Share

Digoda Suami Gaib
Digoda Suami Gaib
Author: Ardianda K

Bab 1: Mimpi Buruk Istri di Malam Pertama

Yogyakarta, 1979

Budiman

Aku mendengar istriku tertawa panjang dalam keadaan tidur malam itu. Ia lalu terbangun dan terduduk di ranjang. Bersama itu perlahan tawanya berubah pelan. Namun, tak lama keadaan jadi be rubah drastis. Istriku, Wirda terdengar menangis sembari tubuhnya menatap ke arah jendela kamar yang gordennya terbuka sedikit.

Tentu saja, aku langsung bangun dan melihat Wirda masih duduk di pinggir ranjang, memunggungiku. Aku tak bisa melihat wajahnya kini seperti apa: apakah senang, takut, atau sedih, yang jelas ini bukan pertama kalinya ia terbangun tepat pukul satu malam, setelah sebelumnya tertawa tiba-tiba. 

Sekarang, Wirda beringsut dari ranjang dan berjalan perlahan ke arah jendela yang tertutup gorden. Kebetulan malam itu di luar gerimis dan angin cukup kencang, sehingga aku bisa mendengar ranting-ranting pohon mangga menggaruk-garuk genting. Gorden pun kini tampak bergoyang-goyang.

“Apa yang kamu lihat? Wirda... sayang.. Hey...” bisikku.

Aku pun ikut beringsut dari ranjang, berusaha menarik Wirda dari dekat jendela. Ia sama sekali bergeming, berubah menjadi sunyi dan bisu yang menyiksaku. Dan entah mengapa pula tubuhku mendadak menggigil, disertai rasa merinding yang membuat tengkuk leherku tak nyaman.

“Sayang... hey,  ayo kita tidur lagi. Besok pagi  kalau kita nggak tidur kita nggak bisa bersihin rumah. Sejak kemarin pindahan, kita kan langsung tidur-tiduran karena capek,” kataku sembari memeluk tubuh istriku yang terasa dingin.

Untungnya Wirda langsung menurutiku. Ia segera merebahkan tubuhnya lagi di atas ranjang. Dan aku pun segera memeluknya, mengeloninya. Tapi, tubuhnya tetap terasa dingin.  Aku pun sama sekali tidak melihat Wirda merasa kedinginan, seperti menggigil atau  menyuruhku menarik selimut, yang kini ada di bawah kakinya. Ia diam begitu saja, sehingga aku inisiatif menyelimutinya.

Akan tetapi, menjelang pukul tiga pagi. Aku yang sebelumnya telah tertidur lantas terkejut ketika mengetahui Wirda menghilang dari sampingku. Aku hanya memeluk guling dan seprai bekas istriku yang telah mendingin.

“Sayang? Wirda... Wirda? Kamu di kamar mandi?”

Namun, saat kecermati lagi pendengaranku ke arah kamar mandi dalam kamar.. Tidak ada pergerakan apapun di dalam sana. Sepi.

"Sayang?"

Tapi, sebenarnya, sayup-sayup bisa kudengar suara istriku di suatu tempat dalam rumah baru itu. Entah apa yang dia lakukan. Selama ini, di rumah lama ia memang kerap bangun malam dan mengigau tak jelas, bahkan sampai tidur berjalan, namun tak pernah seaneh ini.

“Wirda?”

Aku segera turun ranjang karena Wirda sama sekali tidak menyahutku. Aku nyalakan satu-persatu saklar di rumah baru, dan terlihatlah rumah yang masih berantakan itu. Sembari itu pula, kucari istriku ke setiap ruangan di rumah itu, mulai ruang tengah, kamar mandi, dapur, hingga kamar-kamar lainnya. Tidak ada. Tapi, suaranya masih bisa kudengar sayup-sayup, terbawa angin yang cukup besar.

Wirda seperti berbicara di suatu tempat yang jauh. Ia seperti mengobrol dengan seseorang. Entah siapa pula yang sudah bangun pukul tiga pagi begini. Setahuku perumahan tempatku tinggal sekarang masih sangat sepi, dan hanya beberapa rumah saja yang sudah dihuni. Itupun letaknya bukan berada di blokku.

“Sayang?!”

Aku menyusuri serambi samping dan kurasakan angin cukup menggigit kulitku, walau tubuku sudah tertutup piyama berlengan panjang dan berbahan cukup tebal. Namun, pagi buta itu benar-benar membekukan. Dan sungguh terkejut aku tatkala melihat Wirda sedang berbicara dengan seseorang yang tak bisa kulihat jelas.

Lama aku berdiri di serambi untuk memastikan siapa yang sedang berbicara dengannya. Namun, setelah kulihat secara teliti, istriku memang sendirian di sana. Ia menatap pohon sawo besar di lahan yang belum dijadikan rumah, letaknya di samping rumah kami.

Oleh karena itu, aku segera berjalan cepat menuju istriku yang terdengar masih mengobrol dengan seseorang. Ini sungguh membuatku merinding. Pasalnya aku tak pernah merasakan hal seperti ini. Terlebih, ketika aku semakin mendekat, mataku lebih terbelalak lagi tatkala melihat Wirda memeluk pohon berbatang besar itu. Ia terdengar seperti mendesah-desah seolah sedang bersenggama.

Bukan hanya itu, tak lama satu kakinya terangkat, dan kulihat istriku memelorotkan celana tidurnya. Tentu saja, aku langsung berlari ke arahnya dan segera kutarik Wirda dari pohon besar itu.

