Menuju ke Jakarta, Mojo tidak mengetahui bahwa isi surat yang dibawanya dari Abah Anom adalah tentang perjodohan dirinya dengan Widya, putri tunggal Wisnu Wibisono sang pendiri Arung Bahari Corp. Widya yang kini memimpin perusahaan menggantikan ayahnya pun terkejut sewaktu membaca surat. Ia tentu saja tidak terima dengan perjodohan itu. Ia kemudian merahasiakan perihal surat tersebut, termasuk kepada ibunya sendiri. Mojo lalu diberi pekerjaan sebagai ajudan pribadi Widya. Awalnya Mojo menolak. Namun, karena ini juga salah satu amanah dari Abah Anom, ia pun menerimanya. Widya membenci Mojo dan hanya ingin memanfaatkan jasanya sebagai ajudan yang jago bela diri. Di sisi lain Mojo juga tidak menyukai Widya dan berharap segera terbebas dari amanah Abah Anom. Hari pun berlalu dengan berbagai dinamikanya. Momen-momen yang mendebarkan, lucu, tegang, mengejutkan, hingga mengancam nyawa pun datang silih berganti. Apakah Widya akan jatuh cinta kepada Mojo dan menerimanya sebagai pendamping hidupnya? Apakah Mojo berhasil menuntaskan amanah Abah Anom, yaitu menjaga Widya hingga tiba saatnya nanti menikah? Yang tanpa ia ketahui adalah dengan dirinya sendiri? Lalu bagaimana dengan Iroh?
view morePukul sebelas malam. Bus Transjakarta yang aku tumpangi ini melaju dengan kecepatan yang konstan pada jalurnya.
Suasana cukup sepi. Hanya ada empat penumpang yang tersisa. Yaitu aku, dua penumpang lelaki di bagian tengah, dan seorang wanita di pojok belakang.
Aku melamun, tenggelam pada memoriku sendiri.
“Mojo.,”
Suara Abah Anom pun kembali mengiang di dalam kenanganku.
“Saya, Abah..,”
Ketika itu, Abah Anom mengeluarkan sebuah amplop coklat dari saku baju kokonya.
“Kamu serahkan surat ini kepada Bapak Wisnu Wibisono di Jakarta sana..,”
Aku menerima amplop coklat, lalu kembali menunduk. Aku mencermati amplop yang telah berada di tanganku.
Tidak ada tulisan alamat, nama jalan, nomor telepon, atau semacamnya. Yang ada hanyalah sebuah tulisan berupa;
~ Untuk: Wisnu Wibisono
~ Dari: Abah Anom
Aku kembali menengadah ketika Abah Anom melanjutkan kata-katanya.
“Itu yang pertama. Nah, kemudian, ini adalah amanah Abah yang terakhir kepadamu. Yaitu, kamu harus menjaga putri Bapak Wisnu itu, sampai..,”
Abah Anom terbatuk-batuk. Kata-katanya pun terputus, hingga membuatku terpaksa menunggu.
“Sampai?” Aku menyusul bertanya. “Sampai kapan, Abah?”
Abah Anom menarik nafas dalam-dalam, berjuang keras menahan batuk yang tampak begitu menyiksa.
“Sampai..,” lanjut Abah Anom kemudian, “Sampai dia menikah dengan calon suaminya..,”
Tiba-tiba..,
Gerrudagg..! Gerrudugg..! Terdengar suara bising dari bus Transjakarta yang aku tumpangi ini. Menyusul kemudian suara-suara klakson yang saling bersahutan di jalan raya.
Aku tersentak dari lamunanku, menarik nafas dalam-dalam. Fiuuh..!
Tidak terasa, sudah dua tahun keberadaanku di Jakarta ini. Namun, dua amanah yang diberikan Abah Anom itu belum berhasil aku laksanakan.
Ada rasa bersalah yang seketika merundung hatiku. Hingga membuat udara di dalam bus metro ini terasa gerah.
Aku menurunkan resleting kostum badut Hello Kitty yang kupakai sedikit lebih ke bawah. Sementara itu, bagian kepalanya yang sejak tadi di pangkuanku, aku letakkan pada bangku bus yang kosong di sebelahku.
Sesaat, aku merasakan sesuatu yang tidak wajar di dalam bus Transjakarta ini. Aku segera melirik, memperhatikan dua penumpang lelaki di bagian tengah tadi.
Mereka sekarang bangkit dari bangkunya, lantas berjalan ke arah belakang. Aku terus melirik.
Rupanya, dua lelaki berperawakan tegap itu menghampiri penumpang wanita yang duduk di bangku paling belakang itu.
Sang wanita sedang sendiri. Ia sibuk mengutak-atik ponselnya ketika dua lelaki tadi telah sampai di depannya dan berdiri melingkar, mengurung dirinya.
