Malam itu, kami benar-benar pergi ke tempat makan yang pernah kami datangi sebelum menempati rumah baru itu. Letaknya ada di sekitar Malioboro, jalanan yang sebenarnya cukup ramai dengan angkringan serta pengamen atau lebih tepatnya seniman yang selalu menghibur setiap turis maupun pejalan kaki.
Malam itu kami parkir di dekat Malioboro. Entah aku lupa jalan apa namanya, yang jarak kami dari jalan itu ke Malio (begitu kami biasa menyebutnya), hanya tinggal menyeberang suatu perempatan saja. Tak hanya mobil di jalan itu yang parkir di sisi-sisi jalan, beberapa motor miliki pedagang atau pengunjung entah dari mana, juga parkir di tempat yang ramai dengan toko-toko batik dan sepatu.“Kita tinggal jalan kaki saja ke sana,” kataku. Wirda masih semi murung. Padahal sebelumnya, dia sudah sedikit agak baikan. Sudah bisa senyum lebar padaku, karena tahu kami selalu menikmati setiap malam minggu kami, di saat dulu masih pacaran.“Kita di tempat tertutup saja,” kata Wirda.“Kenapa? Ke sini kalau nggak makan di angkringan nggak afdol.”“Tapi, aku mau ke restoran saja.”“Kenapa?”“Pokoknya ke sana.”“Iya, aku ingin tahu alasannya kenapa?”“Kamu mau apa tidak? Kalau tidak lebih baik kita pulang lagi saja. Keruan makan di rumah. Beli di warung pinggir jalan.”“Kalau begitu namanya bukan malam minggu.”Selepas aku bicara begitu, Wirda langsung menggerutu, dan aku tak bisa mendengar apa yang digusarkan. Aku sendiri tak tahu apa yang telah membuat Wirda berubah pikiran. Padahal selama di perjalanan kami baik-baik saja. Sesekali mengomentari seorang pedagang kopi pinggir jalan, yang tampak menyeberang dan kami berseloroh soal itu.Namun, sejak aku sudah parkir dan menurukannya di trotoar, Wirda memang tampak pucat dan seperti ketakutan karena melihat sesuatu.Maka, tatkala kami sedang mencari restoran mana yang akan kami kunjungi di sekitaran Malioboro itu, aku iseng bertanya, meskipun aku tahu saat itu dia sebenarnya masih agak cemberut.“Apa kamu takut sesuatu?”Wirda langsung menatapku serius, lalu memalingkan pandangnya lagi, dan menatap jalanan yang ramai di malam hari. Yogya memang selalu hidup menjelang matahari tenggelam.“Nggak.”“Kamu yakin? Aku melihatmu agak pucat. Kamu sakit?”“Nggak! Apa sih kamu, selalu mendesakku begitu. Sejak kemarin selalu menuduhku sakit dan semacamnya. Yang merasakan adalah aku, jadi kamu nggak usah sok tahu deh. Sudahlah, ayo serius mencari tempat makan.”“Oke, oke. Kamu tahu, aku hanya mencemaskanmu, Wirda.”“Terima kasih,” katanya ketus sembari berjalan mendahuluiku, dengan tetap menampilkan raut kecut.Begitulah, pada akhirnya suasana malam minggu kami yang kuharapkan bisa mengobati kepengapan dalam suasana rumah yang entah mengapa terus menghinggapi kami selama berminggu-minggu: seolah bukan hanya manusianya saja yang menderita sakit, tetapi rumah pun demikian.Maka, setelah berjalan dari sisi ke sisi sekitar lima belas menit, dan kami tanpa bicara sama sekali, akhirnya aku meminta Wirda untuk makan di sebuah restoran soto khas Yogya, yang cukup besar di sekitar situ. Meski pada kenyataannya, kami kini sudah tidak lagi berada di jalan Malio. Lokasi parkiran kami pun terbilang cukup jauh sekarang. Entah, berapa kilo kami menjauh dari Malioboro.“Di sini saja, ya?” kataku.