Hening menyergap, debar jantung menjerat hingga bibir terpasung tak bisa terucap. Prims menatap seringai dari salah satu sudut bibir Arley yang tertarik. Kilatan matanya menggoda Prims, menyudutkannya hingga tak bisa bergerak. Alisnya yang lebat terangkat sebelah saat dia sekali lagi bersuara. Kali ini bibirnya mendekat di telinga Prims. “Apapun pilihanmu, aku bisa mewujudkannya.” Kemudian dia menarik wajahnya dan mengamati setiap sudut wajah Prims sekali lagi. Prims menelan ludahnya gugup, berpikir bahwa ini bukan saatnya untuk termakan bujuk rayunya, apalagi diam dan menerima desakan. Setelah beberapa kesempatan sebelumnya Arley membuatnya salah tingkah, ‘Ini waktunya melawan,’ pikirnya menggebu penuh tekad. Alih-alih meremas tangannya guna meredam kegugupan, Prims justru mengangkat dagunya. “Ternyata benar yang aku katakan tentangmu tadi, Tuan Arley,” ucapnya dengan tawa lirih yang menyiratkan ejekan. “Apa?
“Wanita sepertimu tahu apa soal masalah begini? Jangan ikut campur kamu!” hardik Katie sekali lagi.Suaranya serak, menyiratkan kebencian yang besar. Menatap Prims dengan dadanya yang naik turun tak beraturan.Prims menghela napasnya, memberi beberapa detik untuknya tenang sebelum pelan-pelan mengatakan alasan dia bertanya seperti itu. “Maaf ... aku hanya ingin membantu saja, Nyonya.”Katie tertawa mendengarnya, dia mendengus semakin marah saat jari telunjuknya menuding Prims, menolak uluran tangan menantunya itu sekali lagi, “Kamu bukan di level kami untuk mengerti hal seperti ini. Jadi berhentilah mempermalukan dirimu sendiri!”Kemarahannya menggema di setiap sudut ruangan.
Hening dalam rasa kagum seketika menjalari seisi ruangan begitu Alice mengatakan bahwa dirinyalah si pemilik identitas Rosefiore sang pelukis legendaris yang namanya disanjung harum oleh semua undangan, tak terkecuali Katie yang masih belum mengalihkan matanya dari Alice sama sekali.“Sungguh itu kamu, Alice? Benar begitu, Profesor Mashe?”Netranya kemudian beralih pada Profesor Mashe yang terpaku di tempatnya berdiri.Bibir pria berambut putih itu bergerak samar namun tanpa suara. Tatapannya sejenak kosong mengarah pada satu titik sebelum mengedipkan mata sebanyak beberapa kali kemudian menjawab Katie dengan senyum simpul disertai sebuah anggukan“Astaga, Alice ... bagaimana aku harus berterima kasih padamu?” tanya Katie kembali memandang Alice dengan tangannya yang mengusap lembut pipi merona gadis itu. “Kamu memang luar biasa. Benar yang dikatakan orang di luar sana kalau kamu memang sempurna. Seperti inilah cara wan
Melihat Arley yang pergi dan meninggalkannya tanpa memberitahu keperluan apa yang dia lakukan di Fairmount Hotel membuat Prims memikul banyak pikiran.Harusnya Prims tidak perlu terbebani tentang hal ini. Ke mana Arley pergi, atau apa yang akan dia lakukan di luar sana, Prims tidak berhak mengaturnya, ‘kan?Dan bukankah ia harusnya sadar diri bahwa mereka memang tak sedekat itu untuk berpamitan atau mengatakan apa yang dilakukannya di luar sana?Prims meraba dadanya yang terasa sesak, “Kenapa hatiku sesakit ini?” tanyanya pada diri sendiri.Ia menunduk, menatap Persian rug di mana Arley berdiri di sana sebelumnya. Bau parfumnya yang maskulin masih tertinggal di sekitar Prims, sedang pemiliknya sudah dalam perjalanan untuk bertemu dengan wanita pilihan ibunya.Merasakan hatinya yang bergejolak, Prims menanyai dirinya sekali lagi, “Apa aku jatuh cinta padanya?” Yang jika hati kecilnya menjawab dengan ‘iya’ ar
