Share

Bab 2: Perubahan Yang Nyata

22 November 1979, adalah tepat tujuh bulan aku dan Wirda tinggal di rumah baru. Selama itu pula, aku bisa merasakan perubahan tabiat istriku. Awalnya, semuanya baik-baik saja, tetapi semakin lama, minggu demi minggu mulai terlihat-lah perubahan itu.

Karena itu pula,  hubungan kami selalu dibumbui dengan perdebatan-perdebatan kecil. Pertama soal dirinya yang sering bangun siang, meskipun malamnya ia sama sekali tidak bergadang. Bisa dibilang begitu, karena kami tidur paling telat pukul sepuluh, dan untungnya setelah kejadian ganjil pertama di rumah itu, Wirda tidak melakukan hal aneh lagi. Kedua, tentu saja dengan kemurungannya yang akhir-akhir ini selalu mencemaskanku.

Wirda yang selalu terlihat ceria sebelumnya kini tampak murung, padahal saat di rumah lama pun, meski sakit ia masih bisa bercanda denganku. Perempuan itu setiap aku pulang kerja selalu menampilkan raut yang murung. Saat kutanya, apakah ada masalah di rumah, atau ada sesuatu yang mengganggu tubuhnya, Wirda tidak mau memberikan keluhannya.

“Bilang padaku kalau kamu ada sesuatu yang mencemaskanmu...” kataku di atas meja makan. Saat itu, pukul enam sore. Kebetulan aku tidak mengambil lembur dari pekerjaanku di sebuah bank swasta yang baru buka di kota kecil, di daerah Yogyakarta.

”Aku nggak apa-apa, Mas,” katanya bernada agak ketus, dan wajahnya masih memiliki nuansa murung. 

“Lalu, kenapa? Apa kamu sakit?” kataku mencoba perhatian sembari mengecek suhu tubuhnya. Namun, saat aku mencoba meletakkan tanganku ke keningnya, tatkala Wirda berjalan melewatiku menuju sofa ruang tamu, Wirda menepis tanganku sembari menunjukkan wajah masam, yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Bahkan selama di rumah lama kami, Wirda tak pernah bersikap seperti itu. “Kenapa kamu jutek begitu padaku?” 

“Sudah deh, Mas. Jangan berlebihan.”

“Aku nggak berlebihan, tapi mulai kemarin sampai hari berikutnya... sampai sekarang... kamu aneh! Pertama, kamu bangun siang sekali. Saat aku telepon kamu bilang baru bangun, padahal itu jam makan siang... kita jarang sarapan bersama... terus kamu...”

“Cukup. Aku sedang nggak enak badan. Itu saja!"

“Kalau begitu kamu tinggal bilang padaku, supaya kita bisa mengecek kesehatanmu! Siapa tahu...”

“Nggak!”

“Nggak apa?”

“Aku belum mau hamil.”

“Apa maksudmu?”

“Maaf. Bukan begitu maksudku... hanya saja...” nadanya melemah, dan suasana dalam ruangan itu terasa sesak.

Nafsu makanku berkurang. Padahal, meski hari itu, juga hari-hari sebelumnya Wirda selalu murung, ia memasaki telur ceplok dengan sambal balado kesukaanku, lengkap dengan sayur bening dan tempe goreng yang menjadi makanan kesuakaannya. Namun, Wirda sendiri terlihat lebih tidak nafsu makan, meski tidak kulihat wajahnya  pucat seperti orang sakit.

“Tapi... tetap saja, kita mesti memeriksakan keadaanmu.”

“Nggak perlu. Aku sehat. Hanya saja, aku kelelahan.”

“Apa aku perlu mengambil cuti supaya kita bisa berbagi pekerjaan?”

Wirda kemudian tersenyum kecut.

“Terima kasih, Mas. Tapi nggak usah. Ini pekerjaanku.”

“Atau, kamu ingin bekerja lagi? Seperti sebelum saat kita menikah? Aku sih nggak apa-apa, meski ibuku bilang kamu nggak perlu bekerja lagi.”

“Nggak. Aku masih menikmati jadi ibu rumah tangga, jadi istrimu.”

“Tapi, kamu harusnya bicara padaku. Biasanya kamu selalu cerita. Biasanya kamu selalu mengatakan apa saja yang kamu katakan meski itu sekadar sakit kepala atau, atau, gatal kecil saja, tapi...”

Wirda mulai berubah lagi ekspresinya. Ia tampak lebih kecut dan tidak suka ketika emosiku mulai meledak-ledak. Padahal yang kulakukan hanyalah karena aku cemas dengan perubahan emosinya akhir-akhir ini. Terus terang keadaannya itu berimbas juga padaku. Kerjaku di kantor jadi tidak fokus, karena sering kepikiran dirinya. Tapi, setelah beberapa bulan ini tak ada perubahan, setiap aku tanya dia selalu berwajah seperti itu.

