Sepanjang melangkahkan kaki pulang ke rumah aku tidak sanggup membendung air mata yang terus menetes, diri ini sesunggukan karena menahan rasa sesak oleh penghinaan yang ibu mertua lakukan. Andai bisa ku mengulang waktu rasanya aku tidak perlu berbakti kepada orang yang tidak menghargai usahaku. Percuma saja aku bersikap baik Kalau di hati Ibu tidak pernah tersentuh dengan ketulusanku. Uang merah yang dilemparkan masih kugenggam di tangan, sambil menggendong Rima kusembunyikan air mata agar ketika berpapasan dengan Mbak Devi dan Kak Tania aku tidak perlu terlihat bersedih atau menonjolkan air mata.Rupanya di rumah Kak Aidil sudah pulang, suamiku terlihat sedang makan di meja makan dengan lahapnya. Karena tak tega mengganggu dia yang sedang makan akhirnya kuputuskan masuk sambil menunduk dan mengucapkan salam dan langsung saja ke bawah Rima kamar."Assalamualaikum," ucapku sambil segera pergi ke kamar."Waalaikumsalam kamu dari tempat ibu, dik?""Iya, dari tempat Ibu," jawabku menaha
"Panggil siapa saja, kepalaku sakit dan aku tidak bisa menahannya!" "Mau kupanggilkan Mantri kesehatan saja Kak?""Terserah, kepalaku berdenyut sakit minta ampun, segera atasi atau aku akan mengamuk, Devi.""Sabar Mas, jangan berteriak seperti itu, Mas harus berdoa." Iparku yang berlatar belakang suku Jawa itu terdengar sangat halus membujuk suaminya. Dari awal dia memang kakak ipar yang baik dan lembut hati, sehingga aku sangat mengaguminya."Panggilkan dokter agar menyuntikkan obat pereda nyeri, kepalaku sakit, Devi!""Iya, tapi sementara saya memanggil Pak Dokter, sebaiknya Mas tenangkan diri sambil terus mengucapkan istighfar.""Jangan mengajariku hal demikian sekarang ini Devi, aku akan mati! Buruan!" Mendengar teriakan Kak Yanto, aku dan Kak Aidil hanya bisa saling memandang sambil mengelus dada. "Kak, cobalah pergi ke tempat kakakmu dan tenangkan dia, bantu dia untuk meredakan sakitnya, Kak.""Memangnya aku bisa apa? Dalam keadaan murka dan sakit begitu sebaiknya tidak seor
Bismillah.Kupikir aku tak akan bisa memenangkan hati ibu dalam waktu dekat, mungkin jalannya tidak akan lama lagi, yang penting aku mau bersabar dan memahami sikap keras ibu mertua.Usai kusiapkan sarapan segera kuantarkan hidangan itu ke hadapan ibu dan ayah. Sebelum sampai ke ruang tengah, sejenak aku tertahan di depan pintu melihat Ayah menggendong Rima sambil membercandai cucunya, sementara ibu tersenyum-senyum melihat anakku yang tumbuh mulai gemuk dan molek."Lihat Nyai, betapa lucunya dia," ucap Ayah yang tanpa mereka sadari sudah kudengarkan."Iya, dia mirip Aidil ketika kecil," jawab Nyai sambil tersenyum tipis, terkesan memaksakan diri tapi tak mengapa, dari pada tidak sama sekali."Harusnya kau mengendongnya agar dia merasakan kehangatan neneknya," usul Ayah."Ah, tidak usah, aku sedang sakit.""Iya, benar juga. Maafkan aku," ucap Ayah terkekeh pelan.Aku segera masuk, meletakkan nampan dekat ayah lalu menuangkan air minum untuknya."Ini makanannya Ayah," ucapku pada
"Jadi ibu berteriak padaku?""Iya, kamu membuatku pusing, sudah tahu aku sedang sakit dan tubuhku mengalami perih dan panas kau malah berteriak-teriak dan cari masalah," balasnya."Bukan seperti itu, aku hanya tidak suka ayah dan Ibu akrab, terlalu dekat!""Lantas kenapa? Kau tidak suka hah? bagaimana kalau aku benci saja pada istri dan anak anakmu, apa kau akan suka, Yanto?""Ibu ... bukannya ibu sendiri yang menanamkan hal ini padaku?""Kapan aku mengajarimu kurang ajar, kapan hah? menjauhkan dari sini!""Iya aku tidak akan datang lagi!" Teriak kak Yanto tak kalah sengit. " ... awas saja kalau ibu masih mengharap bantuanku," geramnya sambil tertatih keluar dari rumah induk. Mendengar ancaman anaknya ibu makin berang, dengan teriaka. Penuh emosi wanita itu merutuk dan mengomel dengan suara kerasnya."Dasar bikin malu, tidak berguna dan cari masalah!" gumam ibu.Melihat semua itu dari celah jendela membuatku tertawa bahagia karena kini giliran Kak Yanto yang berkonflik dengan ibu m