“Wirda! Wirda! Sadarlah! Hey! Wirda!”

Aku memeluknya erat dan tubuhnya langsung melunglai, jatuh ke pelukanku. Di saat itulah, kedua mata Wirda sedikit membuka. Aku tahu dia tak paham apa yang sedang terjadi pada dirinya.

“Mas Budi?” gumamnya.

“Ayo... kita kembali ke rumah... ayo,” kataku sembari buru-buru menarik celananya yang sudah turun ke bawah, hingga terlihat celana dalamnya saja. Seraya itu pula, tanganku terasa bergetar, bahkan setelah memakaikan celananya lagi. Ini bukan karena aku takut pada seseorang yang mungkin akan berniat jahat seusai melihat tubuh istriku, tapi karena sesuatu yang tidak bisa kupahami sedang terjadi di sekitarku. Ya, aku seperti sedang diperhatikan oleh sesuatu yang bersemayam di pohon besar itu. Tapi, tak berani melihat apa itu.

Saat aku menggendong istriku kembali menuju rumah, angin di sekitar pohon sawo besar itu terasa membesar, seolah pohon itu sedang memarahiku karena menggagalkan niatnya mendapatkan istriku.

Aku tak memikirkan apapun lagi selain berusaha menyelamatkan Wirda, meski aku tak tahu pasti apa sebenarnya yang sedang terjadi saat itu. Setelah di rumah dan membaringkan istriku ke ranjang lagi, aku segera mengunci pintu rumah, juga pintu kamar. Takut Wirda melakukan hal yang lebih aneh lagi. (Ini pun aneh karena sebelumnya kuingat semua pintu sudah terkunci, kecuali pintu kamar).

“Kamu nggak sadar saat kamu berjalan ke arah pohon tadi?” tanyaku usai mengunci pintu kamar.

“Nggak,” katanya sembari menggeleng dan menguap, seolah tidak terjadi apa-apa.

“Tidurlah.”

“Ini jam berapa?”

“Tiga.”

“Tadi, kenapa kita keluar, sayang. Bahkan sampai kamu menggendongku... “ ujar Wirda sembari memeluk guling yang tadi kupeluk.

“Sudah. Istirahatlah. Besok kita akan bersih-bersih.”

Begitulah, setelah itu Wirda tidur lagi, namun kali ini kupeluk ia erat, supaya aku bisa mengawasinya. Dan tentu saja aku tidak bisa tidur setelah melihat kejadian yang membuatku terkesiap juga tak bisa berkata-kata. 

Aku tak mungkin juga memberitahunya kalau beberapa menit lalu, dia pergi keluar dan mengobrol dengan pohon besar yang ada di samping rumah. Apalagi bayangan saat Wirda hampir saja menggesekkan alat vitalnya ke batang pohon besar sembari mendesah-desah, membuatku tak tega memberitahunya.

Entah, apa yang terjadi pada dirinya. Mimpi apa yang ada di dalam tidurnya, aku sama sekali tak berani menanyakannya sementara ini. Semuanya terasa campur aduk, antara terkejut karena rasa ganjil itu, dan marah, karena kupikir Wirda memiliki fantasi terhadap lelaki lain selama ini. Tapi, semuanya terasa aneh, karena kejadian seperti ini baru terjadi di sini. Di rumah baruku.

Besok paginya, aku berusaha bersikap normal. Berusaha menyembunyikan rasa cemasku terhadap kondisi Wirda, yang sebenarnya kalau dilihat baik-baik sama sekali tidak ada hal yang mencurigakan. Dia pun seperti biasa saja, tak terlihat ada sesuatu yang sedang ditutup-tutupi. Semuanya terasa normal bagiku. Dia pun masih bisa bercanda seperti biasa.

Hari itu kami membersihkan rumah baru kami. Mulai menyapu, mengepel lantai, hingga mengumpulkan barang-barang ke gudang, seusai meletakkan beberapa barang kami ke sudut-sudut ruangan. Siangnya, kami memutuskan membeli makanan di luar rumah, karena Wirda belum bisa masak di rumah baru itu, pertama warung masih jauh dan kompor serta peralatan dapur lainnya masih belum sampai dari rumah lama kami.

Di saat itulah, ketika kami sedang makan siang di sebuah restoran makanan Padang, aku memberanikan diri untuk menanyakan sedikit soal kejadian semalam.

“Sayang... aku ingin tanya...”

“Apa?” ujar Wirda santai saja, sembari mencicipi bumbu rendang.

“Apa kamu tadi malam bermimpi aneh?”

“Mimpi aneh? Nggak. Aku sama sekali nggak mimpi apa-apa. Harusnya aku yang tanya. Kenapa kita semalam ada di luar? Aku tidur berjalan lagi?”

“Ya.”

Wajah Wirda langsung cemberut.

“Apa kita mesti ke dokter? Kurasa keadaanku sudah terlalu aneh.”

“Nggak perlu,” kataku sambil melanjutkan makan.

"Tapi..." katanya kemudian membuatku agak terdiam, karena ingin tahu apa yang dirasakannya tadi malam.

"Aku merasa badanku capek sekali, dan punggungku terasa berat."

"Ini karena kita kelelahan."

Di saat itulah, aku melihat Wirda sedikit berparas cemas. Namun, aku segera meyakinkan dirinya kalau dirinya baik-baik saja. Tak lama setelah itu, cuaca yang semula terang benderang berubah menjadi mendung, disertai angin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status