Semesta, seorang wanita muda, harus menerima kenyataan pahit menjadi janda di usia 23 tahun. Pernikahannya dengan Jagad, yang diputuskan terburu-buru demi menghindari dosa, hancur karena tekanan keluarga, ketidaksiapan mental, dan perbedaan ekspektasi. Lebih parahnya lagi, dia diceraikan saat hamil dan dituduh berselingkuh—tuduhan yang tak pernah bisa ia terima. Tiga tahun berlalu, Esta berusaha menata hidup sambil membesarkan anaknya seorang diri. Namun, takdir kembali mempertemukannya dengan Jagad. Kali ini, sebagai atasannya di kantor baru. Perasaan yang selama ini ia pendam muncul kembali, bercampur dengan luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Di tengah bayang-bayang masa lalu, Esta harus menghadapi kenyataan pahit yang terus menghantuinya. Mampukah ia berdamai dengan masa lalu, atau justru terjebak kembali dalam lingkaran rasa yang menyakitkan?
Lihat lebih banyak“Apa yang bikin kamu menyesal menikah?”
Aku menatap ketiga sahabatku. Di antara mereka, hanya aku yang berstatus janda. Mirisnya, aku menyandang gelar itu di usia yang cukup muda. Dua puluh tiga tahun saat itu. “Mungkin ekspektasi aku ketinggian soal pernikahan. Semua yang terjadi di dalamnya nggak kayak yang aku bayangin selama ini,” jawabku kemudian menarik gelas yang berisi jus alpukat tanpa gula, meminumnya, lalu kembali mendorong menjauh. “Emang gimana ekspektasi kamu, Ta?” tanya Raisa---sahabatku sejak zaman kuliah. Aku mengedikkan bahu. “Nikah itu memang butuh ilmu, Ta. Kamu nikah pas kuliah dan masih sangat labil lagi itu. Kayaknya kamu fomo doang, sih, gara-gara banyak selebgram yang nikah muda dan kehidupannya adem ayem dan keliatan romantis di sosial media. Bener, ‘kan?” tebak Aesha. Dia sahabatku yang paling alim. Maklum, anak kyai dan lulusan pondok pesantren yang kemudian bertemu denganku di kampus. Hampir semua yang diucapkan Aesha ada benarnya. Selain itu juga karena aku dan Jagad merasa saling cocok dan tidak ingin menambah list dosa selama kami pacaram. Sebab itu dengan penuh kesadaran kami memutuskan untuk menikah meski banyak pihak yang menentang, termasuk kedua orang tua Jagad dan kakakkku. ‘Menikah itu nggak seenak yang kamu bayangkan, Ta. Ada asam manis yang bakal kamu lalui. Nggak melulu soal kamu dan Jagad, tapi juga ada mertua dan ipar kamu.’ Begitu kata Mbak Tari mensehatiku. Kupikir, dia mengatakan itu karena tak suka aku langkahi. Nyatanya, apa yang dia katakan ada benarnya dan membuatku menyesal karena memutuskan untuk menikah muda. Memang dasarnya aku yang keras kepala. “Esta!” Aku mengerjapkan mata ketika Liana menggoyangkan lenganku. “Ngelamun mulu. Btw, nggak cuma kamu yang lagi dalam fase menyesal. Aku juga,” kata Liana menimpali. Kami menoleh pada Liana. “Serius?” tanya Raisa seolah tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Liana. Pasalnya, apa yang kami lihat dalam kehidupan rumah tangga mereka seperti tak ada masalah sama sekali. Suami Liana seorang pilot dan tugas Liana hanya ongkang-ongkang kaki menunggu transferan dan mengurus anak mereka yang baru satu. Itu juga sudah dibantu oleh pengasuh. Malah aku rasa kehidupan rumah tangga Liana yang paling membuatku iri. “Kalian tau sendiri gimana kehidupan pilot.” “Tapi nggak semua pilot kayak gitu kali, Na? Masa Mas Faisal begitu, sih?” Aku tak yakin. Pasalnya, muka Mas Faisal seperti orang baik dan bukan tipe