Segala kata tertahan di bibir Prims, ingin dia luapkan teguran untuk keduanya yang seperti tidak memiliki beban saat berjalan berdampingan sekeluarnya dari dalam lift.Prims mengambil satu langkah ke depan, lisannya telah menyiapkan banyak tanya. Dari apa yang sedang mereka lakukan di sini, atau mengapa hanya mereka berdua saja?Namun, hal itu dia urungkan. Prims mempertimbangkannya sekali lagi. ‘Akan jadi apa nama baik keluarga Miller seandainya aku membuat malu Arley di sini?’Bukan hal yang baik jika dirinya memicu keributan dan menjadi konsumsi publik. Jika hal itu ia lakukan ... “Bukankah yang ada Nyonya Katie akan semakin membenciku?” gumam Prims dengan membuang napasnya.Kakinya dia minta untuk mundur teratur, ia memilih untuk menahan diri. “Sebaiknya aku tanyakan langsung pada Arley nanti kalau dia sampai di rumah,” lanjutnya mengambil keputusan.Barangkali ... itu adalah hal yang paling benar.Pri
Selama beberapa detik, dunia seperti sedang menahan napas hanya untuk menunggu Arley memberi Prims jawaban.Selagi gadis itu tidak mengalihkan matanya dari iris kelam Arley, pria yang duduk di hadapannya itu masih mengatup kedua bibirnya. Saat Prims berpikir bahwa Arley akan menjawab ‘tidak’, yang didengar oleh Prims justru sebaliknya.“Iya,” ucap Arley dengan sebuah anggukan.Dia mengatakan kejujuran tetapi Prims malah berpikir jika dia mulai terang-terangan mengakui hubungannya dengan Alice, wanita pilihan ibunya.Prims menundukkan kepalanya, perubahan wajahnya yang terlihat sendu dan kilatan kemarahan yang dijumpai Arley pada matanya yang cantik membuatnya tersenyum kecil. Seolah ekspresi yang diperlihatkan oleh wajahnya itu adalah kombinasi yang unik.“Tahu dari mana kamu kalau aku bertemu dengannya?” tanya Arley untuk menghancurkan keheningan yang memeluk mereka. Dan berhasil membuat Prims mengangkat w
Raga seorang perempuan yang dia sukai?Begitukah yang dikatakan oleh Arley?Prims tentu saja terkejut mendengar hal itu karena Arley sepertinya mengatakannya dengan tanpa sadar.“A-apa yang ... T-Tuan Arley katakan?” tanya Prims dengan gugup. Dadanya bergemuruh mengundang rasa nyeri yang aneh.Ia menunggu jawaban Arley, kepala pria itu masih menunduk sebelum terangkat kemudian barulah dia menanggapi Prims, “Apa yang kamu dengar memangnya?”Jika indera pendengarannya salah, Arley pasti akan menganggap Prims sebagai si percaya diri yang menggelikan karena menganggap Arley mengatakan perihal perasaannya.“T-tidak ada,” jawab Prims dengan suara yang sedikit serak. “M-mungkin aku salah.”Hela napas Arley terdengar sekali lagi sebelum dia kembali berujar, “Kamu ceroboh sekali, Primrose.”“Kenapa?”“Karena kamu sudah melukai di
Di mata Prims, ia bisa menebak jika saat ini Alice sangat tidak suka dengan yang dia lakukan. Rasa benci itu terlihat cukup besar di kedua matanya.Gadis itu juga tak bisa bertingkah banyak. Ia tak mungkin melarang Prims menyentuh Arley karena bagaimana pun mereka adalah pasangan. Prims adalah istri sah Arley Miller.Dan karena di depan banyak orang, Alice jelas tidak bisa melakukan hal mencolok karena dia harus menjaga image anggun dan cantiknya, sehingga dia tetap berjalan mendekat dengan senyum yang terbit di kedua sudut bibirnya.“Halo, Kak Prims,” sapanya dengan sekilas melambaikan tangan, memutuskan tak hanya menyapa Arley saja.“Hai,” balas Prims singkat, mempererat pelukan tangannya di lengan Arley yang tak bergerak di tempatnya berdiri di