Share

Bab 3:Keanehan dan Kecemasan

Malam itu, kami benar-benar pergi ke tempat makan yang pernah kami datangi sebelum menempati rumah baru itu. Letaknya ada di sekitar Malioboro, jalanan yang sebenarnya cukup ramai dengan angkringan serta pengamen atau lebih tepatnya seniman yang selalu menghibur setiap turis maupun pejalan kaki.

Malam itu kami parkir di dekat Malioboro. Entah aku lupa jalan apa namanya, yang jarak kami dari jalan itu ke Malio (begitu kami biasa menyebutnya), hanya tinggal menyeberang suatu perempatan saja. Tak hanya mobil di jalan itu yang parkir di sisi-sisi jalan, beberapa motor miliki pedagang atau pengunjung entah dari mana, juga parkir di tempat yang ramai dengan toko-toko batik dan sepatu.

“Kita tinggal jalan kaki saja ke sana,” kataku. Wirda masih semi murung. Padahal sebelumnya, dia sudah sedikit agak baikan. Sudah bisa senyum lebar padaku, karena tahu kami selalu menikmati setiap malam minggu kami, di saat dulu masih pacaran.

“Kita di tempat tertutup saja,” kata Wirda.

“Kenapa? Ke sini kalau nggak makan di angkringan nggak afdol.”

“Tapi, aku mau ke restoran saja.”

“Kenapa?”

“Pokoknya ke sana.”

“Iya, aku ingin tahu alasannya kenapa?”

“Kamu mau apa tidak? Kalau tidak lebih baik kita pulang lagi saja. Keruan makan di rumah. Beli di warung pinggir jalan.”

“Kalau begitu namanya bukan malam minggu.”

Selepas aku bicara begitu, Wirda langsung menggerutu, dan aku tak bisa mendengar apa yang digusarkan. Aku sendiri tak tahu apa yang telah membuat Wirda berubah pikiran. Padahal selama di perjalanan kami baik-baik saja. Sesekali mengomentari seorang pedagang kopi pinggir jalan, yang tampak menyeberang dan kami berseloroh soal itu.

Namun, sejak aku sudah parkir dan menurukannya di trotoar, Wirda memang tampak pucat dan seperti ketakutan karena melihat sesuatu.

Maka, tatkala kami sedang mencari restoran mana yang akan kami kunjungi di sekitaran Malioboro itu, aku iseng bertanya, meskipun aku tahu saat itu dia sebenarnya masih agak cemberut.

“Apa kamu takut sesuatu?”

Wirda langsung menatapku serius, lalu memalingkan pandangnya lagi, dan menatap jalanan yang ramai di malam hari. Yogya memang selalu hidup menjelang matahari tenggelam.

“Nggak.”

“Kamu yakin? Aku melihatmu agak pucat. Kamu sakit?”

“Nggak! Apa sih kamu, selalu mendesakku begitu. Sejak kemarin selalu menuduhku sakit dan semacamnya. Yang merasakan adalah aku, jadi kamu nggak usah sok tahu deh. Sudahlah, ayo serius mencari tempat makan.”

“Oke, oke. Kamu tahu, aku hanya mencemaskanmu, Wirda.”

“Terima kasih,” katanya ketus sembari berjalan mendahuluiku, dengan tetap menampilkan raut kecut.

Begitulah, pada akhirnya suasana malam minggu kami yang kuharapkan bisa mengobati kepengapan dalam suasana rumah yang entah mengapa terus menghinggapi kami selama berminggu-minggu: seolah bukan hanya manusianya saja yang menderita sakit, tetapi rumah pun demikian.

Maka, setelah berjalan dari sisi ke sisi sekitar lima belas menit, dan kami tanpa bicara sama sekali, akhirnya aku meminta Wirda untuk makan di sebuah restoran soto khas Yogya, yang cukup besar di sekitar situ. Meski pada kenyataannya, kami kini sudah tidak lagi berada di jalan Malio. Lokasi parkiran kami pun terbilang cukup jauh sekarang. Entah, berapa kilo kami menjauh dari Malioboro.

“Di sini saja, ya?” kataku.

“Ya sudah.”

Wirda pun tampak  mengangguk. Ia pun kini sudah lelah berjalan. Terlihat sekali, sejak tadi selalu mengeluh dan menggerutu tak jelas. Aku tak mengerti kepribadiannya bisa berubah seperti ini. Atau ini karena aku yang selama ini belum mengenalnya. Tentu aku bisa paham soal itu, sebab kami menikah belum terlalu lama. Baru tiga tahun. Masalah menemukan kebiasaan baru—atau lebih tepatnya yang selama ini tidak kami lihat—adalah hal wajar.