laki-laki pemain. Sebab itu aku tak terlalu yakin kalau kelakuan Mas Faisal sama seperti oknum orang-orang di dunia penerbangan. “Aku nemu chat mesra dia sama rekan kerjanya. Booking hotel. Gila, sih.” Liana tampak bersungut-sungut. Aesha mengelus dada mengucap istighfar, berbeda denganku dan Raisa yang langsung mengumpat. Di antara kami, hanya Aesha yang belum menikah. Tapi kabarnya, dia sudah dijodohkan oleh Abahnya. Sudah dikhitbah katanya, tapi kami bertiga tidak ada yang tahu siapa lelaki beruntung yang akan mendapatkan calon istri sholehah seperti Aesha. Sudah pasti rumah tangga Aesha nanti akan aman dan damai. Dia yang paling sabar juga paling dewasa di antara kami. “Sabar ya, Na. Emang apa yang kita liat terkadang nggak sesuai dengan kenyataan,” kataku sembari mengusap pelan punggung Liana. Nyatanya, hidup ini tidak ada yang mulut kecuali wajah Aesha yang semulus artis Korea. Katanya, sering dibasuh air wudhu biar wajah bercahaya. Bukan hanya muka, hidup Aesha juga sepertinya sudah tertata. Dia bahkan tidak perlu memikirkan jodoh karena sudah dipersiapkan sama Abahnya. Sangat berbeda denganku yang sudah menjadi janda. “Kalau kamu gimana, Rai? Pasti pernikahan kamu baik-baik aja, ‘kan?” tanyaku pada Raisa. Raisa mengangkat wajahnya, kemudian mengangguk. “Selain mertua, ipar dan kelakuan Edo yang bikin aku gedeg, nggak ada lagi, sih,” jawabnya dengan santai. “Ye, itu mah banyak,” kesalku membuat Raisa terkekeh geli. “Bayangin aja, kita sering berantem gara-gara ributin siapa yang lebih sering kentut. Kita juga ribut siapa duluan yang mau mandi tapi kita sama-sama mager.” Raisa mengatakan dengan entengnya. “Udah gitu, kita sering ribut gara-gara gue minta tolong usirin tikus tapi dia malah teriak-teriak lebih takut. ‘Kan kampret!” “Kalian serasi kok, serius. Seru banget rumah tangga kamu, Rai,” ucapku yang malah tertawa dengan cerita rumah tangga Raisa. Sangat berbeda dengan rumah tanggaku dan Jagad dulu. Sepi dan dingin. Kami sama-sama menempati rumah yang sama tapi seperti teman kos. Tak pernah ada sleep talk dan obrolan receh seperti saat kami pacaran dulu. Semua seolah tenggelem ketika kami sama-sama sibuk dengan kegiatan masing-masing. Belum lagi mertuaku yang berisik menyuruhku ini itu. Bukan, mertuaku memang tidak seperti yang di dalam novel, dia baik tapi sering protes dengan pekerjaan rumahku. ‘Esta, ini lantai udah disapu? Kok, masih berdebu?’ ‘Masak itu nggak gitu, Ta. Begini, loh.’ ‘Itu baju jangan dibiarin numpuk, Ta.’ Padahal saat itu aku sedang sibuk skripsi dan banyak kegiatan kampus yang membuatku pusing sampai tak sempat mengerjakan pekerjaan rumah. Yang lebih menjengkelkan, Jagad sama sekali tak berniat membantu. ‘Mama itu bener loh, Ta. Aku udah capek kuliah, terus lanjut kerja. Liat rumah kayak gini bikin aku males pulang.’ Sungguh, aku tidak tahan dengan banyaknya tuntutan dari Jagad yang menginginkan istri serba bisa. Aku adalah anak bungsu yang selalu dimanja oleh keluargaku dan tak pernah melakukan apa pun di rumah. Ketika menikah, semuanya berubah. Aku merasa tertekan dan memilih bercerai hampir dua tahun yang lalu. Capek banget aku, sumpah! Jagad bahkan tak pernah membelaku di depan mamanya. Padahal, elas-jelas dia tahu kalau aku juga sibuk. Please, menikah memang semengerikan itu. Aku tak ingin mengulang untuk kedua kalinya. Sampai sekarang, aku tak pernah lagi bertemu dengan laki-laki itu. Jangan sampai, karena aku takut goyah karena aku masih .... “Ta, kamu masih cinta sama Jagad, nggak?” Pertanyaan Liana membuat Aesha dan Raisa menatapku penasaran. Aku diam. Cinta? Aku tertawa dalam hati. Sialnya, aku masih menyimpan rasa itu meski kami sudah cukup lama berpisah. Aku melirik wajah teman-temanku yang seolah menunggu jawaban. “Nggak!” Bagus, Esta! Kamu memang seorang pembohong. * * Aku merenggangkan kedua tangan setelah menyelesaikan pekerjaan yang cukup banyak. Setelah makan siang dengan teman-teman, aku kembali ke kantor. Mematikan laptop, lalu beranjak dari kubikel menuju luar kantor. “Semesta.” Tubuhku menegang. Aku kenal suara itu. Dulu, aku dan dia sering bernyanyi bersama meski suaraku seperti kambing beranak. Sial, aku tak bisa menahan debaran jantungku. “Esta? Itu beneran kamu?” Aku memejamkan mata berusaha menahan perasaan sesak yang masih tersisa sampai sekarang. "Esta, ini aku, Jagad."Sore itu, aku dan Mas Auriga duduk berdua di teras rumah, mengawasi Raya yang berlarian di halaman. Dia baru saja selesai bermain dengan Mas Auriga, dan sekarang kembali asyik dengan mainan-mainan kecilnya di dekat kami.Udara sore yang sejuk menambah keheningan di antara kami, tapi aku tahu obrolan serius yang akan terjadi tak bisa dihindari lebih lama lagi.Mas Auriga menghela napas, kemudian menoleh ke arahku. "Ta, aku mau bicara soal ... kita. Masa depan kita."Aku mengangguk, meski hatiku sedikit berdebar. Ini adalah saat yang sudah aku pikirkan berhari-hari."Aku tahu, Mas. Aku juga mau bicara soal itu."Dia menatapku dengan penuh perhatian, seolah mencari jawaban dari ekspresi wajahku."Aku serius, Ta. Aku benar-benar ingin melangkah lebih jauh sama kamu. Aku pengen kamu jadi istri aku, jadi ibu buat anak-anak kita nanti."Perkataannya itu membuat hatiku sedikit bergetar, tapi aku harus jujur."Mas, maaf
Raya cemberut lucu. "Bunda main? Mau main sama Bunda." Raya merengek dengan suara khasnya yang cadel. "Ayah Aya mau sama Bunda."Jagad tertawa pelan, kembali melirikku seolah memintaku untuk merespon Raya."Kalau mainnya sama Ayah aja gimana? Main sama Ayah nggak kalah seru, loh.""Mau sama Bunda." Raya mendongak, menatapku dengan mata berkaca-kaca.Aku menghela napas panjang kemudian hanya bisa mengangguk, meski dalam hati sedikit aneh rasanya mendengar percakapan yang begitu ... keluarga. Seolah-olah kami adalah keluarga yang utuh. Padahal kenyataannya, hubungan kami dengan Jagad sudah berakhir bertahun-tahun lalu.Di tengah perjalanan, Jagad memutar lagu anak-anak di radio. Raya langsung ikut menyanyi, menggerakkan tangannya mengikuti irama.Raya mengikuti dengan semangat walaupun pelafalannya belum begitu jelas, suaranya sedikit fals tapi tetap terdengar lucu. Jagad ikut bernyanyi, sesekali melihat ke arah kami dengan senyum
“Jadi mereka udah sering datang?”Aku menatap Mas Buana sebentar, membuang napas panjang, lalu mengangguk pelan. Mata Mas Buana tak lepas dari Mama Sera dan Jagad yang sedang bermain dengan Raya.“Kamu mau balikan sama dia?” tanya Mas Buana lagi.“Mas, plase.”“Kenapa? Bukannya dia mau nerima Raya? Nggak seperti yang kamu takutkan selama ini. Kamu juga masih cinta sama dia 'kan, Ta?”“Mas ….”“Mas udah nggak bisa jagain kamu lagi, Ta. Tubuh Mas udah nggak sekuat dulu, kalau kamu mau balikan sama dia, Mas nggak akan menghalangi.”Aku mendesah pelan, menoleh pada Jagad dan Mama Sera yang sedang menyuapi Raya makanan. Mas Buana sudah pulang dari rumah sakit sejak seminggu yang lalu, dan selama itu di melihat Jagad yang selalu datang ke rumah setiap kali pulang kerja.Bahkan, minggu kemarin Jagad mengajak Raya dan aku pergi, meski akhirnya aku menolak dan membiarkan Raya pergi dengannya sendiri. Aku masih fokus pada kesembuhan Mas Buana setelah operasinya.Memang, kata dokter tidak ada ko
Hari ini Mas Buana sudah diperbolehkan pulang. Mbak Mentari tadi yang mengabari, aku membereskan rumah dan menyiapkan makanan untuk Mas Buana. Katanya, Mas Buana harus bed rest untuk beberapa hari lagi ke depan. Baru saja aku melangkahkan kaki ke luar rumah untuk membuang sampah, langkahku terhenti ketika melihat Mama Sera yang berada di depan gerbang. Bibirnya melengkung ke atas membentuk senyuman ketika melihatku keluar rumah. “Esta.” Aku tersenyum canggung. Sejak Mama memintaku memberi kesempatan kedua untuk Jagad, aku jadi sedikit segan dengan beliau. Mama yang mengirimi kami makanan selama berada di rumah sakit, bukan hanya untukku dan Jagad, tapi juga untuk Mbak Mentari dan Mas Auriga yang menemani Mas Buana secara bergantian. “Esta, Mama boleh masuk?” tanya Mama Sera menatapku penuh harap. Aku yang sempat melamun sebentar langsung tersadar, lalu mengangguk. Berjalan ke ara
Diingin Aku sedang duduk di ruang tamu sambil memperhatikan Raya yang tengah asyik bermain dengan mainannya. Ada banyak kekalutan yang bersarang di kepala. Aku belum tahu harus berbuat apa dengan semua yang terjadi belakangan ini. Tiba-tiba, suara bel rumah membuyarkan lamunanku. Aku bangkit dari tempat duduk, berjalan menuju pintu. Ketika kubuka, di sana berdiri Mbak Mentari, tersenyum lembut sambil membawa kotak kecil di tangannya. “Assalamu’alaikum, Esta,” sapanya hangat. “Wa’alaikumussalam, Mbak. Silakan masuk,” jawabku sambil mempersilakannya masuk. Ada sesuatu yang berbeda hari ini, entah mengapa aku merasakan suasana hatinya lebih serius dari biasanya. Setelah Mbak Mentari duduk di sofa, aku segera mengambil minuman untuknya. "Mbak udah nggak mabok? Kangen sama Raya, ya?" tanyaku sambil tersenyum. Mbak Mentari mengangguk sambil melihat ke arah Raya yang sedang bermain. "Iya, Mbak kangen banget sama bocah kecil ini. Tapi sebenarnya, ada hal lain yang ingin Mbak bicara
Setelah memastikan Raya tertidur dengan tenang, aku pamit pada Jagad untuk menjenguk Mas Buana. Dia sudah sadar dan dipindahkan ke ruang rawat inap. Jagad hanya mengangguk sambil mengelus rambut Raya yang masih terlelap.Aku bisa melihat kekhawatiran di matanya, meski dia tidak mengucapkannya. Aku melangkah keluar kamar Raya, menyusuri koridor rumah sakit yang mulai sepi. Sejak kecelakaan itu, aku jarang sempat berbicara dengan Mas Auriga. Dia lebih banyak berjaga di ruang Mas Buana, mungkin juga karena merasa segan dengan kehadiran Jagad di dekatku dan Raya. Sesampainya di ruangan Mas Buana, aku melihat pintu sedikit terbuka. Dari balik pintu, samar-samar terdengar suara Mas Auriga yang sedang berbicara dengan Mas Buana. Aku mengetuk pelan, lalu masuk.“Semesta ....” Mas Buana tersenyum lemah dari atas tempat tidurnya.Di sebelahnya, Mas Auriga yang duduk di kursi, juga menoleh ke arahku. Dia langsung bangkit dari duduknya, memberi rua
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen