Begitu Silvia sampai di rumahnya, dia merebahkan badan di sofa empuknya. Suasana berkabung masih begitu terasa. Semua kerabat dan keluarga masih berada di kediaman Silvia.Semua orang yang ada di ruangan itu hanya diam. Tak ada seorang pun yang bersuara. Hanya angin kesedihan yang memenuhi ruangan itu. Dari pancaran mata mereka semua Silvia menangkap ada kejanggalan. "Tidak mungkin mereka semua bersedih seperti seperti ini karena kehilangan ibu kandungku. Ada apa ini? Sepertinya ada masalah lain, dari raut wajah mereka juga ada kecemasan yang ingin mereka tunjukkan," batin Silvia.Silvia tidak mau hanya menerka tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Akhirnya dia memutuskan untuk bertanya kepada ibunya, yaitu Bu Iyes. Karena sekarang ini hanya Bu Iyeslah orang yang bisa dia percaya. "Bu. Ada apa ini? Kenapa aku melihat semua orang seperti yang aneh gitu?"Sebelum menjawab pertanyaan Silvia, dia melihat lagi ke wajah semua orang, lanjut ke suaminya dan kembali menghadap ke Silvia yang se
Begitu Silvia sampai di rumahnya, dia merebahkan badan di sofa empuknya. Suasana berkabung masih begitu terasa. Semua kerabat dan keluarga masih berada di kediaman Silvia.Semua orang yang ada di ruangan itu hanya diam. Tak ada seorang pun yang bersuara. Hanya angin kesedihan yang memenuhi ruangan itu. Dari pancaran mata mereka semua Silvia menangkap ada kejanggalan. "Tidak mungkin mereka semua bersedih seperti seperti ini karena kehilangan ibu kandungku. Ada apa ini? Sepertinya ada masalah lain, dari raut wajah mereka juga ada kecemasan yang ingin mereka tunjukkan," batin Silvia.Silvia tidak mau hanya menerka tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Akhirnya dia memutuskan untuk bertanya kepada ibunya, yaitu Bu Iyes. Karena sekarang ini hanya Bu Iyeslah orang yang bisa dia percaya. "Bu. Ada apa ini? Kenapa aku melihat semua orang seperti yang aneh gitu?"Sebelum menjawab pertanyaan Silvia, dia melihat lagi ke wajah
Matanya membola melihat Silvia dan Dokter Dana, rasa bersalah begitu terpancar di matanya. Tampak sekali langkah kakinya yang begitu berat berjalan ke arah Silvia sambil menatap nya tanpa berkedip. Mata itu sudah bengkak, namun masih mengalir air matanya dengan deras. Dengan gemetar tangannya memegang jeruji besi yang menjadi pembatas antara wanita yang berada di dalam sel dan Silvia yang sedang memandang wanita itu dengan tatapan tajam dengan mulut ternganga yang ditutupi dengan kedua telapak tangan.Ingin rasanya Silvia memakai orang yang ada di dalam sana. Tapi mulutnya terkunci. Matanya yang penuh dengan amarah mulai memerah dan berair.rasa dendam, benci dan kecewa bercampur menjadi satu.Wanita yang sedang memegang jeruji besi itu seakan menarik beban yang sangat berat di kakinya, sehingga dia tidak kuasa menahan tubuhnya yang pada akhirnya luruh juga ke lantai. Dia mencoba mengeluarkan suaranya untuk berkata."Silvia..., Maaf kan Mama, Nak..., Eghngeee...." Tangis wanita itu pec
"sayang. Kamu sudah bangun?" ucap Perdana sambil membelai kening Silvia yang sedang membuka matanya secara perlahan."Aku tertidur ya, Mas? Kenapa tidak bangunin aku?""Sekarang kan sudah bangun," jawab Perdana sambil tersenyum. "Yuk kita makan, supnya sudah siap, mungkin sudah dingin juga. Tapi tenang saja, tinggal di angatin sebentar di oven."Perdana membantu istrinya untuk bangun. Mereka pun menuju meja makan untuk menyantap hidangan yang sudah disiapkan oleh Perdana."Umm, wanginya enak sekali. Pasti rasanya enak.""Makanya cobain dong, Mas suapin, Ya?" Perdana menyendok nasi dan sup lalu menyuapi Silvia. Begitu mencobanya, matanya membulat, lalu bibirnya tersenyum."Kenapa, Sayang. Enak, gak?""Ini enak, Mas. Cuma agak kurang garam dan micin saja. Tapi aku suka banget. Rempah-rempahnya terasa. Jadi kayak alami gitu. Enak banget ini, Mas.""Mas memang sengaja tidak menambahkan micin, kar
