Share

Bab 2

Ucapan Nenek sungguh sangat mengiris hatiku. Bulir-bulir bening jatuh mengenai wajahku. Saat ini aku sudah berada di kamar. Setelah ucapan Nenek yang menyakitkan itu terlontar dari bibirnya, aku langsung berlari ke kamar dan mengurung diri. Nenek hanya mencibirku dan mengatakan aku cengeng. 

Aku tau jika selama ini aku tidak diinginkan oleh Nenek. Tapi, kenapa Nenek tega mengatakan itu. Apakah semua yang kulakukan selama ini tidak pernah berarti di mata Nenek?

Aku sudah berusaha untuk tidak menyusahkan Nenek. Sejak usiaku sepuluh tahun, aku sudah ikut tetangga bekerja apa saja di kebunnya. Dari mulai mengutip singkong, mengutip kacang, dan apapun itu yang bisa menghasilkan uang untuk bisa membeli keperluan sekolahku.

Sedikitpun, aku tidak pernah meminta Nenek untuk membelikan buku, walau hanya satu lembar saja. Aku tahu diri. Aku sudah tidak diinginkan oleh Bapakku, dan hanya nenek yang mau menerimaku. Aku sudah sangat bersyukur dan selalu berusaha untuk tidak menyusahkannya.

Tapi, ternyata semua masih sama saja. Aku hanya dianggap beban. 

Saat sudah lulus SMA, aku bekerja di kebun karet milik Nenek. Semua hasilnya aku serahkan pada Nenek dan aku tidak memintanya sedikitpun. Aku juga masih bekerja di warung sembako setelah selesai menyadap karet. Uang gajinya juga masih kuserahkan pada Nenek. Aku hanya mengambil seperlunya saja. Hanya jika ramadhan tiba, semua uang gajiku kupegang sendiri untuk membeli pakaian. Itu juga masih harus membelikan pakaian Nenek juga. 

Aku sudah berusaha semandiri itu. Tapi, kenapa Nenek masih menganggapku beban? 

Mungkin, aku memang harus pergi dari rumah ini. Jika menurut Nenek baktiku yang terakhir adalah menikah dengan lelaki pilihannya. Maka aku akan menikah saja. Setelah itu, aku tidak akan lagi mengganggu kehidupannya. 

****

"Sarah, lekaslah mandi. Sebentar lagi calon suamimu datang," ucap Bude Wati mengambil alih pisau yang kupegang dan melanjutkan pekerjaanku. 

Hari ini, setelah tiga hari Nenek mengatakan jika ingin menjodohkan cucunya, lelaki itu akan datang bersama keluarganya. Bukan untuk lamaran. Tapi, hanya untuk saling mengenal saja. 

Mbak Neni benar-benar menolak mentah-mentah lelaki itu. Jadi, sebagai gantinya. Akulah yang harus menerima perjodohan ini. 

"Pekerjaanmu sudah selesai?" tanya Nenek, saat aku hendak masuk ke kamar mandi.

"Belum, Nek. Tadi diambil Bude Wati. Katanya, aku diminta mandi," jawabku. 

"Halah. Ngapain mandi. Mau mandi atau enggak, wajah kamu tetap gitu aja, nggak akan berubah!" ketus Mbak Neni yang sudah cantik dan rapih dengan pakaian dan make upnya. 

Aku hanya bisa menghela napas. Jika menjawab omongannya, pasti Nenek marah padaku. Jadi, lebih baik aku diam saja. 

"Sudah cepat sana mandi! Ngapan lagi pakai ngelamun di situ!" seru Nenek dan membuatku menoleh padanya. 

Aku sedikit membungkukkan badan dan melewatinya menuju kamar mandi. 

Tak butuh waktu lama, aku segera menyelesaikan acara mandiku. Setelah itu, aku berganti pakaian yang menurutku masih bagus dan warnanya belum memudar.

Mau bagaimana lagi. Semua pakaianku tidak ada yang bagus. Aku hanya membeli pakaian bagus jika hanya lebaran tiba saja.

"Sarah, cepatlah. Calon mertuamu sudah sampai itu. Kamu dandan seperti apapun, hasilnya tetap gitu-gitu saja!" Mbak Neni menggedor pintu kamarku seraya berteriak, tidak sabaran. 

"Iya, Mbak. Aku udah selesai, kok," sahutku setelah memoleskan lipgloss pada bibir keringku. 

Aku keluar dan berjalan bersama Mbak Neni. Kami berdua menuju ruang tamu di mana para tamu sudah duduk di sana. 

Aku menyapukan pandangan ke para tamu. Lelaki mana yang akan dijodohkan denganku? Di sana hanya ada dua lelaki. Dan semua wajahnya tampak sudah berumur. Apakah usia tiga puluh dua tahun sudah setua itu? 

