersaji di meja. Dia dengan lahap memakan semua lauk yang memang sudah disediakan Nenek untuknya dan hanya menyisakan tulang belulangnya saja.
Dengan perlahan, aku juha menyelesaikan makanku.
Sekalipin, tidak pernah Mbak Neni menawarkan makanannya padaku meski makanan itu ada banyak di hadapannya. Dia memang sangat pelit padaku. Entahlah, aku juga heran dengan dia. Kami ini, seperti bukan sepupu. Karena Mbak Neni terlihat sangat tidak suka padaku.
Apapun yang dia miliki, meskipun ia tidak menyukainya dia tetap tidak akan memberikannya padaku. Lebih baik, ia membuangnya saja.
"Neni, besok ada yang datang hendak melamarmu. Kamu jangan ke mana-mana, ya," ucap Nenek, saat Mbak Neni sudah menyelesaikan makannya.
Wanita bertubuh sedikit tambun itu menoleh dan mentap tak suka sang Nenek.
Aku hanya bisa diam dan memperhatikan mereka berdua.
"Melamar? Siapa, Nek? Dan apa pekerjaannya?" tanyanya tidak bersemangat.
"Anak dari temannya Kakekmu, Nduk," jawab Nenek, dan membuat Mbak Neni membolakan matanya dengan sempurna.
"Nek, kalau anak dari temannya Kakek, ya, berarti udah tua lah. Aku nggak mau!" tolaknya tanpa mau mendengarkan penjelasan dari Nenek.
"Belum setua itu juga, Nduk. Usianya baru memasuki 32 tahun. Kamu kan sudah 25 tahun, jadi cocoklah."
"Itu ketuaan, Nek. Neni maunya yang masih sebaya."
"Cari suami itu, yang lebih dewasa, Nduk. Jadi, bisa lebih ngemong kamu. Bisa lebih ngertiin kamu." Nenek berjalan mendekati Mbak Neni dan mengusap kepalanya dengan sayang.
Duh, seandainya saja Nenek bisa sesayang itu padaku. Aku juga ingin diperlakukan seperti itu. Tapi Nenek tak pernah mau. Ia selalu saja ketus dan kasar padaku.
Aku sering sekali ingin merantau jauh dan meninggalkan Nenek sendiri di rumah ini. Tapi, hati kecilku tidak bisa setega itu. Aku kasihan pada Nenek yang sudah lumayan sepuh. Ya, walaupun jika dilihat dengan mata Nenek masih terlihat bugar. Tapi tetap saja, aku tidak pernah bisa tega meninggalkannya sendirian. Apalagi Mbak Neni dan keluarganya kurang peduli pada Nenek.
Saat Nenek sakit, mereka hanya datang sebentar lalu kembali pulang. Padahal rumahnya bersebelahan. Tapi, tak ada niatan mereka untuk merawat Nenek barang sehari. Katanya, mereka malas direpotkan. Karena aku sedari kecil dibesarkan oleh Nenek, maka akulah yang harus mengurus Nenek. Begitulah perkataan mereka saat kuminta menjaga Nenek.
"Hmmm. Terus, pekerjaannya apa, Nek?" tanya Mbak Neni meski masih terlihat kesal.
"Petani, Nduk. Lum-"
"Enggak, enggak! Neni nggak mau punya suami petani. Pokoknya, Neni maunya menikah sama lelaki berseragam. Kalau nggak Tentara, ya, Polisi. Guru juga harus yang sudah PNS. Pokoknya Neni nggak mau sama yang cuma petani. Percuma dong Neni sekolah kesehatan, kalau dapatnya cuma petani. Nenek tau, Bidan seperti Neni ini, cocoknya bersanding sama abdi Negara. Bukan sembarang orang!" Mbak Neni nyerocos memotong ucapan Nenek yang belum sempat ia selesaikan.
"Nduk, mau sampai kapan kamu cari yang seperti seleramu itu? Ingat umur, Nduk." Nenek mulai menasihati cucu kesayangannya tersebut.
"Udah, Nek. Pokoknya Nenek jangan khawatir. Neni sudah punya calon suami kok. Dan dia abdi Negara. Sekarang dia lagi tugas. Nanti selesai tugas, dia mau datang melamar Neni," ucap Mbak Neni, sangat yakin.
Sejak kapan Mbak Neni punya calon suami? Bukannya selama ini dia hanya berdiam diri di rumah? Dia memang memiliki gelar bidan. Tapi, setelah menyelesaikan sekolahnya, dia tidak bekerja dengan alasan tidak sesuai dengan gajinya. Jadilah dia penghuni rumah yang setiap hari hanya makan tidur saja.