Firasatku mengatakan, akan ada kejadian buruk di sini.
“Eeee…!” Seruku dalam hati.
Benar saja. Karena kemudian, dua lelaki itu mengeluarkan pisau lipat dan langsung menghunuskannya ke arah sang wanita.
“Berikan hape kamu!” Seorang dari lelaki itu langsung merampas ponsel dari sang empunya.
“Hei!” Sang wanita memekik.
Ia bermaksud merebut kembali ponsel miliknya. Namun, sontak saja ia mati kutu saat menyadari dua bilah pisau yang terarah ke dirinya. Terbius aura maut dari runcing dan tajamnya pisau itu.
Sang wanita takut bukan kepalang. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya gemetar. Aku yang menyaksikan itu pun tercekat, menelan ludah yang hambar.
Sopir dan kondektur bus metro ini tampak sedang bercakap-cakap nun di kabin depan sana. Tidak ada yang mengetahui aksi pemerasan ini kecuali aku!
Dua lelaki yang ternyata adalah preman itu pun leluasa menjalankan aksinya memeras.
“Serahkan tas kamu!” Todong preman itu lagi seraya mendekatkan ujung pisaunya ke tubuh sang korban.
“Ampun, Mas.., ampun, jangan ambil tas saya.” Sang korban pun memohon, menjauhkan tas jinjingnya yang mahal itu dari jangkauan sang preman.
“Mau mati kamu ya?? Cepat! Serahkan uang kamu!” Satu orang preman langsung saja merampas tas.
Aku bergidik ngeri, merasa takut sekaligus kecut. Aku sadar pada satu kemungkinan di sini.
Yaitu, setelah kedua preman itu selesai dengan korban wanita mereka pun akan memeras aku pula. Penghasilanku mengamen sebagai badut hari ini bisa saja digasak oleh mereka.
Beberapa saat kemudian aksi pemerasan itu terus berlangsung. Sang wanita kini sudah menyerahkan semua barang miliknya kepada sang preman.
Berupa jam tangan mewah, dua anting, dan dua cincin yang tadi melingkar di jarinya. Hingga kemudian barang terakhir, yaitu sebuah kalung di leher wanita itu.
“Saya mohon, Mas.., saya mohon, Bang.., jangan ambil kalung saya ini..,” sang wanita memegangi kalungnya dengan sangat erat. Ia sudah menangis, ketakutan setengah mati.
“Kalung ini kenang-kenangan.., ini pemberian dari nenek saya..,”
“Cepat, serahkan!”
Plak..! Sebuah tamparan yang cukup keras pun mendarat di kepala sang wanita, hingga sebagian rambutnya tersirap dan berantakan. Sementara dalam momen yang amat menegangkan ini aku pun bertanya pada diriku sendiri.
“Apakah aku harus menolongnya?”
“Untuk membuktikan kepada dunia, bahwa tidak sia-sia Abah Anom telah mendidikku dengan ilmu bela diri?”
“Akan tetapi..,”
Aku pun teringat, bahwa terakhir kali aku menolong orang di ibukota ini, malah kemudian aku yang mendapat sial, meringkuk di penjara, nyaris satu tahun lamanya!
Ah, aku tak ingin menjadi superhero di dalam bus Transjakarta malam ini. Aku hanya ingin bertemu dengan Bapak Wisnu Wibisono, dan menjalankan amanah Abah Anom.
Sudah, selesai, habis perkara, dan aku bisa pergi ke Riau untuk mengklaim tanah warisan ibuku di daerah transmigrasi sana.
Seiring aksi pemerasan itu, sebuah pergumulan pun terus terjadi di dalam benakku. Antara menolong sang wanita, atau membiarkannya saja dan berlagak macam orang buta.
Detik demi detik yang menegangkan pun berlalu. Hingga akhirnya, aku mengambil kepala kostum badut Hello kitty dari bangku dan mengempitnya di ketiakku. Kemudian aku bangkit, berjalan ragu menuju ke bagian belakang bus.
Aku memang bukan Superman, tapi paling tidak aku bisa menolong sang wanita itu dengan caraku sendiri. Tentunya, dengan tanpa kekerasan. Aku pun berhenti persis di dekat dua preman.
“Mas.., Abang..,” seruku pelan.
“Apaa..??” Sahut lelaki pertama galak.
Lelaki yang kedua pun ikut menoleh dan segera menombak aku dengan pandangan matanya yang tajam.
“Sudahlah, Mas.., sudahlah, Bang, lepaskan dia.,” kataku mulai membujuk.
“Jangan ikut campur kamu!”