“Ya sudah.”Wirda pun tampak mengangguk. Ia pun kini sudah lelah berjalan. Terlihat sekali, sejak tadi selalu mengeluh dan menggerutu tak jelas. Aku tak mengerti kepribadiannya bisa berubah seperti ini. Atau ini karena aku yang selama ini belum mengenalnya. Tentu aku bisa paham soal itu, sebab kami menikah belum terlalu lama. Baru tiga tahun. Masalah menemukan kebiasaan baru—atau lebih tepatnya yang selama ini tidak kami lihat—adalah hal wajar.Akan tetapi, tidak sedrastis ini. Masalahnya, selama beberapa bulan terakhir, aku seperti berada di satu rumah dengan orang yang sama sekali tidak kukenal. Ya, aku sama sekali tidak bisa merasakan sosok Wirda yang selama ini selalu kukenal dan kucintai. Meski, sekarang pun, rasa cintaku belum hilang padanya. Tentu saja.Malam itu, sekitar pukul setengah sepuluh, kami memakan soto, dan aku mulai melihat perangainya yang semakin lama semakin aneh. Pucat. Seperti curiga terhadap seseorang yang ada di sekitarnya.“Kenapa?” tanyaku sembari menyuapi diriku sendiri dengan kuah soto yang agak asam, karena cairan jeruk nipis tersebut.“Nggak.”“Yang aku tahu...” kataku sembari berkata pelan-pelan, agar membuatnya tak tersinggung. “Kamu selalu mengatakan apapun padaku. Kamu tidak pernah menyembunyikan apapun padaku sebelumnya, bahkan meski itu hanyalah sakit kepala. Kau selalu bilang padaku.”“Maksudmu?”Wirda terlihat memain-mainkan mangkuk dan sendoknya. Kuah soto itu terlihat keruh dan semakin keruh setiap sendok yang dipegang Wirda mengaduknya seperti mengaduk telur untuk didadar.“Ya, kamu selalu memberitahu soal masalah apapun yang kamu rasakan. Aku tahu itu. Mulai kita pacaran, bahkan sampai dua tahun pernikahan kita, kamu tidak berubah.”“Setiap orang pasti berubah.”“Tidak secepat ini, dan tanpa motif apapun. Apa aku melakukan kesalahan yang berat padamu?”Wirda menggeleng. Suara adukan sendok di mangkuknya semakin menggangguku. Tapi, aku bisa tahan.“Apa aku telah mengatakan sesuatu yang telah membuatmu tersinggung atau sakit hati? Setahuku, malah kamu yang jujur saja... “ aku berusaha menimbang soal perasaanku ini. Tapi, akan kukatakan pelan-pelan.“Jujur saja... saat kamu bilang ingin menunda anak. Ini seperti menyentakku. Aku tidak tahu kalau kamu bisa berubah pikiran secepat itu.”
“Apa maksudmu berubah pikiran cepat? Bukankah kita selalu menunda?”“Kapan kita pernah bilang kalau kita ingin menunda punya anak,” kataku berusaha menekan suaraku agar tidak terdengar orang lain. Terlebih dengan begitu, bisa membuat suara Wirda pun agak tertahan sedikit setelah tadi suaranya perlahan meninggi, membuat beberapa orang menoleh ke arah kami.“Apa kamu lupa?” tanyaku lagi.“Aku tidak lupa!”“Kita tidak pernah bilang... atau lebih tepatnya, kamu tidak pernah bilang padaku kalau kau ingin menunda punya anak! Kamu sendiri yang bilang sebelum pindah ke rumah baru itu, kalau kamu tidak ingin terus ditinggal-tinggal olehku, agar kita bisa merencenakan program kehamilan!”“Tidak... tidak... seingatku aku tidak pernah berkata demikian.”Aku tentu saja lantas mengembuskan napas sembari mendengus kecil. Aku yakin, tak mungkin salah karena ingatan soal itu masih segar sekali di pikirkanku. Kami pergi dengan mobil dari rumah lama di Semarang, dan selama perjalanan yang cukup panjang itu, kami selalu bercerita, salah satunya adalah tentang Wirda yang saat itu bermanja padaku, lalu berkata ingin aku tidak mengambil banyak lembur, agar setiap malam kami bisa merencanakan niat itu.“Aku tidak pernah melupakannya... kamu bilang padaku kalau kamu ingin punya anak. Dan sekarang kamu mengelak. Apa kamu sedang menipuku selama ini? Tidak,” kataku sembari menggeleng. “Yang jelas kamu seperti orang lain...”Detik itu juga, Wirda melototiku lalu beringsut dari duduknya. Namun, tak lama setelah itu, ia malah muntah tepat di hadapanku, dan orang-orang di sekitar kami menontonnya sembari menunjukkan raut simpatik, dan jijik.Anehnya, bukan cairan makanan yang dimuntahkannya, melainkan cairan kental berwarna merah pekat bersama beberapa ulat. Atau belatung?
