Home / Thriller / Digilai Psikopat / Sosok Angkara

Share

Sosok Angkara

Author: Secret Dita
last update Last Updated: 2022-03-08 14:13:08

Sudah terhitung setahun sejak hari penumpahan kopi. Pada awalnya aku tidak serius ingin berteman dengan Hanindita. Tapi percayalah, anak ini susah sekali disuruh menyerah. Akhirnya aku membiarkan dirinya menemaniku dan membantuku setiap hari. Lebih mirip seperti asisten pribadiku sih, haha. Lambat laun, rasanya menyenangkan mempunyai seseorang yang bisa diandalkan setelah sekian lama bergelut dengan kesepian.

Hanindita sosok yang naif, tapi dia tulus. Ia tidak pernah mengganti model rambut pendek dengan poni tipis yang sedikit menerawang dahinya. Apa dia tidak acuh kalau kita sebenarnya tinggal di kota besar yang di mana fashion banyak berkembang setiap hari. Anehnya, ketika ia menyukai sesuatu, ia menjadi sangat agresif dan seolah terobsesi dengannya.

Seperti halnya saat ini, ia terlihat asik menggulirkan layar ponselnya bahkan saat tim basket kesukaannya mencetak poin berkali-kali.

“Hanin, kali ini apa yang kamu suka, sih?”

Ia akhirnya menoleh padaku. “Ah ini, novel daring kesukaanku sudah mengunggah bab terbarunya! Novel ini sedang viral loh! Masa kamu nggak tahu?”

“Novel apa?” tanyaku sambil mencondongkan pandangan ke layar.

“Bara Arkais?” timpalku memastikan.

Ia mengangguk lalu menyerahkan ponselnya padaku supaya aku bisa membacanya. Beberapa baris kalimat menjulur ke bawah dan membentuk sebuah prolog. Tulisan tebal yang menunjukkan timeline akhirnya terbaca olehku.

《 BARA ARKAIS: PROLOG

20 September 2009

Dari Arkais untuk Mey, gadis kecilku.

Gadis kecil itu, gadis kecilku, Mey. Memegang belati bersayap sebagai penolong bagi jiwa-jiwa murni sebayanya.

“Tolong aku!”

“Lepaskan aku!”

Ia mengabulkannya. Menolong teman-temannya tanpa rasa takut. Mendaratkan belati bersayap itu tepat ke dalam jantung neraka. Menerbangkan yang lainnya dengan bebas. 》

***

Sebuah peternakan.

Belati.

Anak-anak yang menangis ketakutan.

Darah yang menggenang.

“AAAAAAAA!!!!!”

Kilasan kenangan hitam terputar di kepalaku. Jantungku berdebar begitu cepat. Kalut dan takut. Aku mulai kehilangan akal sehat saat alam bawah sadar membawaku kembali pada peristiwa mengerikan persis yang tertuang dalam novel. Tepat hari itu, bagaimana novel ini bisa mengetahuinya?

“Meydisha! Disha! Sadarlah!”

Bahuku berguncang sebab Hanin tidak membiarkanku hanyut dalam lamunan kencang. Saat kesadaranku mulai kembali, aku sudah berdiri mematung dan ponsel Hanin telah tergeletak begitu saja.

“Kamu tak apa?” tanya Hanin dengan raut wajah cemas. Sekarang bibirku terlalu kelu untuk berkata baik-baik saja. Aku hanya menggeleng lalu berbalik dan pergi meninggalkan Hanin.

Aku berjalan dengan laju cepat, mencari tempat yang sepi untuk menenangkan diri. Aku masih bergerak dengan cepat menuju taman belakang Universitas Dandelion. Lalu berhenti sesaat ketika aku hampir sampai.

Seseorang mengikutiku.

Aku berbalik.

Benar saja. Seorang laki-laki sebayaku berdiri di hadapanku. Kelopak matanya membesar. Ia tampak setengah kaget sebab tidak menyangka aku akan berbalik sebelum ia memanggilku. Ia sedikit lebih tinggi dariku. Dengan model rambut mafia yang di sisir ke belakang lengkap dengan mata yang kecil namun tajam. Dia merekahkan senyumnya padaku.

“Apa? Kamu mau tanda tangan?”

Aku melontarkan pernyataan menyebalkan itu dengan ketus sebab rasanya hari ini mendadak menjadi melelahkan. Ia menggeleng,

“Kamu tidak ingat padaku?” tanyanya, aku mengernyitkan dahi.