"Loh, yang bener, Nduk?" tanya Nenek memastikan.
Mbak Neni mengangguk dengan sangat pasti.
"Neni baru kenal sebulan sama dia, Nek. Kami berkenalan di F******k," ucap Mbak Neni antusias. Wajahnya juga semringah dan bibirnya tersenyum merekah.
"Hati-hati, Mbak. Banyak penipuan di medsos." Aku ikut berbicara memperingatinya.
Zaman sekarang tidak ada yang bisa dipercaya. Bisa saja kan lelaki yang dikenal Mbak Neni adalah penipu yang sedang mencari mangsa.
"Aku itu nggak bo doh seperti kamu, Sarah! Jadi, nggak usah sok menasehatiku. Aku ini terpelajar. Jadi tau mana yang bohong dan yang jujur!" ucapnya ketus.
Nenek juga melirikku tidak suka.
"Maaf, Mbak." Aku meminta maaf seraya menundukkan kepala. Tidak seharusnya aku ikut bersuara. Karena sudah papsti ujung-ujungnya seperti ini.
"Jodohkan saja lelaki itu sama si Sarah, Nek. Kan cocok sama-sama nggak berpendidikan!" celetuk Mbak Neni dan membuatku menoleh padanya.
Usiaku memang sudah cukup jika untuk menikah. Tapi, kenapa harus dijodohkan? Aku masih bisa mencari jodoh sendiri.
"Ya, memang si Sarah yang akan Nenek jodohkan kalau kamu nggak mau. Soalnya, ini wasiat dari Almarhum Kakekmu," sahut Nenek seraya menatapku.
"Tapi, Nek-"
"Jangan membantah kamu! Sudah cukup kamu menyusahkan Nenek selama ini. Jadi, menikahlah agar berkurang beban Nenek di rumah ini. Sudah cukup delapan belas tahun, kamu menjadi parasit di kehidupanku,"
"Maaf, Bu. Anda bisa menjelaskan semuanya di kantor polisi." Polisi wanita itu tetap menggeret Mbak Diana."Tidak mau! Saya tidak mau dipenjara!" teriaknya lagi, sambil terus meronta.Kedua tangan Mbak Diana yang dipegang oleh polisi wanita itu, terus bergerak hendak melepaskan diri."Tolong kerja samanya, Bu! Atau kami akan mengambil tindakan tegas!" seru polisi wanita itu dengan wajah seram.Nyali Mbak Diana menciut. Mulutnya seketika berhenti meronta. Tapi matanya terus saja mengeluarkan air."Kami, permisi dulu, Pak, Bu!"Setelah berpamitan, semua polisi itu pergi dari rumah dengan membawa kakak iparku.Mas Malik terlihat kuyu. Dia pasti sangat lelah atas semua yang terjadi pada keluarganya."Aku tidak menyangka Diana sampai berbuat sejauh ini. Mungkin aku juga bersalah karena terlalu sibuk bekerja, sehingga dia tega menduakanku." Mas Malik menunduk, sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
"Ini semua gara-gara kamu, Mbak!" celetukku saat kulihat Mbak Diana berada di dalam kamar Ibu. Dia masih menangis sambil memegang bingkai foto Ibu.Sebentar ia menatap foto itu, kemudian memeluknya."Diam kamu, Sarah! Kalau saja kau tidak kembali ke sini, semua ini tidak akan terjadi. Ibu tidak akan datang dan masuk ke dalam rumah, memergokiku bersama Danu. Hingga akhirnya aku tak sengaja mendorongnya!" ujarnya sinis.Mbak Diana menatapku dengan tajam. Wajahnya yang masih terdapat jejak air mata terlihat sangat berantakan.Dia itu menangisi kepergian Ibu, atau menangis karena takut diusir oleh Mas Malik"Tidak sengaja katamu? Sudah mendorongnya dengan kuat, kamu bilang tidak sengaja? Dasar perempuan tak punya hati!" sungutku, menatap wajahnya dengan tatapan menantang."Aku memang tidak sengaja. Karena panik, aku jadi mendorong Ibu. Pasti kamu kan yang meminta Ibu masuk ke dalam rumahku?" cecarnya galak."Hey, Diana! Sepa