Benar-benar wajah yang tak sedap di padang. Kadang ekspresinya yang memalingkan wajah dariku, seolah aku ini benda menjijikkan membuatku sedikit tersinggung. Seharusnya dia sadar, kalau itu adalah bentuk lain dari rasa perhatianku padanya.

“Cukup, Mas. Kenapa, akhir-akhir ini kamu jadi cerewet terus, sih? Aku ini nggak apa-apa...”

Kami kemudian terdiam. Ruangan benar-benar sunyi. Dan Wirda hanya mengisinya dengan melamun, menatapi guci kosong yang kudapatkan dari toko gerabah di Solo.

Tak lama, Wirda beringsut dari sofa ruang tamu, ia melewatiku begitu saja sebelum akhirnya pintu kamar kami terdengar menggebrak keras.

Akhirnya, aku yang membereskan semuanya. Seperti hari-hari sebelumnya. Mencuci piring. Bahkan di hari selanjutnya aku juga yang mencuci baju, karena setelah perdebatan di meja makan itu, Wirda terlihat malas melakukan sesuatu. Meski hanya ada dua saja yang tidak dia malas: membersihkan diri dan bersolek. Kuakui, ia tambah cantik meski di dalam rumah. Aku tidak bisa mejelaskannya. Wajahnya seperti ada binar misterius yang membuatku terpincut kembali, walau sejak beberapa hari ini hubungan ranjangku dengannya tidak berakhir mulus. 

Wirda yang biasanya selalu memelukku, atau kita selalu bercengkerama mesra setelah bercinta, beberapa bulan terakhir kita mulai tidak melakukannya lagi. Semua terasa pahit. Terasa hampa. Meski Wirda terlihat memaksakan dirinya untuk bisa menikmati persetubuhan kami, pada akhirnya, ia hanya menampilkan senyum kecil. Aku paham itu. Tapi, aku tidak berani mengatakannya. Lidahku kelu untuk memulai perdebatan lagi. 

Aku tahu, bila kulakukan, itu akan menjadi pertengkaran yang panjang. Kami akan mulai saling menyalahkan. Dan aku tak ingin kami lebih banyak diam karena beberapa masalah yang menghinggapi kami. Aku sadar, tak ada pernikahan yang sempurna. Perdebatan akan selalu terjadi karena kesalahpahaman, atau kekhilafan masing-masing. Bahkan saat kami masih tinggal di rumah lama pun kami masih sering seperti itu, meski tidak separah sekarang.

Dan malam itu, kami tidur saling memunggungi. Wirda lebih banyak mengarah ke jendela, seolah ia sedang melihat sesuatu di balik jendela. Setiap aku pergi ke kamar mandi pun, kadang aku masih sering melihatnya melihat ke arah gorden. Walau kemudian ia memejamkan matanya tatkala aku memergokiknya.

Sabtu berikutnya, 29 November 1979. Untuk memulihkan, sekaligus mencairkan suasana di dalam rumah, aku mengajaknya makan di luar, setelah dalam beberapa bulan terakhir terasa sumpek. Serba gusar, dan kami tahu, kami menahan gejolak emosi, karena kami ragu bila mengeluarkannya itu hanya akan berakibat masalah baru, yang pastinya akan membutuhkan adaptasi baru dalam penyelesaiannya.

Awalnya saat kuutarakan niatku, dia agak kaget. Karena sejak aku dipindahkan ke bank cabang Bantul, Yogya ini, aku jarang mengajak dia ‘malam mingguan’ begitu menurut kami.

“Ya, ini itung-itung membuat suasana baru. Supaya lebih tenang,” kataku sembari bersender di bibir pintu seraya tanganku memegang botol limun.

“Tapi, tumben sekali,” jawab Wirda mulai tertarik dengan ajakanku. Sejak tadi ia selalu membaca buku dan menulis sesuatu yang pastinya tidak akan kupahami. “Jadi, kamu ingin mengajakku ke mana, Mas?”

“Ya, biasa? Makan malam. Kita cari tempat makan enak di Malioboro. Mungkin angkringan atau makanan lainnya. Mungkin kamu mau ke Beringharjo, membeli sesuatu di sana. Beberapa bulan ini kulihat kamu seperti terjebak di sini. Mungkin karena itu juga suasana hatimu kurang mendukung.”

Wirda tampak manyun.

“Tidak, kok. Aku suka di sini. Kamu terlalu jauh berpikiran.”

Aku terdiam mendengarnya, terlebih saat dia bilang, ‘aku suka di sini’ wajah Wirda terlihat senang sekali. Cerah, dan pipinya bersemu kemerahan. Aku tahu ekspresi Wirda saat sedang dalam suasana senang. Namun, ada yang aneh dengan ekspresinya ini.

“Jadi, nggak kita pergi? Kok malah melamun.”

“Ya, jadi,”

“Kalau begitu aku mandi dulu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status