“11 Tahun yang lalu, di bekas peternakan—”

Mendengarnya membicarakan masa lalu membuat tubuhku kembali menegang. Semakin aku mengepalkan tangan untuk menahan lonjakan dari dalam diriku, penglihatanku semakin kabur. Menyadari bahwa aku akan segera jatuh, ia mendekat padaku dan aku masih bisa merasakan terjatuh dalam pelukannya. Setelah itu, aku tidak mengingat apapun hingga aku terbangun di ruang UKS.

***

Aku bisa merasakan sebuah handuk kecil dan basah sudah terhampar di keningku. Butuh tenaga yang lumayan untuk menahan pusing saat kamu mencoba membuka mata. Dan saat kamu berhasil melakukannya, sahabatmu langsung menatapmu tajam.

“Kenapa kamu malah ke Universitas Dandelion sih kalau sakit?”

Aku tidak menggubris pertanyaan Hanin sebab aku langsung ingat harus memastikan sesuatu.

“Hanin, cepat berikan ponselmu!” perintahku. Dia malah melongo.

“Ah cepat!” teriakku. Ia langsung mengeluarkan ponselnya dan memberikannya padaku. Kubuka aplikasi novel daring yang ia miliki dan membaca kembali Novel Bara Arkais. Mataku memindai siapa penulisnya. Satu kode nama kudapatkan.

“Penulis Arkais? Kamu mengenalnya gak?” tanyaku pada Hanin. Dia hanya menggeleng. Sial. Tidak ada informasi yang kuterima hanya dengan mengklik profilnya, ingatanku berlari kencang,

“Kamu tidak ingat padaku?”

“11 Tahun yang lalu, di bekas peternakanㅡ”

“Hanin, siapa yang membawaku ke UKS?” tanyaku terburu-buru.

“Ah, anak Fakultas Sastra, Angkara Langit Putra! Ia begitu populer. Anak-anak sempat ricuh melihatmu digendong olehnya, hahaha.”

Kuabaikan celotehannya yang tidak penting dan menunggu informasi keberadaannya.

“Sekarang di mana dia?”

“Taman tempatmu pingsan,”

Tanpa basa basi, aku langsung berlari menuju anak laki-laki itu. Kutabrak semua orang yang menghalangi jalanku.

Jika memang dia si Penulis Arkais, aku harus menghentikannya. Seseorang tidak boleh menyimpan kenangan mengerikan itu. Dia harus menghapusnya. Dia harus.

Aku sampai di hadapannya. Ia yang sedang duduk di bangku taman langsung beringsut. Kurasa aku mengambil posisi yang terlalu dekat dengan tubuhnya sehingga aku sedikit menengadah dan membuat kami saling bertemu. Saking dekatnya, aku mencoba untuk mundur tetapi aku sedikit kehilangan keseimbangan dan hampir terjungkal. Dengan sigap, kedua tangannya langsung menahan tubuhku.

“Kamu sudah baikkan?” tanyanya lembut. Aku menegakkan kembali tubuhku dan mencoba kembali fokus.

“Bagaimana kamu bisa tahu tentang bekas peternakan?” tanyaku singkat.

“Kamu tidak ingat siapa aku?” Ia masih melontarkan pertanyaan yang sama, aku menggeleng. Anehnya ia malah tersenyum.

“Kalau begitu kamu mungkin akan mengingat ini,”

Tanpa kuduga sedikit pun, ia mendaratkan sebuah belaian puncuk kepalaku. Kurasakan elusan lembut membuat sekujur tubuhku merinding. Aku membulatkan mata dan menjadi tegang seketika, kemudian menatapnya dalam.

“Akhirnya aku menemukanmu, Disha. Namaku Angkara Langit Putra, bocah laki-laki yang langsung mengelusmu seperti tadi setelah diselamatkan olehmu di bekas peternakan," celetuknya.

“Aku menyelamatkanmu?” tanyaku keheranan sementara dia mengangguk penuh keyakinan.

Mengapa kami menyimpan ingatan yang berbeda?

“Sebentar. Kita kesampingkan hal itu! Novel ini, apa kamu penulisnya?”

kuacungkan layar ponsel tepat di hadapan wajahnya. Alisnya terangkat, kemudian menggelengkan kepala.

“Tidak, aku tidak menulis novel.”

“Kamu enggak bohong ‘kan? Kalau kamu bohong, aku akan membunuhmu!” ancamku.

“Kamu bisa menggeledah semua gadget, akun, atau apa pun itu yang kamu perlukan dariku.” Jelasnya.

Aku hanya menunduk lesu.

KRINGG.

Kami sama-sama mendongakkan kepala saat mendengar bel masuk berbunyi. Sebuah tepukkan pelan mendarat di bahuku.