“Kalian sudah dapat hapenya, sudah dapat dompetnya, semua uang, jam tangan, anting dan cincinnya. Sekarang tinggal satu kalung itu, barang kenang-kenangan dari neneknya pun mau kalian rampas juga. Kasihanilah dia..,”
“Kamu siapa??” Tanya seorang dari preman itu, seraya memperhatikan kostum badut Hello kitty yang membungkus tubuhku ini.
“Saya, emm..,” Aku pun menunduk, mengisyaratkan pandanganku pada kepala Hello kitty di ketiakku.
“Saya cuma badut perempatan lampu merah.”
“Cuma badut, berani amat kamu mencampuri urusan kami??”
“Sudahlah, Bang.., sudahlah, Mas.., pergilah, jangan ganggu wanita ini,” bujukku lagi.
“Kalau kami tidak mau, kenapa rupanya?? Mau apa kamu?? Membela dia?? Mau jadi jagoan??”
Entah kesambet setan dari mana aku ini. Aku malah menyahut dengan kalem.
“Kalau kalian tidak mau melepaskan wanita ini, maka, aku akan menyeret kalian berdua ke kantor polisi, malam ini juga!”
Bahkan ketika mengucapkan kalimat itu, wajahku tetap dingin dan nyaris tanpa ekspresi. Beuuh.., berlagak cool pula aku ini!
Mendengar jawabanku tadi dua preman saling bertukar pandang. Lalu saling bertukar senyum yang mencibir. Aku pun meneruskan kata-kataku dengan intonasi yang tetap datar.
“Ketika aku bilang ‘menyeret’.., itu artinya, aku pegang kaki kalian, lalu aku tarik, sementara badan, muka, dan hidung kalian tergesek-gesek di aspal sepanjang dari sini sampai ke Mabes Polri sana.”
“Hahaha..! Mau mati kamu yaa??” Bentak seorang preman sembari maju dua langkah ke arahku.
Bersamaan dengan itu ia menghunuskan pisau lipatnya ke arahku. Kling! Cahaya lampu memantul dari situ. Tajam! Juga runcing!
Sumpah mati aku jantungan! Akan tetapi..,
“Oooh..! Kalian mau menikam saya?” Tanyaku pula macam orang blo’on.
“Mau menusuk badan saya ini??”
Aku menjatuhkan kepala Hello kitty ke lantai bus yang terus melaju, lantas mengembangkan kedua tanganku, sambil bilang..,
“Silahkan..,” aku tersenyum sumringah, sambil mengangguk-angguk.
“Silahkan kalian tusuk badan saya, terserah di bagian mana saja. Kalian boleh tusuk saya dua puluh kali.”
“Tapi setelah itu, ganti kalian yang saya tusuk, satu kaliiiiiii… saja!”
Kedua preman sontak saling berpandangan lagi. Mereka mungkin sadar bahwa aku ini mempunyai ilmu kebal, atau jimat, semacam itu. Terlebih lagi, aku berkata-kata dengan penuh percaya diri.
“Ayo, silahkan tusuk, jangan sungkan!”
Sementara di dalam hati, aku menyumpah-nyumpah.
“Dasar aku ini, semprul! Kalau dia menusuk betulan, bagaimana??”
********
**“Di atas?”“Iya, di kamarnya.”Aku menoleh ke sembarang arah, pikiran segera berkelana, menduga-duga maksud Miss Widya memanggil aku sekarang ini.Aku lantas teringat tiga hari yang lalu ketika aku bersama Iroh. Miss Widya menelepon aku, dan ia sedang menangis.Apakah pemanggilan ini berkaitan dengan itu? Dengan masalah apa pun yang telah membuat dia menangis?Atau, hanya satu kelumrahan terkait pekerjaan mengingat besok aku sudah kembali bertugas. Ah, aku jadi penasaran.“Kira-kira, ada apa ya, Mbak?” Tanyaku pada Mbak Puspa, mencari bocoran.Mbak Puspa mengangkat kedua bahunya. “Menekehte,” imbuhnya.Aku kemudian menoleh lagi ke arah belakang, ke kanan lalu ke kiri.“Ibu Suri di mana, Mbak? Tanyaku lagi.Mbak Puspa yang sudah berjalan dua langkah meninggalkan aku memberi jawaban.“Di halaman belakang.”“Dengan s
**Aku menangkupkan kedua telapak tanganku di pipi Iroh, menatapnya dengan lembut. Aku kemudian membelai rambut Iroh, mengaitkan kedua ujung sisinya di samping telinga.“Aku pamit ya.”“Kamu pulang ke mana? Langsung ke rumah Acropolis?” Tanya Iroh seakan tak rela melepas aku.Aku menggeleng pelan. “Ke Angke,” jawabku.“Tempat tinggalnya Galih, sahabat kamu itu?”“Iya, tempat tinggalku dulu.”