Aryesta masuk ke dalam mobil dengan perasaan yang tak bisa dia jelaskan. Hancur lebur, bukan lagi kata yang bisa mewakili keadaan hatinya kini.
Bagai jatuh tertimpa tangga, dia dipermalukan oleh orang yang tak tahu apa maksudnya, mengalami kekerasan, lalu ditalak di malam pengantin.
Seolah-olah takdir belum puas mengujinya, masih di hari yang sama, dia mendapati suami dan adik tirinya bercumbu mesra. Lagi, belum cukup, Tuhan ingin mengujinya. Dion, bukannya meminta maaf atas kesalahan justru menjanjikan perpisahan.
Pembelaan Dion terhadap Dinda adalah yang paling menyakitkan. Dia hanya korban keegoisan seseorang, tetapi dunia menatapnya hina.
Memejamkan mata, Aryesta merasai luka dalam hatinya, sungguh terasa nyeri. Dia bisa mendengar raungan sanubarinya. Dia kepalan tangan saat mengingat bagaimana Dion melindungi Dinda tadi. Kepalan itu dia pukulkan pada bantalan duduk.
Aryesta membuka mata saat dering ponselnya terdengar lagi. Sudah beberapa kali dia mengabaikan, tetapi entah siapa yang menghubunginya seperti tak kenal kata lelah.
Aryesta mengalah. Dia rogoh ponsel dalam tas, lalu dahinya mengernyit mendapati nomor asing yang meneleponnya.
"Halo?" sapa Aryesta. Belum apa-apa, dia ingin sekali mengumpat saat tahu Aleandra lah yang menghubunginya. "Ck, mau apa lagi kamu?"
Di seberang panggilan suara, Aleandra tertawa. "Bagaimana? Kamu udah lihat kelakuan suami bodohmu itu, kan? Dan aku enggak pernah bohongin kamu, Aryesta!"
"Kamu ...." Bicara di saat hatinya sedang tak baik-baik saja, Aryesta sungguh kesal. Dia ingin mencekik seseorang. "Sebenarnya apa sih yang kamu mau, hah? Kenapa kamu sampai tega ngelakuin ini sama aku, Aleandra Zeygan!"
"Bukankah sudah kukatakan aku ingin bermain-main?" Jawaban Aleandra sungguh menyulutkan emosi Aryesta.
Aryesta menggeram. Apa menghancurkan rumah tangga, bahkan masa depan orang lain begitu lucu hingga Aleandra menganggapnya sebagai lelucon untuk bermain?
"Aku dan kehidupanku bukan taman bermain, Aleandra!" teriak Aryesta geram. "Apa orang seperti kamu ini enggak punya kerjaan lebih peting dibanding merecoki hidup orang, ha?"
Aleandra justru tertawa dengan tudingan Aryesta. "Merecoki hidup kamu memang menyenangkan, Aryesta."
"Kamu ...." Aryesta mendesis. "Kamu menjebak suamiku, kan?" Sejak awal masalah muncul, lelaki itulah dalangnya. Jadi, bukan tak mungkin kejadian Dion dan Dinda adalah karena Aleandra juga. "Kamu pasti menjebak suamiku."
"Aku memang senang bermain denganmu, Aryesta, tapi aku tak sudi menghabiskan waktuku untuk suami bodohmu itu."
"Bohong!" bantah Aryesta. "Kamu pandai berbohong."
Aleandra terkekeh. "Mana yang kamu sebut kebohongan? Adakah informasi yang kusebutkan terselip kebohongan? Tentang suami pengkhianatmu itu?"
Aryesta menggeleng. Saat sadar Aleandra tak melihat, dia menggeram. "Akui saja, Aleandra. Entah apa alasanmu melakukan ini padaku, yang jelas apa yang terjadi pada Mas Dion pasti karna jebakanmu juga, kan?"
"Hah!" Aleandra sengaja menarik napas, lalu menghembuskannya kuat-kuat. "Dasar bodoh! Sudah kuperlihatkan kelakukan bejat suami dan adikmu, masih saja mengelak."
"Baik, kalau memang begitu. Lalu, bagaimana kamu bisa tahu semuanya? Bagaimana kamu bisa tahu mereka di sana? Bahkan, pintu kamar pun tak terkunci, Aleandra!"
Aleandra tertawa mengejek. "Kuberi tahu, mendapat informasi seperti itu hanya masalah kecil. Hal seremeh itu bukan hal sulit bagiku. Kamu yang terlalu bodoh dan naif!"
Menggeram, tetapi tak lagi mampu menimpali, sebab hati dan raganya begitu lelah, Aryesta memutus hubungan telepon begitu saja.
Perempuan dengan rambut pajang itu berkali-kali menarik napas panjang. Tatapannya terlempar pda ponsel di tangan. Dia menjadi kesal sendiri.
Aryesta baru akan menonaktifkan handphone-nya saat satu pesan masuk. Dia menyipit mengenal siapa nomor pengirim pesan itu. Siapa lgi jika bukan Aleandra yang baru saja menelpon dirinya tadi.
[Aku enggak sabar nunggu kabar seru darimu saat tiba di rumahmu nanti.]
Aryesta membaca satu per satu huruf di sana. Pesan yang dilengkapi dengan emoticon mengejek andalan Aleandra. Dahinya mengerut dalam, mencerna apa maksud dari pesan tersebut.
Menggigit ujung kuku jempol, dada Aryesta tetiba berdebar memikirkan apa lagi yang sedang Aleandra siapkan dan dia sebut sebagai permainan. Membuat pikiran perempuan itu berkelana ke man-mana.
Menggeleng, sambil meyakinkan hatinya untuk tenang, meski tak bisa Aryesta pungkiri ada hal entah apa yang dia takuti, dia mencoba untuk tak terpengaruh. Bukan tak mungkin Aleandra hanya ingin membuatnya kalut dan tak bisa konsentrasi mencari solusi.
"Kita sudah sampai, Non," ucap sopir. Ketika keduanya tiba di kediaman keluarga Aryesta.
Aryesta tergagap. Lama memikirkan pesan dari lelaki sialan bernama Aleandra, dia tak sadar mobil mereka sudah masuk ke pekarangan.
Aryesta berdeham. Dia merapikan rambut yang sedikit berantakan, sambil menarik napas panjang sebelum membuka pintu.
Dahi Aryesta mengerut. Langkah kakinya terhenti. Ludahnya tertelan pasti, dan kini jantungnya berdebar.
Di depan sana, kakeknya sedang berdiri dengan tongkat kayu. Menatapnya tanpa ekspresi. Gesture tubuh lelaki yang Aryesta panggil kakek itu seolah-olah memang sedang menunggunya.
Aryesta mengayun langkah kembali meski hatinya berdebar tak menyenangkan. Dia baru akan menyapa saat kakeknya justru lebih dulu berbicara. Ucapan yang praktis buat tubuhnya membeku.
"Kakek enggak menyangka kamu bisa melakukan hal menjijikan seperti itu dengan banyak lelaki, Aryesta!"
'Oh Tuhan ... apalagi yang akan menimpaku kali ini?' batin Aryesta saat mendengar suara Kakeknya yang begitu menggelegar.
Lalu Aleandra pun menjelaskan jika di perusahaannya terjadi keributan. Membuat Aryesta ikut terkejut dan mengajak suaminya itu untuk segera pergi ke perusahaan."Tapi aku tidak mungkin ninggalin kamu sama Dean di sini, Ar.""Kami ikut kamu, Mas. Urusan Maria kita serahin ke Ben saja, oke?" saran Aryesta yang langsung disetujui oleh suaminya itu.Akhirnya Aleandra pun segera menelpon Beni dan menyerahkan segala urusannya pada laki-laki itu. Sementara dia pergi ke perusahaan.Di perjalanan, Dean tersadar dan sedikit linglung, yang langsung disyukuri oleh orang tuanya.Aryesta memeluk erat tubuh putranya lalu berucap, "Maafin Mommy, Sayang. Karena Mommy lepasin tangan kamu tadi, kamu hampir saja diculik sama si Ulat bulu itu."Dean masih bingung, tetapi juga mengangguk dan balas memeluk sang ibu, dengan perasaan nyaman luar biasa.Aleandra yang ikut lega pun mengusap puncak kepala Dean, sambil tetap fokus pada kemudi, yang tersenyum kala sedetik tatapan ayah dan anak itu saling bertautan.
Mobil yang Maria kendarai menabrak motor tersebut, membuat berteriak dan membanting setir kemudi, hingga berakhir menubruk batang pohon besar, dan membuatnya tak sadarkan diri.Orang yang lalu lalang langsung mendekat, dan memanggil ambulance juga pihak polisi untuk segera datang ke tempat kejadian.Hingga kerumunan itu menyebabkan kemacetan, dan membuat Aleandra yang hendak melewati jalur tersebut mengumpat kasar.Melihat suaminya mencak-mencak, Aryesta pun memutuskan untuk keluar mobil dan bertanya pada warga sekitar."Ah itu, Bu. Ada mobil hitam tabrakan sama motor yang orangnya lagi mabuk. Kayaknya yang bawa mobil luka parah, tapi untungnya balita yang ada di mobil penumpang baik-baik saja, Bu."Ucapan salah satu warga yang menjawab pertanyaan Aryesta tentu saja membuatnya terkejut bukan main.Jantungnya berdebar-debar tak menentu, seraya melangkah menuju mobil yang bagian depannya sudah nyaris hancur.Detik itu juga mata Aryesta membulat sempurna, dan langsung berlari menuju pintu
Saat ini Aryesta dan Aleandra sedang berbelanja di supermarket untuk kebutuhan sehari-harinya. Bukan tak percaya pada asisten rumah tangga, tetapi keduanya sedang healing bersama putra mereka.Dan saat ini keduanya sedang berada di taman bermain, baru saja Aryesta mengambil dompet dari tas untuk mengangkat sebuah telepon, pada detik kelima dia berbalik langsung bertatapan dengan mata tajam Aleandra.Baru saja membuka mulutnya hendak bicara, tetapi ucapannya langsung tertahan."Di mana Dean, Ar! Kenapa kamu malah sibuk teleponan?!"Deg!Saat itu juga mata Aryesta menoleh ke samping kirinya dan melotot, ketika keberadaan putranya tiba-tiba hilang entah ke mana.Bukannya menjawab, Aryesta langsung panik dan berjalan ke sana kemari mencari Dean, yang lenyap seketika itu."Sialan! Siapa yang berani main-main denganku, hah?!" pekik Aleandra yang merasa jika ada yang tak beres dengan hilangnya putra mereka.Tanpa banyak waktu, Aleandra bergegas mencari keberadaan Dean, berpencar dari sang ist
Aleandra berdiri di balkon kamarnya, memandang langit malam dengan tatapan kosong.Ya, setelah kelahiran bayi Adam dan Dinda 3 jam yang lalu, Aleandra putuskan kembali ke rumah, melanjutkan sisa-sisa masalah yang sebelumnya sudah diurusi oleh Beni."Apakah bayinya setampan Dean, Mas?" ucal Aryesta seraya merengkuh tubuh suaminya dari belakang.Hal yang membuat Aleandra terlonjak saking kagetnya. Beruntung laki-laki itu mengenali aroma parfum yang menempel di kulit istrinya, sehingg tak berakhir dia banting, karena Aleandra sangat tak menyukai sentuhan lawan jenis, selain istrinya saja.Aleandra tersenyum dan menggelengkan kepalanya tak setuju, "Dean yang paling tampan, Ar. Kau tenang saja, di kemudian hari pasti Dean yang akan menang jika mereka terjebak cinta jajar genjang."Aryesta terkekeh mendengarnya sambil berjalan ke samping, dan menyandarkan kepalanya di lengan sang suami."Jadi namanya Bian Reganza, Mas?"Aleandra menganggukan kepalanya, lalu tanpa menunggu waktu yang lama unt
Maria melangkah pelan menuju punggung Dinda, sampai ....Bruk!"Argh!" teriak Dinda dengan tubuhnya yang sudah terjungkal ke depan, perut buncitnya pun menempel ke atas lantai dengan hantaman keras."Dinda!" Adam refleks membentak, melihat istrinya terjatuh dan mengerang di atas lantai.Sampai akhirnya dia sadar jika ada seseorang di belakang, yang sedang mematung tak percaya, dengan apa yang baru saja dia lakukan pada adik ipar dari Nyonya rumah ini."Kau ... dasar perempuan kurang ajar!" suara Adam menggelegar berat, lalu melangkah ke arah Maria hingga ....Bugh!Bruk!"Argh!" Maria meringis sata bahunya ditonjok dan disungkurkan dengan kekuatan penuh, membuat tubuhnya terpelanting di atas lantai, dan mengenai guji di dekatnya, membuat semua orang yang baru saja masuk rumah, langsung berhamburan mencari sumber suara.Semua orang menatap terkejut, saat Dinda terjatuh dan menangis, sambil menatap paha putihnya yang sudah dilumuri darah segar.Kemudian tatapan semua orang menoleh ke ara
Dada Maria berdebar keras, mendengar suara berat itu, suara yang sangat jarang dia dengar, kini laki-laki itu datang juga ke mansion tuannya.Maria masih mematung, dan belum membalikkan badannya, takut jika laki-laki itu mengadukannya pada sang Tuan, ataupun memprovokasi tuannya untuk memecatnya dari pekerjaan ini.Laki-laki yang ternyata adalah Adam, wakil direktur di perusahaan Alra Grup, sekaligus sahabat Aleandra itu pun berjalan 4 langkah, kemudian berhenti, tepat di depan Maria, membuatnya membelakangi Maria saat ini."Saya mengetahui niat busukmu itu, bahkan saya yakin, kalau sahabat saya juga sudah mengetahuinya. Dia diam hanya karena menganggap kamu bukan lawan sepadannya saja. Jadi jangan terlalu percaya diri, Maria."Perkataan Adam langsung membuat lutut Maria lemas, hingga tubuh Maria ambruk ke atas lantai, tetapi baru saja Adam hendak menoleh ke belakang untuk melihat kondisi Maria, dari arah dalam rumah muncullah seseorang."Sayang! Kamu berani gatel sama pengasuh kegatel