“Aku akan sering-sering menyapamu ya, aku pergi dulu!”

Anak laki-laki bernama Angkara itu pun berjalan menjauh dan hilang di tengah Mahasiswa/i yang berlarian menuju kelas. Sepanjang pelajaran berlangsung, aku tidak bisa fokus sehingga hanya melamun dan memutar-mutarkan pulpen.

“Disha, kamu beneran nggak apa-apa?” bisik Hanindita membuyarkan lamunanku.

Aku menggeleng.

“Hanin, sampai mana si Penulis Arkais menceritakan kisah gadis bernama Mey?”

“Um, bab terakhir yang diunggah baru sampai Mey berani mencari ayahnya seorang diri. Wah aku takjub sama keberanian Mey!” Seru Hanin.

“Mencari ayahnya? Kemana?” tanyaku pura-pura bodoh.

“Menurut spoiler, dia mencarinya ke desa tak berpenghuni yang dulunya tempat tinggal keluarganya. Kita belum tahu perjalanannya bagaimana, bab terbarunya akan diunggah seminggu sekali bahkan harinya tidak pasti,” gerutu Hanin.

Setelah masa pencarian, maka penculikan di mulai.

DRRRRT!

Perhatianku teralihkan pada ponselku yang bergetar sebagai pertanda sebuah pesan masuk. Tidak, bukan pesan biasa. Ini adalah e-mail.

《 Dear Meydisha,

Semua akan segera dimulai. Apa kamu menantikannya, Sayang? 》

Tanganku bergetar hebat, lalu berusaha keras membalasnya. Tapi tidak bisa. Email ini termasuk spam. Kututup ponselku dan mendaratkan kepalaku ke meja. Sialan! Apa yang harus aku lakukan? Batinku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Digilai Psikopat   Last Message

    Akhirnya Tovan dapat bernapas lega. Setelah lima belas menit berlalu, ia bisa melihat Meydisha berkedip meski pergerakan sangat pelan. Sementara dokter sibuk memeriksa kondisinya secara keseluruhan, Meydisha menatap langit-langit rumah sakit dengan tenang. Barangkali, dia belum sadar kehadiran Tovan di sana. “Untuk sekarang ini, tanda-tanda vital menunjukkan respon baik. Tidak ada masalah pada semua jahitan. Kami akan membuka jahitan begitu ia mengering,” jelas dokter wanita bernama Raisa. Setelah mendapat ucapan terima kasih dari Tovan, dokter bersama suster pergi meninggalkan ruangan. Seperti biasa, kamar VIP itu cuma ada Tovan dan Meydisha. Tovan berdeham. Meski begitu, suasananya lebih canggung karena gadis itu tahu kehadiran Tovan. “Kamu yang nyelametin aku? Nama kamu siapa?” tanya Meydisha parau. “Tovan Adipati, gue anaknya—” Keraguan dan rasa bersalah menyeruak di relung hati. Tovan tidak tahu apa yang Meydisha lakukan bila dia tahu semuanya. Apa Meydisha bakal melarikan d

  • Digilai Psikopat   Sakral

    Tetes demi tetes darah bercucuran. Muncul dari teririsnya urat nadi leher Angkara. Angkara? Suamiku yang kucintai? Meydisha berdecih, mengertakkan giginya. Berusaha tak acuh dengan erang kematian dari pria busuk yang perlahan runtuh, lalu ambruk ke tanah bebatuan.“Aku tahu semuanya, Reyvan Purnama,” ucap Meydisha, sangat jelas sekaligus getir.“O-oh-ohok, tol—tol—”Nyawa Reyvan berada di ujung tenggorokan dan tak mampu mengeluarkan satu kata pun. Reyvan memegangi lehernya sekuat tenaga dengan dua kaki menggesek-gesek tanah. Satu tangannya kini lepas, mencoba menyentuh kaki Meydisha. Di detik-detik yang tersisa, ia memohon pengampunan. Berharap Meydisha masih memiliki belas kasih untuk menyelamatkan dirinya.“Selamat karena berhasil hidup bersamaku dalam waktu yang singkat, Reyvan. Tapi, asal kamu tahu, di hari aku sadar kepalsuanmu, kamu tidak pernah menggantikan suamiku, Angkara Langit Putra. Dia tidak pernah sekali pun hilang dari lubuk hatiku. Aku tidak tahu apa yang kamu lakukan