Bismillah Melihat wajah Ayah yang merah padam karena menahan amarah tentu saja Kak Yanto menjadi ciut dan terpaksa mengalah. Dengan mendengus dan mendelik padaku pria itu lantas kembali ke dalam rumahnya dengan langkah tertatih-tatih."Lihat saja nanti," gumamnya pelan, terdengar olehku dan cukup membuatku bergidik juga."Zahra ayo masuk," suruh Kak Aidil."Aku harus antar jatah makanan," balasku."Antarkan segera dan kembali ke rumah," jawab Kak Aidil.Mungkin peristiwa yang terjadi sekarang, bukan hanya tentang dendam dan rasa tersinggung, tapi, tentang sebuah kedengkian karena aku yang menantu bungsu malah disuruh untuk membagikan jatah makan semua orang. Secara teknis, harusnya Mbak devi yang akan melakukan itu, tapi karena kemarin ketiga iparku berhalangan dengan alasan masing-masing, maka akulah yang kemudian didapuk oleh ibu mertua untuk mengambil alih tugasnya. Jelas saja itu bukan salahku karena yang menyuruhku untuk mengamankan kunci gudang adalah ibu mertua sendiri, ketua
Mendengar penghinaannya aku ingin sekali menjawab dengan jawaban yang lebih pedas. Aku benar-benar tidak terima pria itu menyebut nenekku dengan sebutan tua bangka yang merepotkan. Sesungguhnya orang yang sering merepotkan orang tuanya dan seluruh keluarga adalah dirinya."Hanya satu ... Sepuluh tua bangka pun bukan urusanmu, yang repot dan sibuk memberi mereka makan adalah aku, bukan kamu!""Tapi, uangnya dari uang ibuku!"Aku hanya tertawa sinis mendengarnya. "Kau pikir suamiku tidak punya upah selama bekerja di kebun, dari upah itulah kami menyambung hidup dan makan." Aku melengos pergi meninggalkan pria yang terus menggangguku itu."Dasar mental miskin," ucapnya.Mendengar hinaan itu, emosiku langsung membuncah, ingin kubalikkan badan untuk menampar dirinya dan mempermalukannya di depan anggota keluarga. Tapi, aku menahan semua dorongan itu. Bukan saja aku yang akan ikut malu, tapi Inaq juga, tidak enak padanya yang baru datang dari desa kami. Kuhela napas sambil mengucapkan i
Ternyata ucapanku tadi tak serta merta membuat Kak Yanto sadar dan berhenti mengganggu diri ini. Kupikir sedikit tidaknya dia tersentil dan tahu diri bahwa aku sudah muak diganggu olehnya.Namun, harapanku jauh dari kenyataan, karena kini, di jam makan malam, setelah makanan terhidang dan kami duduk di tikar untuk makan, tiba tiba saja dia datang dan mengetuk pintu."Aidil, Zahra, buka pintunya," ucapnya."Iya Kak, ada apa?""Apa kalian tidak akan membiarkan aku masuk?"Aku dan suamiku saling berpandangan, Kak Aidil mengernyitkan alisnya sedang aku mulai merasa tidak nyaman. Sekali lagi suara ketukan pintu kembali terdengar, Inaq mulai merasa heran dengan kami yang tidak kunjung bangun untuk membuka pintu."Kenapa pintunya tidak dibuka Zahra?""Uhm, i-itu hanya ....""Biar aku saja," ujar suamiku sembari bangkit dari tempat duduknya.Ketika pintu rumah terbuka pria garang itu langsung mendorong suamiku dan merangsek masuk seenaknya saja. Melihat kami yang sedang duduk mengelilingi m
Tentu saja aku tidak takut karena aku sudah tahu skenarionya. Semalam dia sengaja membuat alasan ingin mengunjungi Rima padahal sebenarnya dia sudah meletakkan dompet yang berisi uang Ibu senilai Rp2.000.000 di bawah kasur tempat tidur kami."Hmm, pria bodoh, dia tidak tahu bahwa kini aku tidak sebodoh dulu."Dia pikir aku dungu dengan mengajak ibunya untuk memeriksa rumahku. Aku tahu kak Yanto ingin mempermalukanku, dia tidak tahu bahwa aku sudah lebih dahulu mengatur langkah dibanding dirinya."Ayo kita ke rumahmu," ujarnya sambil menarik lenganku dengan kasar."Lepaskan, kau tidak perlu menyeretku, aku bukan binatang.""Tentu saja, tapi kau lebih licik dari siapa pun. Kau mencuri!""Jika tidak terbukti, apa yang akan kau lakukan?!" tantangku."Aku tidak takut untuk minta maaf bahkan bersujud di kakimu, tapi kau harus buktikan bahwa kau tidak salah.""Kakak tidak punya akal ya ... kakak tahu bahwa nenekku ada di sini, kakak sengaja mengintimidasi untuk membuatku malu di hadapan n