Share

Hari Gelap

Author: Secret Dita
last update Last Updated: 2022-03-08 14:14:51

Hari ini, aku tidak berangkat ke Universitas Dandelion karena ada jadwal pemotretan. Kali ini, aku melakukan pemotretan untuk salah satu majalah. Kuakui pakaian yang diberikan lebih beragam. Sehingga aku harus berkali-kali ke ruang ganti.

            “Bagus, Meydisha. Pertahankan posenya!” pinta kakak fotografer berambut gondrong.

            “Oke, beri tatapan lebih tajam, ya!”

            Jepretan flash kamera menghunjami pose-pose terbaik yang kulakukan.

             Akhirnya aku merampungkan pekerjaanku. Langsung saja aku berganti pakaian yang lebih nyaman dan menunggu managerku, Kak Laras yang sedang kupintai bantuan. Selama menunggu, aku tidak bisa berhenti menggigiti kuku sehingga nail art bergambar bintang terkelupas sedikit demi sedikit. Sementara itu, kakiku terus saja bergetar menunggu kepastian.

            Akhirnya setelah kutunggu-kutunggu, siluet Kak Laras terlihat memasuki studio. Aku beringsut dan melempar selimut yang menutupi pahaku ke kursi.

            “Bagaimana kak? Kakak sudah mencari tahu siapa si Penulis Arkais itu?”

‘” tanyaku menatap kak Laras dengan penasaran. Sayangnya, raut wajah yang ditorehkannya tidak seperti yang kuharapkan.

            “Tidak, maaf Meydisha. Penulis itu tidak meninggalkan jejak apapun.”

            Aku menghela nafas berat.

            DRRRT..

            Ponselku bergetar. Satu panggilan masuk dari nomor yang asing, mungkinkah Si Penulis Arkais? Langsung saja kuangkat telepon dan mendengarkannya seksama.

            “Hai, Meydisha! Ini Angkara, kamu sedang ada jadwal pemotretan ya? Sayang sekali, aku nggak bisa menyapamu hari ini!” celoteh Angkara begitu aku menjawab teleponnya.

            “Ada apa sih? Kamu nggak tahu aku sedang sibuk?” tanyaku dengan nada sinis.

            “Aku ingin memastikan sesuatu. Apa kamu benar-benar tidak mengingatku dulu?”

            Aku terdiam sesaat.

            Aku mengingatmu bocah kecil bodoh. Sayangnya, kamu masuk ke dalam kenanganku yang salah. Yang sangat ingin aku hapuskan.

            “Tidak. Aku tidak mengingatmu. Sudah ya, kututup?”

            “Tunggu!” teriakannya keras sekali sampai aku memutuskan untuk memberinya kesempatan berbicara.

            “Novel itu, Bara Arkais. Aku sudah membacanya dan aku tahu kamu berbohong soal ingatanmu. Jika tidak, kenapa kamu bertanya padaku?”

            Aku membisu mendengar pertanyaan.

            “Tidak, b-bukan..”

            “Kita harus bertemu. Ingat Meydisha, bukan hanya kamu yang bergelut dengan kenangan mengerikan itu.” Ujar Angkara dengan tegas. Aku sedikit terkejut, anak laki-laki yang kemarin terdengar suka menggoda itu sekarang dapat setegas ini.

            “Cafe Flower, tepat jam 12 siang.” Jawabku singkat, lalu langsung menutup telepon dari Angkara.

***

Cafe Flower, Meja 15.

            “Saat itu, kamu memilih aku menjadi anak yang akan berkelahi. Karena itulah aku hidup.” Sahut Angkara sambil meneguk secangkir kopi tanpa gula.

            Aku menurunkan pandanganku, “Benar. Tapi setelah kamu pergi, aku membunuh anak-anak tak berdosa itu.” Ujarku sambil terus menggosok-gosokkan tangan yang berkeringat karena cemas.

            “Kamu membunuh mereka?” tanya Angkara dengan nada keheranan.

            “Tidak mungkin, aku mendengar jeritan kencang si pria bertopeng saat bersembunyi di kandang lain demi menunggumu keluar hidup-hidup dari sana.” Lanjutnya.

            Aku terpelatuk dengan pernyataannya. Mataku menyipit saat mencoba mengingat kembali jeritan si pria bertopeng. Namun, nihil.

            “Angkara, yang kuingat hanyalah anak-anak yang sudah terbujur kaku dengan darah di perut mereka. Dan aku hanya berdiri di hadapan mereka dengan belati penuh darah.” Ujarku frustasi, Angkara tampak menghela napas berat.