Tanpa pikir panjang, aku langsung menggendong Wirda yang saat itu langsung melunglai dan jatuh ke pangkuanku. Beberapa orang yang ada di rumah makan sederhana itu sempat membantuku, namun selanjutnya aku mesti membopong sendirian istriku. Untung saja, di sekitaran situ sejak tadi—sebelum kami masuk ke restoran itu—banyak tukang becak yang mangkal. Aku langsung memanggil salah satu tukang becak, dan seorang lelaki yang kutaksir seusiaku lantas berlari kecil ke arahku.“Mas, tolong saya...”“Kenapa ini, Mas?” tanyanya sedikit berparas heran.Aku hanya bilang dia sedang sakit. Lagipula, aku tak tahu apa yang sedang terjadi padanya. Tukang becak itu kemudian mengantar kami ke parkiran mobil yang cukup jauh jaraknya. Dengan agak tergesa-gesa aku dan tukang becak itu memasukkan Wirda ke jok belakang mobil sedanku.Ketika aku hendak membawanya ke rumah sakit terdekat, tiba-tiba Wirda terbangun dan tentu saja aku kaget. Saat itu aku baru saja ingin menyalakan mesin mobil, dan perempuan itu l
Jantungku tentu saja berdegup kencang tatkala mendengar suara itu. Kenapa? Batinku. Kenapa Wirda harus mengeluarkan suara seperti itu. Bahkan ketika kami bercinta, Wirda sama sekali tidak bersuara. Diam seperti patung, membuat kemaluanku melunglai, dan perempuan itu terlihat tak puas denganku.Selama ini kupikir itu karena stres yang menumpuk di kepalaku. Atau juga dirinya. Entah karena pekerjaan, ataupun masalah di rumah yang rasanya selalu datang saja hal baru. Mulai masalah Wirda yang semakin tak kukenali lagi, hingga lingkungan kami yang seperti kota mati.“Aaaah!"Wirda terdengar mendesah tak keruan dalam tidurnya. Mendengarnya seperti itu membuat diriku merasa panas.Aku bisa mendengar suara istriku mendesah dan melenguh di balik dinding. Suaranya keras sekali, membuat jantungku terus berdegup kencang. Antara berhasrat dengan suara istriku sendiri, juga marah karena aku sempat berpikir kalau istriku memang memiliki sosok lain dalam hidupnya.“Aaakkh! Jangan! Tapi.."Wirda tak pe
Tak peduli Wirda terus mengelak ataupun menolakku saat aku memintanya pergi ke rumah sakit, aku tetap memaksannya. Biar betapapun jengkelnya ia, bahkan saat kami hendak berangkat pun ia terlihat cemberut dan sempat melempar kunci mobilku. Perubahan sikap ini yang tak kumengerti. Tadi malam, lebih tepatnya dini hari. Seusai kejadian itu, dia yang pada akhirnya menangis di pelukanku sampai matahari muncul di celah-celah gorden kamar kami, masih bersikap manis layaknya Wirda yang biasa kukenal. Tapi beberapa jam kemudian, sikapnya sudah kembali seperti beberapa akhir ini. Jutek padaku, dan selalu memberikan kata-kata pedas terhadap apapun yang terjadi. Malas. Bahkan, yang membuat kesabaranku hampir habis adalah, ia sama sekali tak ingin mandi seusai kejadian semalam, padahal aku akan membawanya ke rumah sakit. Sampai di perjalanan pun, Wirda masih bersikap dingin padaku. Semakin dekat mobilku menuju rumah sakit terdekat, ia seperti tak ingin menatapku. “Apa yang terjadi sebenarnya, sa
Biasanya, dia tidak akan selincah itu jika bertemu kawan-kawanku. Apalagi sampai bercengkerama dan bercanda akrab, meski sebelumnya mereka tak pernah bertemu. Seperti Rizal. Kawanku yang sering kuminta bantuan ini sama sekali belum pernah bertemu dengan istriku. Baik Rizal maupun Wirda hanya mendengar ceritaku saja soal keduanya. “Ya, ya. Terima kasih sebelumnya karena sudah membantu kami untuk mendapatkan jadwal lebih pagi. Tapi, ngomong-ngomong, Dokter Rizal ini tidak mengambil spesialis?” kata istriku yang saat itu sedang naik tangga, bersamaku juga. Mereka berjalan di depanku. Mengobrol akrab sekali seolah mereka adalah kawan lama. Ya, dari membahas masalah kespesialisan yang ingin dituju oleh Rizal, sampai membahas masalah sepele seperti makanan kesukaan juga tempat makan favorit. Bahkan tanpa melibatkanku, Wirda seolah seperti ingin diajak makan bersama oleh Rizal. Dan dia bicara tepat di depan suaminya. Tentu saja, Rizal lantas menoleh padaku sembari canggung. Entah, kenapa