"Iya, Bu. Kamar Ibu nggak dikunci kan?""Enggak kayaknya. Kalaupun di kunci, pasti kuncinya masih gantung di pintu. Karena di dompet Ibu nggak ada kunci."Aku mengangguk. Ibu berjalan ke rumah Mas Malik, sementara aku masuk ke rumah Ibu.Rumah Mas Malik juga terbuka, sepertinya Mas Malik memang sedang berada di rumah.Aku dengan segera menuju kamar Ibu. Dan benar saja, kamar Ibu tidak dikunci. Pintu depan juga tidak dikunci tadi. Mungkin Ibu banyak pikiran, sampai lupa mengunci pintu."ASTAGHFIRULLAHHALAZIM ... APA YANG KAU LAKUKAN DIANA!" Suara Ibu terdengar sampai ke dalam kamar.Aku segera berlari meski belum menemukan ATM milik Ibu. Rumah Mbak Diana sudah permanen. Jika suara Ibu sampai terdengar ke dalam kamar, pasti sesuatu sedang terjadi pada Ibu.'DUAK!'"Awww!"Kakiku tersandung sofa."Suami pergi bekerja, kau malah enak-enakkan berbuat maksiat!" suara Ibu kembali terdengar saat aku sa
"Maaf, Nak. Sarah. Bukan maksud Ibu tak menganggap Nak Sarah anak. Tapi, Ibu takut merepotkan kamu." Ibu mengusap-usap punggungku. Tangisku semakin pecah mendengar penuturan Ibu."Bu, tidak ada yang namanya orang tua merepotkan anak. Karena setiap anak, pasti ingin merawat orang tuanya. Sama seperti tujuan orang tua membesarkan anaknya, seorang anak juga ingin membalas apa yang telah dilakukan orang tuanya," ucapku seraya mengurai pelukan. Kalau saja Ibuku masih ada, ingin rasanya aku membahagiakan dia seperti dia membahagiakanku. Tapi itu semua sudah tidak mungkin. Yang aku punya saat ini adalah Ibu mertua. Maka aku harus memperlakukannya sama seperti Ibuku sendiri. Karena sejak awal, Ibu sudah baik padaku. Aku ingin membalas semua kebaikan Ibu.Meski aku tahu, kalau aku tidak mungkin bisa membalasnya."Terimakasih, Nak Sarah. Maaf, karena telah menyembunyikan semuanya dari kalian." Ibu menghapus air mataku yang mengenai pipi.Aku berusaha untuk tidak menangis lagi. Walau di hati m
Pak Rt mengangguk seraya membalas senyum Mas Malik. "Baiklah Pak Malik. Kalau begitu, saya juga ingin berpamitan. Mbak Sarah, saya juga meminta maaf atas nama para warga karena sudah salah paham. Lain kali, kalau ada tamu Mbak Sarah bisa lapor dulu ke saya, agar tak terjadi hal yang seperti ini lagi.""Saya ingin melapor, Pak. Tapi kemarin posisinya sudah malam. Jadi takut mengganggu istirahat Bapak. Makanya saya tak jadi melapor. Pagi ini rencananya saya mau datang ke rumah Bapak, tapi belum juga datang, Bapak dan warga malah udah datang berbondong-bondong," sahut Mbak Ani menimpali."Wah, maaf, ya, Mbak Ani. Saya juga kalau tidak mendapat laporan, nggak akan datang. Para warga juga bukan saya yang mengerahkan. Mereka datang sendiri.""Ya, sudah, Pak. Saya minta nomor Bapak sajaJadi kalau ada tamu lagi, tinggal langsung telepon." Mbak Ani mengeluarkan ponselnya. Ia mencatat saat Pak Rt dengan pelan menyebutkan nomor ponselnya."Saya pam
"Jangan banyak alasan, Kamu! Kalian berdua tuh sama aja!" Mbak Neni memotong ucapan Mbak Diana.Aku memegangi tangan Mbak Diana agar dia bisa sedikit tenang."Mas, tolong percaya sama aku, ya? Kejadian ini benar-benar terjadi begitu saja. Namanya manusia kan bisa aja khilaf. Aku takut Sarah khilaf, dan memasukkan penjahat. Makanya aku langsung lapor Pak Rt-""Dan lapor suami beserta Ibu mertua Sarah, agar mereka dengan cepat mengusir Sarah. Iya, kan?" potong Mbak Neni lagi, tak memberi kesempatan untuk Mbak Diana menyelesaikan ucapannya."Kamu, kenapa sih ikut campur saja? Kamu itu orang luar, jangan ikut campur masalah kami!" bentak Mbak Diana, menatap sinis Mbak Neni."Kalau kamu tidak membawaku dalam masalahmu, aku juga tidak akan ikut campur masalah kalian. Tapi sayangnya, kamu terlanjur memasukkanku ke dalam masalah ini, jadi tak ada salahnya aku ikut campu