Ya Tuhan. Aku pikir, tidak setua itu. Apakah aku harus melarikan diri saja, saat pernikahan nanti? 

Bahkan, dari keduanya lebih cocok jadi bapakku ketimbang suamiku. Apakah dia miliki penyakit penuaan dini? 

Aaiihh, pikiranku. sudah berkecamuk tidak karuan. 

"Duduklah, di sini," ucap Nenek, seraya menepuk sofa kosong di sampingnya. 

Mbak Neni langsung menjatuhkan b* kongnya di sebelah Nenek. Dan aku duduk di sebelah Mbak Neni. 

"Mereka berdua ini, cucuku," ucap Nenek, diiringi suara tawa renyahnya. 

Wanita di depanku juga tertawa dan tersenyum mentap kami bergantian. 

"Cantik, cantik sekali cucu Mbak Menik," ucap wanita yang kutaksir usianya lebih muda jika di bandingkan Nenek. 

Wanita itu cantik dan anggun di usianya yang tak lagi muda. Kulitnya juga putih dan bersih bila dibandingkan denganku yang lumayan gelap karena sering menyadap karet di kebun. 

"Wah, kamu itu, Dek Sari. Bisa saja memujinya." Nenek kembali tertawa, ramah. 

"Jadi, apakah dua-duanya mau jadi mantu saya?" tanya wanita yang dipanggil Nenek dengan sebutan Sari, itu. 

"Ah, tidak dong, Bu. Saya tidak mau. Anak Ibu, bukan level saya. Kalau petani seperti anak Ibu, cocoknya disandingkan dengan adik sepupu saya ini." Mbak. Neni memegang pundakku dan sedikit mendorongnya ke depan. 

"Dia kerjanya di kebun, pendidikan juga cuma tamat SMA. Nah, kalau saya ini lulusan kebidanan. Jadi, yang cocok menjadi suami saya adalah Polisi, tentara, PNS, Anggota DPR, ya, pokoknya yang setara lah." Mbak. Neni tersenyum dipaksakan sambil mengibaskan tangannya. 

Wajah Bu Sari langsung berubah. Ada guratan ketidaksukaan saat melihat tingkah Mbak Neni. Mungkin ia tersinggung anaknnya direndahkan seperti itu. 

Kedua lelaki di samping Bu Sari juga sudah terlihat sedikit tidak bersahabat. 

"Neni!" tegur Nenek, menyenggol pelan pundak Mbak. Neni. 

"Maaf, ya, Dek Sari. Cucu saya ini, kalau ngomong suka ceplas-ceplos." Nenek menatap Bu Sari tak enak. 

Wanita itu berusaha tersenyum meski dipaksakan. 

"Bu, Pak, silahkan diminum dulu teh-nya." Aku mencoba mencairkan suasana dengan meminta mereka meminum teh yang sudah disuguhkan. 

Bu Sari menatapku. Ia kemudian mengangguk dan tersenyum padaku. 

Aku juga membalasnya dengan senyuman. 

"Dia, yang akan saya jodohkan dengan anakmu, Dek Sari," ucap Nenek seraya menunjukku. 

"Ah, iya, Mbak Menik. Dia juga cantik dan sederhana." Bu Sari kembali menatapku dengan senyuman di wajahnya. 

"Siapa nama kamu, Nak?" tanya Bu Sari saat pandangan kami bertemu. 

"Sarah, Bu," jawabku tak lupa mengukir senyum.

"Kamu memang cocok jadi menantu saya." Bu Sari menyeruput tehnya lalu ia letakkan kembali ke meja. 

Aku mencoba memberanikan diri melihat ke arah samping Bu Sari, untuk meyakinkan diri bahwa salah satu dari mereka adalah calon suamiku. Tapi ternyata, aku tetap sedikit bergidik membayangkannya. 

"Nak Sarah, kamu jangan berpikir salah satu dari mereka adalah calon suamimu. Anak ibu hari ini tidak ikut karena masih sibuk dengan pekerjaannya."

Seperti bisa membaca isi hatiku, Bu Sari menjelaskan apa yang sudah memjadi pertanyaanku sedari tadi. Syukurlah jika bukan mereka. 

Wanita itu tampak tertawa dan diikuti kedua lelaki di sampingnya. 

"Kamu belum tau, ya, siapa mereka? Jadi, Bapak yang di sebelah sana, adalah supir keluarga kami. Dan Bapak ini, adalah adiknya Ibu," jelasnya seraya menunjuk kedua lelaki itu dengan sopan. 

"Yang mau jadi suami siapa, yang dibawa siapa? Emangnya, sesibuk apa sih petani itu? Palingan juga kerjanya cuma nyangkul doang. Masa iya, nggak ada waktu barang sebentar," ucap mbak Neni ketus. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status