"Aku tidak peduli jika aku harus dihukum mati. Bukankah semua orang juga akan merasakan yang namanya mati.""Meski pun begitu, Mama tidak berhak meracuni ibuku." Serangah Silvia yang sangat kesal."Sebenarnya Mama tidak berniat meracuni ibumu. Waktu itu, Mama memergoki dia sedang menelepon seseorang. Dia bilang kalau dia hanya pura-pura sakit kanker, agar dia bisa tinggal bersama kamu." Nyonya Sulastri memberikan penjelasan kepada Silvia."Itu tidak benar kan? Mama pasti berbohong!" Bentaknnya."Tidak. Mama tidak berbohong. Saat itu dia bilang kalau misinya tinggal beberapa bulan lagi. Lalu dia bilang, kita akan bisa menguasainya setelah anaknya lahir. Mama sangat takut. Mama yakin, yang dia maksud beberapa bulan lagi tu adalah masa kehamilan kamu. Itulah alasannya kenapa Mama menyuruh orang untuk menculik kamu, sebenarnya tidak lain karena Mama mau melindungi kamu dari wanita jahat itu. Mama tahu kalau mantan suamimu dan mantan mertuamu sudah menjadi orang yang baik, itu sebabnya Mam
"Ini awal yang baru buat kita, Sayang. Semoga keluarga kita selalu rukun seperti ini," ucap Perdana sambil memegang dan mencium punggung tangan Silvia. "Ayo kita photo bareng dulu bersama anggota baru keluarga kita," ucap Tiara setengah berteriak. Kebetulan saat itu ada suster yang masuk untuk memeriksa kesehatan Silvia. Sekalian saja Tiara minta tolong untuk di photo bersama keluarga besarnya di rumah sakit itu.Beberapa kali jepretan dengan beberapa kali Silvia junior berpindah tangan. Silvia junior seolah mengerti kalau dirinya sedang menjadi idola. Sikecil yang imut dengan bibir merah itu sesekali tersenyum seolah dia mengerti kalau dia sedang di foto.Saat Perdana melapazkan Iqamat di telinganya sewaktu dia selesai mandi pertama juga seolah mengerti dan mengamini. Matanya yang mungil seolah menatap setiap orang yang menggendongnya, meski sebenarnya tatapannya belum sampai ke objek yang ditujunya.Silvia bahagia melihat kehadiran putri kecilnya membuat keluarga besarnya bahagia.
"Rima! Apa yang kamu lakukan dengan orang ini!" Bentaknya setelah memastikan kalau orang yang dilihatnya ternyata benarlah istrinya."Siapa orang ini!" tanya lelaki tua itu tak kalah emosi.Rima begitu terperanjat karena tidak menyangka akan dipergoki oleh suaminya di depan umum. Setahunya, suaminya selalu pulang diatas jam sembilan malam. Dia hanya fokus untuk bekerja demi masa depan anak semata wayang yang sangat disayangi Pazel, meski bukan anak kandungnya.Tapi entah kenapa hari ini dia harus bertemu dengannya disaat dia sedang mencari uang tambahan dari pria kaya."Bang Pazel? A-abang lagi apa di sini?""Saya suaminya!""Katamu kamu janda! Dasar perempuan jalang!" Bentak laki-laki itu sambil melotot kearah Rima."Hei! Jaga mulut Bapak!" bentak Pazel yang tidak rela istrinya direndahkan di depan dia. Tetapi laki-laki yang sudah berumur sekitar enam puluh tahunan itu berlalu tanpa menoleh lagi ke belakang.Rima yang malu karena dilihat dengan tatapan jijik oleh orang-orang, hanya m
Bu Rohana bergegas membuka pintu rumahnya."Wa'alaikummussalam, Nak," ucapnya seraya berdiri karena dia kalah cepat dengan Pazel.Pazel segera masuk ke dalam rumahnya. Dia mengedarkan pandangannya ke dalam ruangan yang tidak luas itu. Karena dia tidak melihat puncak hidung Rima, dia yakin kalau Rima sudah pasti ada di kamarnya karena takut akan kesalahan yang telah diperbuatnya.Pazel berjalan dengan langkah cepat kearah pintu kamarnya. Sang ibu terlihat heran melihat tingkah anaknya yang tidak seperti biasa.Tok..., Tok...."Rima! Buka pintunya!" Lalu dia memutar gagang pintu yang ternyata tidak dikunci. Disana dia melihat Rima yang sedang mengemas pakaiannya tanpa menoleh ke belakang."Rima! Kamu mau ke mana?" Pazel heran melihat tingkah Rima yang keras kepala. Yang tidak punya rasa bersalah sedikit pun."Ke mana saja. Saya akan pergi dari sini.""Ya, tapi pergi kemana? Apa kamu tidak memikirkan