  • Digilai Psikopat   Terdesak

    Hardikan Angkara membuat burung-burung yang bertengger terbang ketakutan. Wajah pria itu memerah sepenuhnya. Rahangnya mengeras bagai batu dan gemetar hebat ketika dipaksa berbicara. Urat syaraf menjalar seperti akar di pelipisnya. Kesabaran Angkara sudah meledak habis. Api yang paling jahat adalah yang membakar jiwa raga. Ia membumi-hanguskan perasaan tanpa meninggalkan asap. Yang artinya, bekas luka akan abadi mengepul kehidupan Angkara. “Sudah terlambat, Angkara,” ungkap Black memecah akal sehat pria yang menggila di atasnya. “Asal kau tahu, aku tak berniat sampai membunuhnya. Hingga sialnya—oopss! Kami ketahuan bakal membunuhmu. Kamu mau melihatnya terakhir kali?” Hening menyeruak, tapi batin Angkara menjerit. Telinganya mendadak tuli, terbawa arus duka yang luar biasa menyakitkan. Ia tak sadar kapan anak buah Black yang pitak itu memberikan ponsel ke bosnya. Potongan Fot

  • Digilai Psikopat   Anak panah

    “Kak Luther menunggumu di sana.” Lia menunjuk punggung kakaknya yang berdiri tegap di ujung tebing. Kedua tangannya disilangkan ke belakang. Berulang kali menoleh ke segala sisi hamparan laut di bawahnya. Sepertinya Pak Luther fokus sekali merasukkan energi tenang dari air ke dalam jiwa raganya. Ia berbalik, nyaris tergelincir kerikil. Merasakan kehadiran Angkara yang membuat sendi-sendi kakinya melemah. “Akhirnya Anda datang,” sambut Pak Luther tersenyum kecut. “Akan kutinggalkan kalian berdua. Kasian Jake sendirian di kamarnya,” timpal Lia sebelum akhirnya pergi. Angkara maju ke tak jauh dari bibir tebing, berdiri di samping Pak Luther. “Saya datang untuk pamit,” ungkap Angkara menyesal. “Ya, saya barusan membaca berita tentang rumor jahat bahwa ketika kecil Anda sempat membunuh psikopat. Rupanya media paling gesit menyebar

  • Digilai Psikopat   Pertanyaan

    “Halo, Lia? Pak Luther? Bu Angel?” Meydisha mengetuk pintu ruang keluarga Pak Luther. Tidak ada jawaban. Dari halaman kantor, lobi, dan kediaman keluarga itu sepi sekali. Apa mereka sudah tidur? Benak Meydisha. Akan tetapi, kalau benar, pintu kaca biasanya terkunci. Itu pun di atas jam sembilan malam. Gagang pintu tak sengaja ditekan Meydisha, engsel berderit. Benda itu terdorong. Membuka portal dunia yang jauh lebih sunyi daripada di luar. “Lia? Bu Angel? Pak Luther?” panggil Meydisha lagi, lebih mengeraskan suara. Kakinya melangkah maju, sedikit demi sedikit masuk ke dalam rumah setelah menutup rapat pintu. Sejauh mata memandang, pintu-pintu kamar terbuka, tapi tidak ada tanda-tanda kehidupan. “Ke mana mereka semua pergi?” gumamnya sendirian. Kekosongan rumah keluarga itu seolah mengaktifkan jiwa ala ‘detektif’ Meydisha. Benaknya digebu-gebu rasa penasaran. Feeling-nya membisikkan ada yang salah di sini. Mereka harusnya lapor pada Angkara lebih dulu jika bepergian. Teledor sekal

  • Digilai Psikopat   Kambing Hitam

    “Nangis? Angkara! Kamu menangis nonton film anti hero?” seru Meydisha, berusaha menengadah di leher Angkara. Angkara menggesek dagunya ke puncak kepala Meydisha. Membiarkan setitik airmata menetes sekaligus supaya perhatian istrinya balik ke layar proyektor. Dinding yang semula putih bersih, sekarang menampilkan jelas adegan-adegan fantastis. Di mana para penjahat kelas kakap serentak berbalik, mengubah langkah mereka dan tidak meninggalkan warga kota yang tengah diserang alien. Tidak acuh pada fakta bahwa mereka sebenarnya melangkah pada kematian. Bunuh diri. Angkara mempererat dekapannya pada Meydisha, selimut pun ikut andil menggulung keduanya dalam kehangatan. “Kamu tidak merasa tersentuh? Manusia yang biasa anggap jahat, ternyata punya sudut pandangnya sendiri untuk menyelamatkan dunia. Lihat! Mereka masih mengikuti hati nurani,” ujar Angkara. Meydisha memutar bola mata. “Ya ... di dunia nyata, kuanggap orang-orang itu adalah orang bodoh.” “Loh, kenapa? Mereka rela mati unt

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status