“Terus, besoknya mau ke mana?”“Kalau tidak ada perubahan rencana, aku mau menemui Bang Jambrong.”“Bang Jambrong? Ngapain kamu menemui dia? Mau ngajakin dia ribut lagi? Atau mau ngajak main suit lagi?”“Hahaha..,” aku tertawa pelan. “Tidak ada maksud apa-apa. Hanya sekadar silaturahmi saja kok. Aku mau memperbaiki hubungan.”“Setelah kejadian di Marunda tempo hari itu, sepertinya Bang Jambrong a
**Aku menjadi tak enak hati, sekaligus merasa tidak nyaman karena mendengar suara isak tangis Miss Widya di telepon. Sementara di sampingku ada Iroh dan juga Mikhail.Iroh tidak terlalu peduli dengan telepon yang aku terima ini. Ia membelokkkan langkahnya ke kiri, sambil menjawil tanganku untuk mengikutinya pula.Kami bertiga kemudian berhenti di depan sebuah dinding depan sebuah restoran siap saji yang terbuat dari kaca.Di mana, pada dinding kaca ini terpampang gambar stiker aneka macam menu yang mereka jual, termasuk paket promosi, diskon dan voucher macam-macam.“Kamu di mana, Gending?” Tanya Miss Widya dari seberang sana, dengan suara yang bercampur isakan.“Eeem.., saya di Cipayung, Miss.” Jawabku.“Kapan kamu pulang ke sini?”“Tiga hari lagi, sesuai dengan jatah libur saya.”“Oh, ya sudah, jangan lama-lama ya.”Tut, tut, tuuut..! Telepon Miss Widy
**Entah mengapa, perasaanku jadi tak enak. Aku kemudian menerima panggilan dengan satu gesekan di layar ponsel“Halo..,” sapaku, dengan terus membiarkan Iroh yang memeluk aku.“Halo, Mojo?” Sapa sebuah suara dari seberang sana.“Emm.., ini siapa?”“Ini, aku, Irul.” Jawab si penelepon.“Irul?” Aku sontak heran, melihat ke layar ponsel sebentar.“Iya, Irul. Kamu lupa?” Kata si penelepon lagi.“Irul siapa ya?”“Irul, atau Khairul. Ingat?”Aku butuh beberapa detik untuk mencari nama Irul atau Khairul di dalam memoriku. Ketika mendapatkannya, aku terkejut sekaligus gembira dan merasa lucu.“Iya, iya, aku ingat. Ini Irul yang tempo hari mulutnya pernah aku gaplok pakai sepatu merek adidas??”“Hahaha.., sialan kamu, Mojo!”“Betul kan?”“Iya, betul. Ak
**“Oh ya Mas, ada yang mau aku kasih tahu nih.”“Apa?”“Nanti, minggu depan, Mikhail akan ikut lomba melukis lho.”“Hem-hem? Lomba melukis? Di mana tuh?” Tanyaku bersemangat.“Di TMII.”“Taman Mini Indonesia Indah?”“Iya.”Aku langsung tersenyum. Sebuah kenangan yang melankolis seketika berkelebat di dalam kepalaku. Di sebuah jalan dekat TMII itulah pertama kali aku bertemu Iroh dan Mikhail yang ketika itu baru berusia 5 tahun.“Evennya even apa nih?” Tanyaku. “Maksudnya dalam rangka apa?”Iroh menggeser sedikit duduknya ke arahku. Penuh semangat ia pun bercerita.“Jadi, lomba ini diadakan oleh dinas pendidikan Jakarta Timur, bekerja sama dengan manajemen TMII, dan disponsori oleh perusahaan air minum nasional.”Aku mengangguk-angguk.“Pesertanya dari sekolah man
**Dari pihak ibu, Iroh memang masih memiliki paman dan bibi. Tetapi keluarganya itu sudah terpisah-pisah, merantau jauh entah ke mana, sejak Iroh masih kecil lagi, hingga sekarang mereka semua sudah lost contact sama sekali.Lalu dari pihak ayah, Iroh masih mempunyai saudara, dua orang, yang sesungguhnya merupakan sepupu ayahnya itu.Sekarang, keduanya tinggal di Cibinong, di bilangan Bogor sana. Hubungan silaturahmi antara Iroh dan keluarga kedua pamannya itu masih terjaga sampai sekarang.Di waktu-waktu tertentu, cuti lebaran misalnya, Iroh kerap berkunjung ke Cibinong, menyambangi pamannya itu.Jadi, keluarga yang Iroh maksud di dalam percakapan kami tadi, adalah keluarga paman yang di Cibinong itu. “Kamu yakin kan, Mas?”“Yakin dengan apa?” Tanyaku heran.“Yakin dengan keputusanmu ini?”“Tentu saja.”“Kamu tidak menyesal? Toh aku hanya seorang janda
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments