Share

Sosok Angkara

Sudah terhitung setahun sejak hari penumpahan kopi. Pada awalnya aku tidak serius ingin berteman dengan Hanindita. Tapi percayalah, anak ini susah sekali disuruh menyerah. Akhirnya aku membiarkan dirinya menemaniku dan membantuku setiap hari. Lebih mirip seperti asisten pribadiku sih, haha. Lambat laun, rasanya menyenangkan mempunyai seseorang yang bisa diandalkan setelah sekian lama bergelut dengan kesepian.

Hanindita sosok yang naif, tapi dia tulus. Ia tidak pernah mengganti model rambut pendek dengan poni tipis yang sedikit menerawang dahinya. Apa dia tidak acuh kalau kita sebenarnya tinggal di kota besar yang di mana fashion banyak berkembang setiap hari. Anehnya, ketika ia menyukai sesuatu, ia menjadi sangat agresif dan seolah terobsesi dengannya.

Seperti halnya saat ini, ia terlihat asik menggulirkan layar ponselnya bahkan saat tim basket kesukaannya mencetak poin berkali-kali.

“Hanin, kali ini apa yang kamu suka, sih?”

Ia akhirnya menoleh padaku. “Ah ini, novel daring kesukaanku sudah mengunggah bab terbarunya! Novel ini sedang viral loh! Masa kamu nggak tahu?”

“Novel apa?” tanyaku sambil mencondongkan pandangan ke layar.

“Bara Arkais?” timpalku memastikan.

Ia mengangguk lalu menyerahkan ponselnya padaku supaya aku bisa membacanya. Beberapa baris kalimat menjulur ke bawah dan membentuk sebuah prolog. Tulisan tebal yang menunjukkan timeline akhirnya terbaca olehku.

《 BARA ARKAIS: PROLOG

20 September 2009

Dari Arkais untuk Mey, gadis kecilku.

Gadis kecil itu, gadis kecilku, Mey. Memegang belati bersayap sebagai penolong bagi jiwa-jiwa murni sebayanya.

“Tolong aku!”

“Lepaskan aku!”

Ia mengabulkannya. Menolong teman-temannya tanpa rasa takut. Mendaratkan belati bersayap itu tepat ke dalam jantung neraka. Menerbangkan yang lainnya dengan bebas. 》

***

Sebuah peternakan.

Belati.

Anak-anak yang menangis ketakutan.

Darah yang menggenang.

“AAAAAAAA!!!!!”

Kilasan kenangan hitam terputar di kepalaku. Jantungku berdebar begitu cepat. Kalut dan takut. Aku mulai kehilangan akal sehat saat alam bawah sadar membawaku kembali pada peristiwa mengerikan persis yang tertuang dalam novel. Tepat hari itu, bagaimana novel ini bisa mengetahuinya?

“Meydisha! Disha! Sadarlah!”

Bahuku berguncang sebab Hanin tidak membiarkanku hanyut dalam lamunan kencang. Saat kesadaranku mulai kembali, aku sudah berdiri mematung dan ponsel Hanin telah tergeletak begitu saja.

“Kamu tak apa?” tanya Hanin dengan raut wajah cemas. Sekarang bibirku terlalu kelu untuk berkata baik-baik saja. Aku hanya menggeleng lalu berbalik dan pergi meninggalkan Hanin.

Aku berjalan dengan laju cepat, mencari tempat yang sepi untuk menenangkan diri. Aku masih bergerak dengan cepat menuju taman belakang Universitas Dandelion. Lalu berhenti sesaat ketika aku hampir sampai.

Seseorang mengikutiku.

Aku berbalik.

Benar saja. Seorang laki-laki sebayaku berdiri di hadapanku. Kelopak matanya membesar. Ia tampak setengah kaget sebab tidak menyangka aku akan berbalik sebelum ia memanggilku. Ia sedikit lebih tinggi dariku. Dengan model rambut mafia yang di sisir ke belakang lengkap dengan mata yang kecil namun tajam. Dia merekahkan senyumnya padaku.

“Apa? Kamu mau tanda tangan?”

Aku melontarkan pernyataan menyebalkan itu dengan ketus sebab rasanya hari ini mendadak menjadi melelahkan. Ia menggeleng,

“Kamu tidak ingat padaku?” tanyanya, aku mengernyitkan dahi.

“11 Tahun yang lalu, di bekas peternakan—”

Mendengarnya membicarakan masa lalu membuat tubuhku kembali menegang. Semakin aku mengepalkan tangan untuk menahan lonjakan dari dalam diriku, penglihatanku semakin kabur. Menyadari bahwa aku akan segera jatuh, ia mendekat padaku dan aku masih bisa merasakan terjatuh dalam pelukannya. Setelah itu, aku tidak mengingat apapun hingga aku terbangun di ruang UKS.

***

Aku bisa merasakan sebuah handuk kecil dan basah sudah terhampar di keningku. Butuh tenaga yang lumayan untuk menahan pusing saat kamu mencoba membuka mata. Dan saat kamu berhasil melakukannya, sahabatmu langsung menatapmu tajam.

“Kenapa kamu malah ke Universitas Dandelion sih kalau sakit?”

Aku tidak menggubris pertanyaan Hanin sebab aku langsung ingat harus memastikan sesuatu.

“Hanin, cepat berikan ponselmu!” perintahku. Dia malah melongo.

“Ah cepat!” teriakku. Ia langsung mengeluarkan ponselnya dan memberikannya padaku. Kubuka aplikasi novel daring yang ia miliki dan membaca kembali Novel Bara Arkais. Mataku memindai siapa penulisnya. Satu kode nama kudapatkan.

“Penulis Arkais? Kamu mengenalnya gak?” tanyaku pada Hanin. Dia hanya menggeleng. Sial. Tidak ada informasi yang kuterima hanya dengan mengklik profilnya, ingatanku berlari kencang,

“Kamu tidak ingat padaku?”

“11 Tahun yang lalu, di bekas peternakanㅡ”

“Hanin, siapa yang membawaku ke UKS?” tanyaku terburu-buru.

“Ah, anak Fakultas Sastra, Angkara Langit Putra! Ia begitu populer. Anak-anak sempat ricuh melihatmu digendong olehnya, hahaha.”

Kuabaikan celotehannya yang tidak penting dan menunggu informasi keberadaannya.

“Sekarang di mana dia?”

“Taman tempatmu pingsan,”

Tanpa basa basi, aku langsung berlari menuju anak laki-laki itu. Kutabrak semua orang yang menghalangi jalanku.

Jika memang dia si Penulis Arkais, aku harus menghentikannya. Seseorang tidak boleh menyimpan kenangan mengerikan itu. Dia harus menghapusnya. Dia harus.

Aku sampai di hadapannya. Ia yang sedang duduk di bangku taman langsung beringsut. Kurasa aku mengambil posisi yang terlalu dekat dengan tubuhnya sehingga aku sedikit menengadah dan membuat kami saling bertemu. Saking dekatnya, aku mencoba untuk mundur tetapi aku sedikit kehilangan keseimbangan dan hampir terjungkal. Dengan sigap, kedua tangannya langsung menahan tubuhku.

“Kamu sudah baikkan?” tanyanya lembut. Aku menegakkan kembali tubuhku dan mencoba kembali fokus.

“Bagaimana kamu bisa tahu tentang bekas peternakan?” tanyaku singkat.

“Kamu tidak ingat siapa aku?” Ia masih melontarkan pertanyaan yang sama, aku menggeleng. Anehnya ia malah tersenyum.

“Kalau begitu kamu mungkin akan mengingat ini,”

Tanpa kuduga sedikit pun, ia mendaratkan sebuah belaian puncuk kepalaku. Kurasakan elusan lembut membuat sekujur tubuhku merinding. Aku membulatkan mata dan menjadi tegang seketika, kemudian menatapnya dalam.

“Akhirnya aku menemukanmu, Disha. Namaku Angkara Langit Putra, bocah laki-laki yang langsung mengelusmu seperti tadi setelah diselamatkan olehmu di bekas peternakan," celetuknya.

“Aku menyelamatkanmu?” tanyaku keheranan sementara dia mengangguk penuh keyakinan.

Mengapa kami menyimpan ingatan yang berbeda?

“Sebentar. Kita kesampingkan hal itu! Novel ini, apa kamu penulisnya?”

kuacungkan layar ponsel tepat di hadapan wajahnya. Alisnya terangkat, kemudian menggelengkan kepala.

“Tidak, aku tidak menulis novel.”

“Kamu enggak bohong ‘kan? Kalau kamu bohong, aku akan membunuhmu!” ancamku.

“Kamu bisa menggeledah semua gadget, akun, atau apa pun itu yang kamu perlukan dariku.” Jelasnya.

Aku hanya menunduk lesu.

KRINGG.

Kami sama-sama mendongakkan kepala saat mendengar bel masuk berbunyi. Sebuah tepukkan pelan mendarat di bahuku.

“Aku akan sering-sering menyapamu ya, aku pergi dulu!”

Anak laki-laki bernama Angkara itu pun berjalan menjauh dan hilang di tengah Mahasiswa/i yang berlarian menuju kelas. Sepanjang pelajaran berlangsung, aku tidak bisa fokus sehingga hanya melamun dan memutar-mutarkan pulpen.

“Disha, kamu beneran nggak apa-apa?” bisik Hanindita membuyarkan lamunanku.

Aku menggeleng.

“Hanin, sampai mana si Penulis Arkais menceritakan kisah gadis bernama Mey?”

“Um, bab terakhir yang diunggah baru sampai Mey berani mencari ayahnya seorang diri. Wah aku takjub sama keberanian Mey!” Seru Hanin.

“Mencari ayahnya? Kemana?” tanyaku pura-pura bodoh.

“Menurut spoiler, dia mencarinya ke desa tak berpenghuni yang dulunya tempat tinggal keluarganya. Kita belum tahu perjalanannya bagaimana, bab terbarunya akan diunggah seminggu sekali bahkan harinya tidak pasti,” gerutu Hanin.

Setelah masa pencarian, maka penculikan di mulai.

DRRRRT!

Perhatianku teralihkan pada ponselku yang bergetar sebagai pertanda sebuah pesan masuk. Tidak, bukan pesan biasa. Ini adalah e-mail.

《 Dear Meydisha,

Semua akan segera dimulai. Apa kamu menantikannya, Sayang? 》

Tanganku bergetar hebat, lalu berusaha keras membalasnya. Tapi tidak bisa. Email ini termasuk spam. Kututup ponselku dan mendaratkan kepalaku ke meja. Sialan! Apa yang harus aku lakukan? Batinku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status