Nur menatap Faisal sebentar, sebelum akhirnya menggeleng dengan tegas. “Nggak perlu! Ibu nggak mau denger alasan-alasan nggak masuk akal dari Farhan lagi.”
Farhan merasa tertekan, Farhan menyadari jika dia bersalah— tapi dia tidak menyangka jika Nur sampai semarah itu. Nur merasa semakin kesal karena Farhan hanya diam tanpa memberikan penjelasan yang memadai. “Kenapa kamu Melisah diem, Farhan? Melisas kamu nanggepin ibu? Selama ini kamu dibesarkan dengan cara apa sih? Kenapa kamu jadi gak punya kepedulian sama sodara kamu? Ibu jadi nyesel karena dulu biarin Ningsih ngerawat kamu!”
DEG! Mendengar nama bibi yang selama ini telah mengasuhnya, membuat Farhan merasa agak sakit hati dengan ucapan Nur.
“Kamu benar-benar egois! Hanya memikirkan dirimu sendiri tanpa memperhatikan perasaan orang lain. Kamu sudah dewasa, tapi perilakumu masih seperti anak kecil yang tidak bertanggung jawab!” maki Nur dengan nada menyalahkan.
“Dari awal Tomi pacaran sama kamu, kami udah gak setuju! Buktinya, kamu sengaja jebak Tomi biar tidur sama kamu kan, sampe kamu hamil? Kamu pake trik murahan itu biar Tomi gak ada pilihan lain kecuali nikahin kamu,” tuding Melisa.Farida menelan ludahnya, mencoba menahan air mata yang ingin tumpah. Tuduhan itu menyakitkan. Ia merasa terjepit di antara rasa malu dan keputusasaan. Apa yang bisa dia katakan dalam situasi seperti ini?Farida menatap kedua orang tua Tomi dengan penuh harap. “Ma, Pa, aku sama sekali gak pernah ada niat jebak Tomi. Aku sama dia saling mencintai,” ujarnya.Namun, Bondan menepis kata-kata Farida dengan sinis. “Perempuan seperti kamu itu banyak di luaran sana, emang dari awal ngincer anak orang kaya.”Farida menggeleng keras. “Itu gak benar, Pa,” ia bersikeras membela diri.“Buktinya apa?” sergah Melisa dengan nada tajam. “Selama ini Tomi selalu kasih uang bua
Mobil SUV merah meluncur lembut ke sisi jalan yang kurang ramai, sebelum berhenti di depan toko kain. Farhan melangkah keluar dari mobil, ekspresinya cerah meskipun hari sudah mulai mendung.Dia bergerak ke pintu penumpang dan dengan cepat membukanya. Alisha yang masih duduk di dalam mobil, terkejut oleh tindakan Farhan. Namun akhirnya dia tersenyum. “Makasih, padahal aku bisa buka sendiri.”“Aku tahu kamu nggak leluasa bergerak, Mbak. Makanya aku bantu kamu,” jawab Farhan.Alisha turun dari mobil dengan rasa haru yang tersembunyi di matanya, berpikir seandainya Faisal dulu sebegitu pengertian dan perhatian seperti Farhan, mungkin rumah tangganya tidak akan berantakan.Mereka berjalan bersama menuju pintu masuk toko, langkah Farhan disesuaikan dengan Alisha, dengan sengaja dia berjalan pelan untuk menyamakan langkah perempuan itu.Farhan memperhatikan Alisha yang belakangan semakin lambat dalam berjalan. Perempuan itu menump
Alisha memasuki ruangannya dengan langkah berat, dibuntuti oleh Farhan yang membawa kantong-kantong belanjaan mereka dari toko kain sebelumnya. Dia segera duduk di balik mejanya, wajahnya terlihat sayu.Farhan melihat ekspresi Alisha yang muram, merasa tidak tega melihatnya seperti itu. Pikirannya menerka-nerka, apa yang membuat Alisha terluka? Apakah mendengar kabar tentang rencana pernikahan Faisal yang akan datang?Ingatan Farhan kembali melayang pada beberapa saat lalu, di mana dia juga pernah memberitahu Alisha tentang Faisal yang sudah menemukan wanita lain. Niatnya saat itu hanya ingin meyakinkan Alisha untuk tidak terus-menerus memikirkan kakaknya yang bahkan tak pernah memikirkan dirinya. Namun, tanpa disadari, kata-katanya itu justru melukai perasaan Alisha. Farhan menyadari bahwa mungkin dia kurang peka terhadap perasaan wanita itu.Dengan hati yang terbebani oleh penyesalan, Farhan meletakkan barang-barang belanjaannya di sudut lantai ruangan. Dia ke
