Share

Digilai Psikopat
Digilai Psikopat
Penulis: Secret Dita

Gadis Kopi

Angin mendesau beriringan dengan terbukanya gerbang Universitas Dandelion. Pandanganku sedikit mengintip dari balik jendela mobil untuk melihat keadaan sekitar yang tidak asing. Ah teman-teman yang gigih, Batinku.

Dengan sedikit menggaruk dahi, aku memikirkan sesuatu yang mengganjal. Teman? Kurasa tidak. Sebenarnya aku tidak berpikir mereka adalah teman. Mereka hanya penggemar yang terkadang mengganggu privasiku.

Anak-anak yang silih berganti menunggu kedatanganku tepat hanya untuk memberiku sebungkus kado sambil mengharapkan aku dapat me-notice mereka supaya dipamerkan. Dan kini, mereka ada di hadapanku. Tidak setiap hari. Hanya saat jadwal pemotretanku tidak padat, aku kembali ke Universitas Dandelion.

Pak Agus, sopir pribadiku membukakan pintu mobil sehingga diriku semakin terekspos di hadapan muda mudi yang bersemangat ini.

Riuh membumbung saat arunika mulai menyemburkan terik yang menyilaukan pandanganku.

“Meydisha, akhirnya kamu kembali Universitas Dandelion!”

“Meydisha ini untukmu!”

Satu bingkisan kuterima.

“Disha terimalah ini!”

Kemudian bingkisan berikutnya.

“Meydisha kamu pasti suka ini!”

Kemudian, menjadi semakin banyak.

“Disha, apa tidurmu nyenyak? Kamu terlihat segar sekali, Ayo berfoto!” pinta seseorang di antara mereka.

Semua hadiah yang mereka sodorkan kuterima sebisaku meski dengan guratan senyum tipis, berharap mereka segera berhenti. Untungnya Pak Agus membantuku mengumpulkan beberapa hadiah di saat tanganku sudah mulai kewalahan merengkuhnya.

“Sudah-sudah, sekarang beri jalan kepada Nona Disha untuk ke kelas.”

Mendengar anjuran tegas dari pak Agus, mereka mulai menepi. Hahaha, Pak Agus memang andalanku!

“TUNGGU!”

Kakiku baru saja berpindah satu langkah, tetapi seorang perempuan berteriak dan berlari ke arahku. Dia berlari dengan cepat sehingga tidak butuh waktu lama untuk melihat sosoknya secara keseluruhan. Gadis berambut pendek dengan poni tipis yang menutupi keningnya. Sialnya, ketika jarak kami hampir dekat, dia kehilangan keseimbangan dan menumpahkan kopi panas ke tubuhku. Ia jatuh terjerembap sedangkan aku sudah seperti keledai yang habis mandi lumpur. Semua hadiah yang berada dalam rengkuhanku basah dan kotor. Anak-anak yang mengerumuni kami tampak melotot bersiap melontarkan kalimat kasar kepada gadis yang masih tertunduk di depan kakiku.

Aku menghela napas panjang menahan rasa kesalku,

“Semuanya diam! Tidak ada yang boleh marah pada gadis ini selain aku. Terima kasih untuk hadiah tulus kalian semua dan biarkan aku menghabisi gadis ini.”

“Nona—” tegur Pak Agus.

“Pak Agus boleh pergi dan bawa semua hadiah ini pulang.”

“Hei Gadis Kopi, ikut aku!” perintahku.

Aku berjalan tanpa menghiraukan bajuku yang lusuh. Suara sepatunya yang terseok-seok masih tertangkap oleh indera pendengaranku. Kami berhenti di tembok belakang gudang Universitas Dandelion, di mana jarang sekali orang yang berlalu lalang.

“Siapa yang memerintahkanmu?” tanyaku sambil melipat tangan di dada.

“A—aku tidak bermaksud, a—aku minta maaf.” ujarnya dengan terbata-bata.

Aku terkekeh lalu melayangkan tangan kananku ke udara. “Kamu mau kupukul?”

Mendengar ancamanku, ia tertunduk dan menangis.

“Pukul saja aku! Aku memang bersalah. Aku orang yang ceroboh dan tidak tahu diri karena mengagumimu. Aku ingin belajar banyak darimu. Aku ingin sepertimu. Ibuku membuat kopi pagi ini, aku hendak memberikannya padamu. Aku minta maaf.”

Gadis itu menangis sejadi-sejadinya dan membuatku memutarbalikkan bola mata.

“Kenapa kamu mau jadi sepertiku? Kamu pikir dengan menjadi sepertiku, kamu bisa bahagia? Tidak bodoh. Ibumu membuatkan kopi untuk putrinya, tapi putrinya malah ingin seperti putri dari ibu lain. Lihatlah apa yang terjadi sekarang! Cobalah hidup dengan baik dan berhenti mengusikku!” Bentakku memecah belah keheningan yang berada di antara kami, tangisnya semakin menjadi-jadi.