Akan tetapi, tidak sedrastis ini. Masalahnya, selama beberapa bulan terakhir, aku seperti berada di satu rumah dengan orang yang sama sekali tidak kukenal. Ya, aku sama sekali tidak bisa merasakan sosok Wirda yang selama ini selalu kukenal dan kucintai. Meski, sekarang pun, rasa cintaku belum hilang padanya. Tentu saja.

Malam itu, sekitar pukul setengah sepuluh, kami memakan soto, dan aku mulai melihat perangainya yang semakin lama semakin aneh. Pucat. Seperti curiga terhadap seseorang yang ada di sekitarnya.

“Kenapa?” tanyaku sembari menyuapi diriku sendiri dengan kuah soto yang agak asam, karena cairan jeruk nipis tersebut.

“Nggak.”

“Yang aku tahu...” kataku sembari berkata pelan-pelan, agar membuatnya tak tersinggung. “Kamu selalu mengatakan apapun padaku. Kamu tidak pernah menyembunyikan apapun padaku sebelumnya, bahkan meski itu hanyalah sakit kepala. Kau selalu bilang padaku.”

“Maksudmu?”

Wirda terlihat memain-mainkan mangkuk dan sendoknya. Kuah soto itu terlihat keruh dan semakin keruh setiap sendok yang dipegang Wirda mengaduknya seperti mengaduk telur untuk didadar.

“Ya, kamu selalu memberitahu soal masalah apapun yang kamu rasakan. Aku tahu itu. Mulai kita pacaran, bahkan sampai dua tahun pernikahan kita, kamu tidak berubah.”

“Setiap orang pasti berubah.”

“Tidak secepat ini, dan tanpa motif apapun. Apa aku melakukan kesalahan yang berat padamu?”

Wirda menggeleng. Suara adukan sendok di mangkuknya semakin menggangguku. Tapi, aku bisa tahan.

“Apa aku telah mengatakan sesuatu yang telah membuatmu tersinggung atau sakit hati? Setahuku, malah kamu yang jujur saja... “ aku berusaha menimbang soal perasaanku ini. Tapi, akan kukatakan pelan-pelan.

“Jujur saja... saat kamu bilang ingin menunda anak. Ini seperti menyentakku. Aku tidak tahu kalau kamu bisa berubah pikiran secepat itu.”

“Apa maksudmu berubah pikiran cepat? Bukankah kita selalu menunda?”

“Kapan kita pernah bilang kalau kita ingin menunda punya anak,” kataku berusaha menekan suaraku agar tidak terdengar orang lain. Terlebih dengan begitu, bisa membuat suara Wirda pun agak tertahan sedikit setelah tadi suaranya perlahan meninggi, membuat beberapa orang menoleh ke arah kami.

“Apa kamu lupa?” tanyaku lagi.

“Aku tidak lupa!”

“Kita tidak pernah bilang... atau lebih tepatnya, kamu tidak pernah bilang padaku kalau kau ingin menunda punya anak! Kamu sendiri yang bilang sebelum pindah ke rumah baru itu, kalau kamu tidak ingin terus ditinggal-tinggal olehku, agar kita bisa merencenakan program kehamilan!”

“Tidak... tidak... seingatku aku tidak pernah berkata demikian.”

Aku tentu saja lantas mengembuskan napas sembari mendengus kecil. Aku yakin, tak mungkin salah karena ingatan soal itu masih segar sekali di pikirkanku. Kami pergi dengan mobil dari rumah lama di Semarang, dan selama perjalanan yang cukup panjang itu, kami selalu bercerita, salah satunya adalah tentang Wirda yang saat itu bermanja padaku, lalu berkata ingin aku tidak mengambil banyak lembur, agar setiap malam kami bisa merencanakan niat itu.

“Aku tidak pernah melupakannya... kamu bilang padaku kalau kamu ingin punya anak. Dan sekarang kamu mengelak. Apa kamu sedang menipuku selama ini? Tidak,” kataku sembari menggeleng. “Yang jelas kamu seperti orang lain...”

Detik itu juga, Wirda melototiku lalu beringsut dari duduknya. Namun, tak lama setelah itu, ia malah muntah tepat di hadapanku, dan orang-orang di sekitar kami menontonnya sembari menunjukkan raut simpatik, dan jijik.

Anehnya, bukan cairan makanan yang dimuntahkannya, melainkan cairan kental berwarna merah pekat bersama beberapa ulat. Atau belatung?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status