Hari pernikahan Faisal telah tiba, dan suasana di rumah dipenuhi dengan kesibukan yang tak terelakkan. Farhan keluar dari kamarnya, memperhatikan persiapan acara syukuran dan ijab kabul tidak akan lama lagi berlangsung di ruang tengah. Beberapa ibu tetangga tampak sibuk membantu, menyusun hidangan untuk tamu yang akan datang.Di antara keramaian, terdengar candaan dari ibu-ibu tetangga. “Farhan, kapan kamu nikah? Kakak kamu aja udah mau dua kali!” celetuk salah satu dari mereka, disambut dengan tawa riang yang memenuhi ruangan.Farhan hanya mengangkat bahu sambil tersenyum simpul. “Apa yang perlu dibanggain dengan kawin cerai, kawin lagi, Bu?” sindirnya dengan nada santai.Nur yang sedang sibuk di antara ibu-ibu tersebut, mendengar candaan itu dan segera menegur Farhan, “Farhan, kamu kok ngomong gitu?”Farhan hanya diam, merasa tidak ada yang salah dengan jawabannya barusan. Namun dia juga tidak ingin berdebat dengan ib
Alisha sudah berbaring di ranjang klinik Bidan Rose, mencoba menenangkan diri meskipun rasa gugup dan sakit semakin nyata dirasakannya. Cahaya matahari pagi yang lembut menyinari ruangan melalui jendela besar, menciptakan suasana hangat namun tetap tidak mampu mengusir kekhawatiran yang menggelayuti pikirannya.“Saya periksa bukaannya dulu, ya,” ujar Bidan Rose dengan suara lembut. Alisha mengangguk, menggigit bibirnya untuk menahan rasa sakit yang akan segera datang.Begitu tangan Bidan Rose melakukan pemeriksaan, Alisha meringis kesakitan. Dia menggenggam erat seprai ranjang, mengeluarkan desahan tertahan.“Aaahh…” ringis Alisha sambil memejamkan matanya, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah.Bidan Rose tersenyum simpul, mencoba memberikan semangat pada Alisha. “Pembukaan lima, Alisha. Masih agak lama kamu melahkan, sabar ya.”Alisha hanya bisa mengangguk, napasnya terengah-engah. Bidan Rose kemud
“Kamu laper gak, Mbak?” tanya Farhan penuh perhatian. “Aku beliin makan ya? Kamu butuh banyak tenaga.” Tawarannya membuat Alisha tersenyum tipis, mengangguk setuju atas tawaran tersebut.Farhan pun keluar untuk membeli makan. Tak lama kemudian Farhan kembali dengan bubur ayam, aroma harumnya memenuhi ruangan kecil klinik. Alisha yang terbaring di atas ranjang, memandang dengan mata lelah saat Farhan menyuguhkan makanannya.Farhan duduk di sampingnya, matanya penuh perhatian saat menyuapi Alisha. Dia berbicara dengan lembut, mencoba mengalihkan pikiran Alisha dari rasa sakitnya.“Ayo, makan dulu,” ucap Farhan lembut sambil menyodorkan sendok berisi bubur ayam.Alisha mengangguk lemah, dia membuka mulutnya perlahan, menerima setiap suapan makanan yang disuguhkan Farhan.Tatapan mereka bertemu, penuh dengan makna yang tak terucapkan. Di dalam hati, Alisha merasa bersyukur karena ada seseorang yang begitu perhatian padanya— meski dia sadar ta
Di lorong depan ruang bersalin, Farhan tampak duduk dengan kedua mata berkaca-kaca. Ekspresinya berubah menjadi lega ketika mendengar suara tangis bayi. Suara itu menghentikan belitan waktu yang panjang dan melelahkan, menggantikannya dengan kebahagiaan. Selama berjam-jam sebelumnya, dia mendengar jeritan penderitaan Alisha, dan sekarang suara bayi itu memberinya penghiburan.Bidan Rose dan asistennya keluar dari ruangan. Farhan segera bangkit dari kursi, menghampiri pintu. “Terima kasih, Bu Bidan,” ucapnya.“Sama-sama,” jawab Bidan Rose ramah. “Silakan masuk kalau mau lihat ponakannya. Sekalian diadzanin.”Farhan mengangguk dengan senyum tulus. “Baik, Bu. Terima kasih banyak.”Setelah Bidan Rose dan asistennya pergi, Farhan kembali masuk ke dalam ruangan. Ruangan itu penuh dengan suasana kebahagiaan meskipun masih terasa tegang. Farhan melihat Alisha terbaring lemah, namun senyum bahagia terukir di wajahnya
Tak sampai lima belas menit duduk, Farhan sudah ketiduran di sofa, wajahnya damai dan napasnya tenang. Alisha terdiam, memandang wajah pemuda itu yang entah kenapa terlihat makin tampan saat dia tertidur. Wajah teduh, hidung mancung, kulit kuning langsat, rahang tegas namun terkesan lembut, rambutnya agak mulai panjang tapi masih teratur—kombinasi yang seolah menyihir untuk terus menatapnya.“Gitu banget ngeliatin Farhan?” tiba-tiba Rona menyela, membuat Alisha kaget.“Ibu, bikin kaget deh,” ucap Alisha, agak salah tingkah.“Ganteng ya?” goda Rona dengan setengah berbisik.“Ssstt,” Alisha memberi kode agar Rona tidak berisik, sambil memandang Farhan yang tertidur pulas.“Malu ya kalo sampe ketahuan Farhan?” goda Rona lagi, lalu meletakkan mangkok sop di meja dengan senyum usil. Alisha tak menjawab karena malu.Rona duduk di samping Alisha, meraih bayi Alisha, dan menggendongny