Share

Bab 13

Baru saja Lillia selesai mandi, dia menyusun selimut di sofa dan berbaring. Tiba-tiba, terdengar ketukan pintu dari luar. Lillia langsung bangkit, lalu bertanya pada Claude yang telah berbaring di ranjang dengan berbisik, "Kamu sudah kunci pintunya?"

Claude meliriknya sekilas, lalu bertanya, "Ada apa?"

Terdengar suara Jeni dari luar, "Tuan Muda, ini aku. Nyonya memasak sarang burung walet dan menyuruhku membawakannya untuk Nyonya Lillia. Kalau Anda belum tidur, aku akan masuk sekarang."

Setelah itu, terdengar suara pintu terbuka.

Lillia langsung melompat dari sofa, buru-buru menyelipkan selimut di sofa ke ranjang sebelum Jeni sempat masuk. Dia langsung membuka selimut Claude dan menyelinap ke dalamnya. Saat melompat masuk, dia tidak sengaja membentur dada Claude sehingga keduanya mengeluarkan bunyi desahan.

Mendengar suara mesra itu di malam hari, membuat Jeni menghentikan langkahnya. Lalu, dia bertanya dengan ragu-ragu, "Tuan Muda, Nyonya .... Apakah aku boleh masuk?"

Claude menggertakkan giginya melihat kepala Lillia yang menyembul dari dalam selimut. Setelah itu, dia baru menjawab, "Masuk saja."

Lillia juga keluar dari selimutnya, lalu merapikan rambutnya sambil menyapa Jeni dengan tersenyum. "Halo, Bibi Jeni ...."

Saat Lillia hendak turun dari ranjang, Jeni buru-buru berkata, "Anda nggak usah turun, Nyonya. Biar aku saja yang bawakan ke sana. Setelah Anda minum, aku akan membawanya keluar."

Lillia melihat selimutnya tadi masih belum dirapikan. Jika Jeni berjalan mendekat, dia pasti akan ketahuan. Dengan panik, dia mencengkeram Claude di bawah selimut. Entah bagian mana yang dipegangnya, Lillia hanya merasakan bagian itu sangat keras.

Wajah Claude terlihat menderita dan merah padam. Setelah itu, dia langsung turun dari ranjang dan mengulurkan tangannya kepada Jeni. "Berikan padaku saja."

Jeni memberikannya pada Claude dengan patuh. "Baiklah, Tuan Muda yang menyuap Nyonya juga boleh."

Tangan Claude yang memegang nampan itu langsung bergetar, bibirnya menyunggingkan senyuman tipis. Dia meletakkan nampan itu di nakas samping tempat tidurnya dan mengangkat mangkuk kristal di atasnya. Selanjutnya, dia menyuapkan minuman itu ke mulut Lillia.

Lillia hanya terdiam. Entah apa yang sedang dilakukan Claude, Lillia hanya menatapnya dengan bengong. Claude mengangkat alisnya, lalu mengalihkan pandangan dari wajah Lillia ke sendoknya. Tampaknya, dia tidak berniat menarik kembali tangannya sama sekali.

Lillia bukan orang yang suka berbelit-belit. Lagi pula, dia memang pernah mencintai Claude. Namun, baru kali ini dia bersikap mesra di hadapan orang luar. Padahal Lillia tahu jelas ini hanya berpura-pura, tetapi dia tetap saja merasa hatinya tergoyahkan.

Hanya saja, akal sehat kembali mengingatkannya bahwa Claude adalah milik Nikita. Lantaran merasa Claude tidak akan membantunya, Lillia berpikir sejenak sebelum berkata, "Aku nggak suka makan makanan di atas tempat tidur."

Melihat sendok yang sudah hampir masuk ke mulut Lillia tetapi tidak jadi diminumnya itu, Jeni buru-buru berkata, "Duh, hanya sebentar saja, nggak apa-apa! Sampai saat ini, Tuan Muda belum pernah sekali pun menyuapi orang lain!"

Lillia hanya menghela napas saat melihat Jeni yang tidak rela pergi sebelum melihat Claude menyuapinya. Pada akhirnya, dia meminum sarang burung walet yang disuapi Claude. Karena duduk di sisi yang sama, Claude tidak sengaja menyentuh wajah Lillia saat menyuapinya.

Claude merasakan kulit Lillia yang begitu lembut dan mulus. Dia menelan ludah sekilas, tangannya yang memegang sendok juga terhenti. "Enak?"

Jeni buru-buru berkata, "Bagaimana kalau Anda juga mencicipinya?"

Lillia enggan menggunakan sendok yang sama dengan Claude karena rasanya seperti berciuman secara tidak langsung. Dia langsung mengambil mangkuk itu dan meminumnya hingga habis. Setelah itu, dia mengangkat alis sambil menatap Claude dengan penuh provokasi, "Lumayan enak."

'Sayangnya kamu nggak bisa meminumnya,' lanjutnya dalam hati.

Claude merasa lucu melihat sikap Lillia, dia tiba-tiba tertawa pelan. Jeni melihat kedua orang itu sejenak, lalu mengambil nampan dan mangkuknya. Setelah itu, dia keluar secara diam-diam.

Priya sedang berdiri di luar pintu untuk berusaha menguping. Melihat Jeni membawa mangkuk kosong keluar, tatapannya langsung berbinar. "Sudah habis diminum?"

"Sudah!" Jeni berbisik, "Sayangnya hanya Nyonya yang meminumnya sendirian."

Priya menimpali, "Nggak apa-apa. Pria pasti nggak akan bisa lolos dari godaan begini." Priya sudah bertekad akan mendapatkan cicit!

"Cuci mangkuknya, jangan sampai meninggalkan bukti," perintah Priya dengan puas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status