Share

6. Tekanan dari Luar

last update Last Updated: 2024-09-05 07:00:41

[Kok kontennya berdua terus? Suaminya mana, Kak Re?]

[Kalo ngontennya selalu bawa anak gini, bisa masuk eksploitasi nggak, sih?]

Aku mengembuskan napas lelah membaca komentar-komentar di video Youtube terbaruku. Padahal dalam VLog yang baru diunggah oleh timku, aku dan Naomi sedang bersenang-senang bersama membuat salad buah. Video itu menampilkan saat kami mulai pergi ke pasar, memilih buah, mengupas, memotong-motong, sampai mengolahnya menjadi semangkuk salad yang menggoda. Meski cukup melelahkan, tetapi sepanjang proses syuting waktu itu pun Naomi menikmatinya dengan ceria. Namun, yang namanya orang telanjur tidak suka, pasti akan terus mencari-cari cela orang lain.

Ya, beginilah kehidupanku yang tak lepas dari sorot kamera. Menampilkan hal baik di depan kamera saja masih ada yang mencibir, apalagi kalau sampai terang-terangan kepergok berbuat salah. Rasanya seperti tidak ada yang aman, kecuali jika aku mengunci diri sendirian di rumah. Sedangkan begitu keluar atau berinteraksi dengan orang lain, seolah ada kamera tak kasatmata yang terus menyorot tindak-tandukku.

Sebenarnya memiliki haters bukanlah hal baru dalam hidupku, lebih-lebih semenjak jadi influencer terkenal. Aku pun sudah kenyang makan nyinyiran netizen, bukan cuma sekali-dua kali ini. Aku mencoba tidak ambil pusing dan berlindung di balik kalimat afirmasi positif, "Namanya juga orang hidup, sebaik apa pun pasti akan ada yang tidak suka." Hanya saja, belakangan ini kadarnya semakin intens sehingga cukup membuat khawatir akan berpengaruh pada job yang masuk. Tidak hanya itu, kku pun bukan robot yang bisa terus-menerus membutakan mata dan menulikan telinga. Kata-kata toxic itu sedikit banyak mulai mempengaruhi mentalku yang sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja.

"Kak Re, respons penonton akhir-akhir ini kurang bagus. Yang nonton video kita juga nggak sebanyak dulu," ungkap Rina di tengah acara meeting tim. Seperti biasanya, dalam seminggu aku dan anggota timku mengadakan rapat tiga sampai lima kali untuk membicarakan hasil kinerja kami dan rancangan proyek selanjutnya. Tentu di luar keperluan untuk syuting.

Aku mendengkus. Tanpa Rina beri tahu pun, aku sudah tahu karena selalu mengecek channel YouTube dan media sosialku sendiri.

"Apa kita perlu bikin VLog kontroversial kayak dulu lagi, ya?" usul Aldo. Dia memang hampir sama lamanya dengan Rina bekerja bersamaku sehingga tahu betul sepak terjangku mulai dari awal merambah dunia influencer sampai sekarang. Beberapa kali kami membuat video kontroversi yang bikin heboh masyarakat, seperti membuang slime ke lubang kloset pesawat jet pribadi, bikin sesi pemotretan di tengah kemacetan perempatan jalan, sampai mengajak bayi Naomi yang masih berumur 6 bulan naik flying fox. Namun, untuk kali ini aku langsung menggeleng tegas.

"Nggak! Nggak! Ide itu mungkin bisa dongkrak viewer kita secara cepat, tapi nggak bertahan lama. Justru impact-nya setelah itu malah makin banyak haters dan mungkin juga yang unsubscribs channel kita," kataku memberi pandangan. Tentu aku masih ingat betul bagaimana netizen menyerangku usai merilis video-video kontroversi itu. Aku jadi harus meminta maaf dan klarifikasi sana-sini. Memang sih, dampaknya aku jadi banjir job dan dapat penghasilan banyak, tapi efek secara psikologisnya itu, lho! Aku tidak yakin diriku sekarang akan mampu menghadapinya.

Membuat kontroversi memang bisa bikin cepat tenar. Namun, jika terlalu banyak menciptakan sensasi, seorang influencer atau selebritis papan atas pun bisa berbalik jadi musuh masyarakat. Inilah yang kuamati dari dunia entertainment. Aldo dan rekan-rekan lain pun tampaknya setuju dengan pendapatku, melihat gerakan kepala mereka yang mengangguk-angguk.

"Kalau gitu, ada lagi yang punya ide lain, nggak?" Rina melempar pertanyaan itu dengan nada putus asa.

Semua yang ada di ruangan terdiam. Masing-masing berusaha memutar otak demi menemukan ide konten yang kreatif. Kuakui, aku sendiri pun sudah buntu. Ditambah lagi masalah dengan Mas Sandy membuat beban pikiranku semakin bertambah.

Tiba-tiba Rina yang duduk di sebelah kananku menyenggol sikuku yang terlipat di atas meja.

"Kak, Kak, kalau ngajakin Kak Sandy ikut VLog kita bisa nggak, ya? Kayaknya itu yang lagi ditunggu orang-orang," katanya dengan suara setengah berbisik.

Aku langsung menggeleng. "Nggak bisa, Rin. Susah. Mas Sandy sekarang sibuk orangnya," kilahku. Padahal jelas itu hanya alasan. Setahuku Mas Sandy belum menandatangani proyek kerja sama apa pun lagi. Namun, meski begitu dia tetap keluar rumah setiap hari.

Jangankan mengajak ikut tampil di VLog-ku. Sudah tiga harian ini kami tidak saling berbicara. Lebih tepatnya, sejak pertengkaran di meja makan yang membahas soal f*e syutingnya waktu itu.

Mengingatnya membuat dadaku sesak. Bukankah hal yang wajar jika seorang istri menanyakan gaji suaminya? Meski aku sendiri juga bekerja dan menghasilkan uang, tentu aku tidak akan menolak jika Mas Sandy memberiku nafkah, sebagai bentuk penghormatan kepadanya yang merupakan kepala keluarga. Selama ini aku tidak pernah mempermasalahkan pendapatanku yang jauh lebih besar. Mas Sandy pun seharusnya juga mengetahui hal itu. Padahal dulu saat ia masih bekerja di bank, secara rutin dia menyampaikan berapa gaji yang ia peroleh dan menjelaskan pula secara rinci rencana pengeluaran-pengeluarannya. Aku cukup mendengarkan dan tidak keberatan atas apa pun. Mengapa sekarang dia tiba-tiba berubah?

Aku merasa tidak salah—tentu saja seperti yang aku bilang tadi, wajar kan istri bertanya soal gaji suaminya? Maka dari itu aku ogah meminta maaf duluan. Bukan perkara gengsi, tapi aku berharap Mas Sandy peka dan bisa menghargai bagaimana perasaanku.

Sayang, kurasa Mas Sandy pun memiliki pemikiran yang sama denganku. Atau justru sebenarnya dia tidak peduli, mau aku marah, ngambek, atau apa pun?! Buktinya dia sama sekali tidak mengirimkan pesan atau menelepon saat aku mendiamkannya sekarang. Aku juga tidak tahu ke mana laki-laki itu pergi setiap hari.

"Duuuh ... gimana ini, ya? Buntu!" Aku sedikit terperanjat saat Bunga, salah satu anggota timku yang lain yang bertugas mengedit video, tiba-tiba mengeluarkan keluhannya. Total enam orang di ruangan itu masih tetap membisu sambil sesekali saling melempar pandangan.

Aku menggeleng, berusaha menepis pikiran soal permasalahan rumah tanggaku dari kepala. Di saat seperti ini seharusnya aku memikirkan tentang pekerjaan terlebih dahulu.

"Coba cari-cari ide di internet dulu, deh! Bentar, ya, aku mau ambil laptop dulu di kamar," pamitku seraya meninggalkan ruang meeting. Tentunya pertemuan kali ini pun dilakukan di rumahku, sehingga aku bebas pergi-pergi sesuka hati.

Kuayunkan langkah menyusuri koridor yang lengang menuju kamar. Rumah besar ini terasa sepi, apalagi jika rekan-rekan timku sudah pulang. Hanya ada aku dan Naomi, serta Mbak Mala dan dua ART lain. Sementara Mas Sandy yang semakin jarang pulang membuatnya terasa kian hampa.

Aku mendesah lelah. Mengapa kehidupan rumah tanggaku jadi seperti ini?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dibuang Setelah Numpang Tenar   56. Apa yang Mereka Katakan?

    "Biasa aja kali, Re, mukanya!" celetuk Feri sambil terkikik, sementara tatapan matanya menembus maskermu yang menutupi sebagian besar wajah. "Seperti yang aku bilang tadi, kan, kafeku ramai karena endorse-an gratis. Justru harusnya aku yang bilang makasih." Aku hanya bisa memutar bola mata di balik masker, meski tak yakin ekspresiku benar-benar tersembunyi. Entah bagaimana, hawa panas mulai merambat dari tengkuk hingga pipiku. Memalukan. Bagaimana mungkin Feri, pria cuek yang tampaknya tidak doyan gosip, tahu soal huru-hara rumah tanggaku? Apa kabar dunia? Gosip itu pasti lebih liar dari yang kubayangkan, bahkan orang sepertinya sampai tahu. Sekilas, pandanganku menyapu sekeliling ruang tunggu rumah sakit yang tampak lengang, hanya beberapa orang duduk berjauhan, tenggelam dalam urusan mereka sendiri. Semua tampak tenang, seolah aku satu-satunya yang terjebak dalam pusaran perasaan tak karuan. Tunggu, tunggu! Otakku kembali berputar. Dulu saat di Bali, aku sama sekali tidak membuka

  • Dibuang Setelah Numpang Tenar   55. Pertemuan Tak Terduga

    Aku terus melangkah menyusuri lorong rumah sakit dengan langkah cepat, tetap menjaga maskerku erat-erat menutupi hampir seluruh wajahku. Kewaspadaan ini terasa penting—meski tadi sudah cukup tenang setelah selesai membuat video di kamar Naomi, aku tidak mau mengambil risiko. Nama besarku di dunia YouTube memang membawa banyak keuntungan, tapi di saat-saat seperti ini, aku ingin bisa bersembunyi dari sorotan mata orang-orang. Sesekali aku melirik ke kiri dan kanan, memastikan tak ada satu pun orang yang mengenaliku. Beberapa petugas rumah sakit berlalu lalang tanpa menghiraukan kehadiranku, yang membuatku sedikit lebih lega. Mungkin mereka mengiranya aku seperti penjenguk atau keluarga penunggu pasien biasa. Dengan masker yang menutupi sebagian besar wajah, aku berharap penyamaranku ini sudah cukup.Namun, kenyataan yang sebenarnya belum aku sadari, aku sungguh payah dalam hal menyamar."Re? Kamu Re, kan?" Sebuah suara terdengar di belakang punggungku. Ayunan kakiku langsung terhenti.

  • Dibuang Setelah Numpang Tenar   54. Kembali ke Permukaan

    Satu jam kemudian, ruang rawat inap Naomi sudah penuh dengan anggota tim dan peralatan syuting kami. Ruangan berwarna pastel itu terasa hidup dengan tawa dan canda mereka, meskipun di sudut lain, Naomi terbaring lemah di ranjang. Kebetulan Naomi baru bangun dan hendak aku suapi sarapan dari bagian gizi rumah sakit. Aroma bubur hangat memenuhi udara, memberikan sedikit harapan untuk perut kecilnya yang sudah terlalu lama kosong."Dimulai sekarang aja ya, syutingnya," kataku pada yang lain. Semua setuju dan langsung siap ke posisi masing-masing. Mereka sudah terbiasa dengan situasi ini, siap untuk bekerja meskipun keadaan Naomi yang belum sepenuhnya pulih. Aldo, sebagai cameraman, memeriksa semua peralatan dengan seksama, sementara Bunga dan Tika menyiapkan tempat duduk dan merapikan ruang agar terlihat rapi.Aldo memberi aba-aba dengan isyarat jari. Tepat pada hitungan ketiga, dia menyalakan kameranya. Suasana di ruangan itu menjadi tegang namun penuh semangat, meski ada kekhawatiran y

  • Dibuang Setelah Numpang Tenar   53. Jatuh Sakitnya Anakku

    "Anak Anda mengalami infeksi saluran pencernaan. Suhu tubuhnya tinggi karena reaksi tubuhnya yang berusaha melawan infeksi tersebut dan diperparah dengan kondisi dehidrasi, atau kekurangan cairan."Kata-kata dokter itu seakan menghantamku dengan kekuatan penuh. Refleks, kedua tanganku menutup mulut, seakan berusaha menahan napas yang mendadak terasa berat. Infeksi saluran pencernaan? Apa ini ada hubungannya dengan makanan yang aku berikan kemarin? Aku teringat Naomi memakan beberapa jajanan dari luar tanpa banyak pertimbangan. Sungguh, jika memang itu penyebabnya, betapa besar rasa bersalah yang kurasakan sekarang."Ta-tapi kondisinya nggak apa-apa, kan, Dok?" tanyaku dengan suara bergetar. Meskipun dokter sudah menjelaskan, ketakutan masih menghantui pikiranku. Apa yang akan terjadi pada Naomi? Apakah kondisinya serius? Apakah ada kemungkinan buruk yang mungkin belum dikatakan oleh dokter?"Kami sudah memasang infus dan memberinya cairan. Semoga dehidrasinya segera teratasi dan demam

  • Dibuang Setelah Numpang Tenar   52. Bencana Tak Terduga

    Keesokan paginya, aku terbangun oleh teriakan Naomi yang memecah keheningan, sangat keras hingga tembus dinding kamarku. Seketika aku melompat bangun, jantungku berdetak kencang. Tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Langsung saja aku berlari menuju kamar Naomi yang berada di sebelah."Undaaa!!!" Naomi kembali meraung di tengah-tengah tangisnya, memanggilku dengan suara yang terdengar putus asa.Dengan napas yang masih belum stabil, aku masuk ke kamarnya. Kamar itu remang-remang, tirai jendelanya masih tertutup rapat. Aku bahkan tidak sempat terpikir untuk menyalakan lampu terlebih dahulu. Hanya dengan beberapa langkah cepat, aku sudah mencapai sisi tempat tidurnya."Naomi! Ada apa, Sayang?" tanyaku setengah panik.Tapi ucapanku terhenti, begitu pula langkahku, ketika telapak kakiku merasakan sesuatu yang basah dan lengket di lantai. Mata ini segera beralih ke bawah, dan aku langsung melihat genangan muntah berwarna pucat yang menyebar di sekitarnya."Ya ampun, Naomi! Kamu muntah?"

  • Dibuang Setelah Numpang Tenar   51. Energi yang Terkuras

    Wawancara itu hanya berlangsung tiga puluh menit dan berjalan dengan lancar. Ada untungnya aku menyuruh Bunga membuat daftar pertanyaan dan jawaban untuk dicocokkan Rina dengan tim kreatif televisi sehingga tidak ada pertanyaan yang menyimpang. Rasanya, beban yang semula menghimpitku sedikit terangkat. Wawancara yang terasa mengintimidasi itu akhirnya berakhir tanpa masalah.Lampu-lampu sorot mulai redup, dan aku menghembuskan napas panjang, lega. Kaki yang tadinya terasa kaku akhirnya bisa kulemaskan saat turun dari panggung. Aku memutar pergelangan tangan dan mengusap leherku yang tegang. Sesaat, aku berharap bisa duduk sebentar di ruang ganti dan menyesap segelas kopi. Tapi ketenangan itu tak bertahan lama.Dari kejauhan, kulihat sosok kecil Naomi berlari menghampiri dengan wajah cemberut dan matanya yang berkaca-kaca. Ia kembali merengek, “Unda, Nao lapar!”Deg. Seketika kelegaanku menguap. Aku sudah mengatur semuanya agar Naomi tenang dan nyaman selama aku syuting, tetapi tetap s

  • Dibuang Setelah Numpang Tenar   50. Huru-Hara Sebelum Comeback

    Seperti yang kuduga, jalanan mulai padat saat kami baru memasuki kawasan kota. Mobil-mobil berdesakan, klakson bersahut-sahutan, dan rasanya setiap detik yang berlalu menambah ketegangan di dadaku. Sesekali aku menoleh ke samping, memastikan Naomi masih tenang dengan tab-nya, sementara Aldo di kursi depan terus melirik jam tangan dengan gelisah. Tidak ada waktu sampai setengah jam lagi sebelum syuting, dan aku tak mau terlambat.Pertanyaan yang sempat dilontarkan Naomi tadi kembali mengusikku. Saat aku mencoba menggali lebih lanjut sambil menahan gejolak di dadaku tadi, ia justru menyengir polos."Sayang, kamu ... tahu dari mana kalau Bunda nanti mau jelasin soal alasan nggak syuting?" tanyaku sambil membelai lembut kepalanya, meski aku yakin kebingungan tampak jelas di wajahku."Ngg ... tadi Nao dengan sedikit-sedikit dali omongan Unda, Kak Lina, Kak Bunga, sama Kak Tika," jawabnya lugu.Senyum yang tersungging di bibirku terasa kaku. "Nao, menguping pembicaraan orang lain itu nggak

  • Dibuang Setelah Numpang Tenar   49. Wawancara Pertama

    Tepat dua minggu setelah mengumumkan pamit dari YouTube, aku memutuskan untuk kembali menampakkan diri. Undangan untuk mengisi wawancara perlahan berkurang karena aku terus menerus menolak. Itu tandanya, perhatian masyarakat padaku mulai beralih, sehingga aku perlu menariknya kembali.Rina sudah menyiapkan segalanya. Aku mengatakan padanya untuk mengiakan tawaran syuting yang masuk esok hari. Ini adalah wawancara pertamaku yang akan membahas soal keputusanku pamit dari YouTube. Aku tahu, dengan sedikit drama dan sentuhan emosi, publik akan kembali tertarik padaku. Sebuah kesempatan yang harus kugunakan dengan baik."Rina! Tolong siapin apa yang sekiranya perlu aku bawa, ya. Tika, tolong make up-in aku tipis-tipis aja," ujarku sambil merapikan blus yang baru saja kuminum. Aku menatap pantulan wajahku di cermin, sedikit lebih kusut dari biasanya, tetapi itulah yang membuat semuanya lebih nyata—lebih personal.Pukul setengah enam pagi. Matahari baru menyembul di balik gedung-gedung tingg

  • Dibuang Setelah Numpang Tenar   48. Cutinya Mbak Mala

    "Aw!" "Maaf, Bu! Maaf!" Mbak Mala langsung membungkuk-bungkuk panik, tangannya mencengkeram sepiring nasi dan lauk-pauk yang untung saja tidak sampai tumpah. Aku mengernyit sambil mengusap bahu yang bertabrakan. "Udah, udah, Mbak, nggak apa-apa!" ucapku sambil menggoyangkan kedua tangan di depan dada, memberi isyarat agar dia berhenti. Sejujurnya, ini murni kesalahanku. Pikiran yang berkelana jauh membuatku lengah, sehingga kami bertabrakan di lorong sempit menuju ruang makan. Mbak Mala masih terlihat gelisah, matanya berlari-lari tak menentu. "I-iya, Bu. Maaf, Bu, saya nggak lihat." "Enggak, ini salahku juga," jawabku cepat, mencoba meredakan ketegangannya. Namun, raut wajahnya yang tak kunjung rileks membuatku merasa ada sesuatu yang salah. Aku memperhatikan dia lebih dekat, melihat tubuhnya yang sedikit gemetar. "Mbak Mala ada apa? Kok kayaknya buru-buru?" tanyaku sambil menyipitkan mata, firasatku mulai merasa tidak enak. "I-iya, Bu... anu...," Mbak Mala terlihat semakin ca

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status