“Parasit.”

Satu kata terakhir yang kulontarkan padanya sebelum aku pergi menuju toilet perempuan. Kugebrak salah satu pintu toilet dan membantingnya keras-keras sebelum aku menguncinya. Sial, aku baru saja memulai hari. Memuakkan.

Sayup-sayup terdengar suara sekelompok anak perempuan. Kemudian suara obrolan itu terdengar semakin dekat saat mereka berdiri di depan wastafel.

“Hei, kamu dengar insiden tadi? Bintang Universitas Dandelion kita apes sekali hari ini, haha.” Sahut salah satu di antara mereka, gigi atasku bergesekkan dengan gigi bawah sebab menahan kesal.

“Entah kenapa menyenangkan melihat Meydisha sial seperti itu! Kamu lihat wajahnya? Ia dengan munafik menahan marah, padahal kita semua tahu temperamennya buruk.”

Aku beringsut setelah sedari tadi merapatkan kaki dan duduk termangu di atas kloset yang tertutup. Dalam hitungan detik, aku akan segera menjambak rambut dua orang gadis kurang ajar itu. Lihat saja! Batinku.

“Bisa kalian tutup mulut kalian?”

Suara yang tak asing membuat tanganku hanya sedikit menempel di permukaan pintu. Celah tercipta saat aku menyerah pada rasa penasaran yang menyeruak. Melalui celah itu, aku bisa melihat gadis yang baru saja kumaki, sekarang malah memaki orang-orang yang seharusnya kumaki.

“Ah, jadi ini gadis pembawa sial yang berjasa membuat bintang Universitas Dandelion kita malu?” cemooh gadis perundung berambut keriting.

“Berhenti mencemoohnya!” bentak Si Gadis Kopi—sebutan untuk seseorang yang menumpahkan kopi padaku tadi pagi.

Gadis perundung berbando telinga kucing lalu mencengkram kerah seragam Si Gadis Kopi membuatku tidak bisa tinggal diam dibalik pintu tipis ini. Gebrakkan pintu membuat mereka semua tersentak, ketiganya berbalik kepadaku. Ekspresi kaget dan bodoh dilontarkan mereka kepadaku, kuambil pouch make up milik kedua gadis perundung itu dan melemparkannya sekeras mungkin hingga berserakan di lantai. Kuinjak pouch tersebut dan mendekati mereka berdua. Menatap keduanya secara bergantian dengan tatapan menusuk.

“Kalian sudah tahu temperamenku buruk tapi berani menyebutku munafik?”

Kucabut bando yang dipakai oleh salah satu gadis perundung.

KREK!

Suara patahan terdengar seiring terbelahnya bando kucing yang malang.

“Siapa nama kalian?” tanyaku.

Keduanya masih menunduk sambil mengumpulkan keberanian untuk menjawab.

“A-a-yu," jawab gadis berambut keriting.

“Kalau kamu?”

“P-p-putri ....”

Aku tersenyum miring saat mendengar nama mereka.

“Benar-benar nama munafik.”

Kupersempit jarakku dengan mereka berdua, potongan bando tadi kugoreskan perlahan di pipi si rambut keriting.

“Seperti yang kamu bilang, gadis kopi ini berjasa untukku. Jangan berani-berani mengganggunya, sebab ia akan berjasa padaku setiap harinya. Mulai sekarang ia adalah sahabatku.”

Si Gadis Kopi tersentak dan mengangkat dagunya, lalu memandangiku.

“Siapa namamu?” tanyaku sambil tersenyum.

“Hanindita Savira,” ungkapnya.

Kuulurkan tangan ini. “Namaku Meydisha Renjani.”

Ia membalas uluran tanganku dan kami saling menorehkan senyum. Untuk pertama kalinya, aku mengulurkan tangan pada orang asing sebayaku. Setelah sebelas tahun memupuk masa lalu mengerikan yang mengurungku. Masa lalu dari seorang anak yang kala itu berusia enam tahun dan harus menghadapi orang gila yang hobi membantai anak kecil.

Sejak saat itu, aku membangun dinding besar dan tinggi untuk menyembunyikannya. Aku tidak tahu. Apakah fakta bahwa aku adalah seorang anak konglomerat yang ayahnya hilang bak ditelan bumi dan ibu yang memilih membangun keluarga baru di negeri orang dapat membantuku menutup rapat-rapat rahasia kelam ini atau justru dapat menjadi bom waktu yang bisa saja meledak dan menghancurkan hidupku.

Namun melihat sosok gadis yang dapat membelaku dengan lantang, hati kecilku seolah memohon untuk memberikan celah pada diriku sendiri untuk berani merasakan berbagi senyuman tulus kepada orang di sampingmu. Melalui uluran tangan ini, aku memberanikan diri untuk membuka diri. Meski tanpa mengetahui bahwa keputusanku dapat menyambungkan kembali kisah yang sudah lama terputus.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status