            “Apa kamu melihat jasad si pria bertopeng?” tanyanya. Aku menggeleng.

            “Tidak. Aku tidak melihatnya.”

            Suaraku hampir bergetar.

            “Apa si pria bertopeng masih hidup? Apa sekarang dia menjelma menjadi Penulis Arkais?”

            Aku sudah kehilangan akal dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat otakku akan meledak. Tiba-tiba, Angkara menggenggam tanganku.

            “Kita sudah dewasa. Jika dia memang Penulis Arkais, usianya sudah di atas tiga puluh, dia tidak akan sekuat dulu.”

            “Tetapi, Ra...”

            “Usiamu baru sebelas tahun waktu itu. Tapi kamu sudah berani mencoba bernegosiasi dengan psikopat gila dan menyelamatkanku. Sekarang, kamu sudah berusia tujuh belas. Kamu pasti bisa melakukan lebih,”

            “Kita tumbuh dari luka yang sama. Aku pastikan kita akan sembuh dengan menghadapinya bersama-sama.”

            Kegelisahan yang menyeruak seakan terguyur oleh tenangnya setiap kalimat yang terucap dari bibir Angkara. Sempat-sempatnya ia tersenyum lepas padaku padahal sebuah misteri besar masih terkunci rapat di dalam sudut ruangan tergelap.

            DRRRT..

            Aku melepaskan genggaman Angkara saat sebuah pesan dari Hanindita muncul dalam panel notifikasi.

            “Meydisha, bab terbaru Bara Arkais sudah terbit! Aku memberitahumu sebab sepertinya kamu tertarik pada novel ini. Ayo baca!”

            Tanganku bergetar lalu menatap Angkara lekat.

            “Bab penculikan sudah terbit.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Digilai Psikopat   Last Message

    Akhirnya Tovan dapat bernapas lega. Setelah lima belas menit berlalu, ia bisa melihat Meydisha berkedip meski pergerakan sangat pelan. Sementara dokter sibuk memeriksa kondisinya secara keseluruhan, Meydisha menatap langit-langit rumah sakit dengan tenang. Barangkali, dia belum sadar kehadiran Tovan di sana. “Untuk sekarang ini, tanda-tanda vital menunjukkan respon baik. Tidak ada masalah pada semua jahitan. Kami akan membuka jahitan begitu ia mengering,” jelas dokter wanita bernama Raisa. Setelah mendapat ucapan terima kasih dari Tovan, dokter bersama suster pergi meninggalkan ruangan. Seperti biasa, kamar VIP itu cuma ada Tovan dan Meydisha. Tovan berdeham. Meski begitu, suasananya lebih canggung karena gadis itu tahu kehadiran Tovan. “Kamu yang nyelametin aku? Nama kamu siapa?” tanya Meydisha parau. “Tovan Adipati, gue anaknya—” Keraguan dan rasa bersalah menyeruak di relung hati. Tovan tidak tahu apa yang Meydisha lakukan bila dia tahu semuanya. Apa Meydisha bakal melarikan d

  • Digilai Psikopat   Sakral

    Tetes demi tetes darah bercucuran. Muncul dari teririsnya urat nadi leher Angkara. Angkara? Suamiku yang kucintai? Meydisha berdecih, mengertakkan giginya. Berusaha tak acuh dengan erang kematian dari pria busuk yang perlahan runtuh, lalu ambruk ke tanah bebatuan.“Aku tahu semuanya, Reyvan Purnama,” ucap Meydisha, sangat jelas sekaligus getir.“O-oh-ohok, tol—tol—”Nyawa Reyvan berada di ujung tenggorokan dan tak mampu mengeluarkan satu kata pun. Reyvan memegangi lehernya sekuat tenaga dengan dua kaki menggesek-gesek tanah. Satu tangannya kini lepas, mencoba menyentuh kaki Meydisha. Di detik-detik yang tersisa, ia memohon pengampunan. Berharap Meydisha masih memiliki belas kasih untuk menyelamatkan dirinya.“Selamat karena berhasil hidup bersamaku dalam waktu yang singkat, Reyvan. Tapi, asal kamu tahu, di hari aku sadar kepalsuanmu, kamu tidak pernah menggantikan suamiku, Angkara Langit Putra. Dia tidak pernah sekali pun hilang dari lubuk hatiku. Aku tidak tahu apa yang kamu lakukan

  • Digilai Psikopat   Terdesak

    Hardikan Angkara membuat burung-burung yang bertengger terbang ketakutan. Wajah pria itu memerah sepenuhnya. Rahangnya mengeras bagai batu dan gemetar hebat ketika dipaksa berbicara. Urat syaraf menjalar seperti akar di pelipisnya. Kesabaran Angkara sudah meledak habis. Api yang paling jahat adalah yang membakar jiwa raga. Ia membumi-hanguskan perasaan tanpa meninggalkan asap. Yang artinya, bekas luka akan abadi mengepul kehidupan Angkara. “Sudah terlambat, Angkara,” ungkap Black memecah akal sehat pria yang menggila di atasnya. “Asal kau tahu, aku tak berniat sampai membunuhnya. Hingga sialnya—oopss! Kami ketahuan bakal membunuhmu. Kamu mau melihatnya terakhir kali?” Hening menyeruak, tapi batin Angkara menjerit. Telinganya mendadak tuli, terbawa arus duka yang luar biasa menyakitkan. Ia tak sadar kapan anak buah Black yang pitak itu memberikan ponsel ke bosnya. Potongan Fot

  • Digilai Psikopat   Anak panah

    “Kak Luther menunggumu di sana.” Lia menunjuk punggung kakaknya yang berdiri tegap di ujung tebing. Kedua tangannya disilangkan ke belakang. Berulang kali menoleh ke segala sisi hamparan laut di bawahnya. Sepertinya Pak Luther fokus sekali merasukkan energi tenang dari air ke dalam jiwa raganya. Ia berbalik, nyaris tergelincir kerikil. Merasakan kehadiran Angkara yang membuat sendi-sendi kakinya melemah. “Akhirnya Anda datang,” sambut Pak Luther tersenyum kecut. “Akan kutinggalkan kalian berdua. Kasian Jake sendirian di kamarnya,” timpal Lia sebelum akhirnya pergi. Angkara maju ke tak jauh dari bibir tebing, berdiri di samping Pak Luther. “Saya datang untuk pamit,” ungkap Angkara menyesal. “Ya, saya barusan membaca berita tentang rumor jahat bahwa ketika kecil Anda sempat membunuh psikopat. Rupanya media paling gesit menyebar

  • Digilai Psikopat   Pertanyaan

    “Halo, Lia? Pak Luther? Bu Angel?” Meydisha mengetuk pintu ruang keluarga Pak Luther. Tidak ada jawaban. Dari halaman kantor, lobi, dan kediaman keluarga itu sepi sekali. Apa mereka sudah tidur? Benak Meydisha. Akan tetapi, kalau benar, pintu kaca biasanya terkunci. Itu pun di atas jam sembilan malam. Gagang pintu tak sengaja ditekan Meydisha, engsel berderit. Benda itu terdorong. Membuka portal dunia yang jauh lebih sunyi daripada di luar. “Lia? Bu Angel? Pak Luther?” panggil Meydisha lagi, lebih mengeraskan suara. Kakinya melangkah maju, sedikit demi sedikit masuk ke dalam rumah setelah menutup rapat pintu. Sejauh mata memandang, pintu-pintu kamar terbuka, tapi tidak ada tanda-tanda kehidupan. “Ke mana mereka semua pergi?” gumamnya sendirian. Kekosongan rumah keluarga itu seolah mengaktifkan jiwa ala ‘detektif’ Meydisha. Benaknya digebu-gebu rasa penasaran. Feeling-nya membisikkan ada yang salah di sini. Mereka harusnya lapor pada Angkara lebih dulu jika bepergian. Teledor sekal

  • Digilai Psikopat   Kambing Hitam

    “Nangis? Angkara! Kamu menangis nonton film anti hero?” seru Meydisha, berusaha menengadah di leher Angkara. Angkara menggesek dagunya ke puncak kepala Meydisha. Membiarkan setitik airmata menetes sekaligus supaya perhatian istrinya balik ke layar proyektor. Dinding yang semula putih bersih, sekarang menampilkan jelas adegan-adegan fantastis. Di mana para penjahat kelas kakap serentak berbalik, mengubah langkah mereka dan tidak meninggalkan warga kota yang tengah diserang alien. Tidak acuh pada fakta bahwa mereka sebenarnya melangkah pada kematian. Bunuh diri. Angkara mempererat dekapannya pada Meydisha, selimut pun ikut andil menggulung keduanya dalam kehangatan. “Kamu tidak merasa tersentuh? Manusia yang biasa anggap jahat, ternyata punya sudut pandangnya sendiri untuk menyelamatkan dunia. Lihat! Mereka masih mengikuti hati nurani,” ujar Angkara. Meydisha memutar bola mata. “Ya ... di dunia nyata, kuanggap orang-orang itu adalah orang bodoh.” “Loh, kenapa? Mereka rela mati unt

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status