Aku berlalu ke toilet sesaat setelah sempat perang dingin dengan Wirda. Ketika aku usai buang air kecil dan membasuh wajah, tiba-tiba secara mengejutkan seorang kakek yang sebelumnya menatap kami dengan penuh kecurigaan telah berada di belakangku. Tentu saja itu sangat mengejutkan. Bahkan kedua pundakku sampai meloncat karena sebelumnya sama sekali tidak ada siapapun di belakangku. Barangkali karena suara kran air yang memudarkan suara pintu bilik toilet. Mungkin pula sejak tadi kakek yang tak kutahu namanya ini sudah berada di salah satu bilik toilet rumah sakit tersebut. “Anak muda...” katanya bersuara berat dan sedikit parau. “I-Iya, Kek? Ada apa?” Aku merasakan sesuatu yang aneh dari tingkah laku kakek yang menurutku agak mencurigakan. “Dengarkan saya,” katanya lagi sembari mendekat. Nada suaranya begitu medok, karena barangkali ia memang asli orang Yogya. Tidak seperti kami yang berasal dari Jakarta, aku bekerja di Semarang pun sebelumnya karena dipindahkan dari Jakarta, kan
Tentu saja, cerita itu kuanggap sebagai bagian dari kepercayaan yang pernah dianut oleh keluargaku. Aku tak menganggapnya sebagai fakta, karena sampai sekarang pun aku tak pernah melihat penunggu rumah itu. Tak pernah merasakan sesuatu yang aneh, meski memang rumah itu nampak mengerikan kala malam hari. Selanjutnya, aku berusaha bersikap normal di depan Wirda. Saat giliran kami tiba untuk konsultasi. Aku langsung menjelaskan keadaan istriku dalam beberapa bulan terakhir ini. Kulihat Wirda membisu dan seperti tidak menyukai percakapan antara aku dan dokter spesialis penyakit dalam. Pada saat dokter itu, yang mana seorang lelaki paruh baya itu memeriksa istriku, usai menyuruh Wirda rebahan. Wirda menolak. Ia kasar sekali saat stetoskop dokter berusaha mendarat di tubuhnya. “Jangan sentuh aku! Anda berusaha memanfaatkan keadaan!” katanya mengejutkanku. Aku melihat raut dokter sampai heran. “M-Maafkan saya, Pak Dokter... istri saya memang dalam keadaan tidak stabil...” “Hmmm, ya, ya.
Minggu. Aku memutuskan untuk seharian di rumah, setelah biasanya aku mendapatkan tugas untuk mengecek beberapa tabungan nasabah di brankas, meski biasanya pun tidak sampai sore—sebagaimana aku bekerja pada hari normal. Di rumah aku lebih banyak menghabiskan diriku di sofa ruang keluarga. Membaca buku apapun atau surat kabar. Sementara istriku seperti biasa (dalam kebiasaan barunya), selalu bangun tidur menjelang zuhur. Sejak ia pulang dari rumah sakit, aku sudah tidur di kamar terpisah, sehingga aku tak bisa membangunkannya kala subuh atau pun pukul delapan—jam paling telat ia bangun seingatku—ketika kami masih tinggal di rumah lama kami di Semarang. Akan tetapi kini, semua benar-benar berubah. Bersama itu pula, kata-kata kakek yang aku dan Wirda temui di rumah sakit terus membayangi kepalaku. Bahkan bisa-bisanya sosok lelaki tua dan sudah bungkuk itu memasuki mimpiku dalam beberapa hari ini. “Pertanda apa ini?” batinku. Jantung berdebar-debar setiap bangun tidur dan baru saja mem
Aku jelas sekali melihat bahwa istriku melukai dirinya sendiri karena situasi ganjil ini, tapi dengan berbagai cara, ia tak ingin atau memang tidak pernah menyadarinya. Maka dari itu, ia tetap ngotot bahwa ia tidak pernah melakukan hal seperti itu. Aku tak tahu apakah ia berbohong atau ia berbicara jujur, tapi jelas, Wirda sama sekali tidak menyadari sesuatu. Ya, seperti yang sudah kuduga, kini istriku seperti terbelah menjadi dua pribadi yang berbeda.“Enak saja. Aku tidak tahu. Sejak kemarin lebam-lebam itu muncul sendiri.” “Apa sakit?” “Sedikit. Tapi, bukan masalah besar.” “Sebaiknya kita kembali ke rumah sakit.” “Jangan berlebihan!” pekiknya sembari melontarkan pandangan sinisnya—seraya itu pula ia beringsut dari duduknya. “Ini bukan sesuatu yang mesti kau risaukan secara berlarut-larut! Aku sendiri heran, kenapa kau jadi over protektif seperti itu. Posesif....” “Jangan salah paham! Aku nggak posesif seperti yang kamu kira. Apa salah seorang suami menanyakan lebam di tubuh