Pov Haikal.
Aku mantan suami Amanda Iskandar Prayuda. Ya, biarpun kami sudah resmi bercerai, tapi aku tetap menganggap dirinya sebagai istriku. Aku tetap menyematkan namaku di belakang namanya. Andaikan Manda tahu, dia pasti akan marah besar dan meminta aku supaya tak menyematkan nama Prayuda di belakang namanya. Namun, kenyataannya justru dia yang memberikan nama Prayuda di belakang nama Pasya, anak kami. Ah, senangnya mengetahui kenyataan itu. Walaupun aku tahu kalau Manda melakukan itu, bukan karena dia masih memiliki perasaan padaku. Tapi, karena memang Pasya berhak atas nama itu karena dia adalah anak kandungku. Oh ya, mengenai perasaan Manda padaku. Aku kurang yakin juga kalau dia sudah tak memiliki perasaan cinta padaku. Meskipun dia sangat membenciku, tapi benci dan cinta itu kan beda tipis. Oleh karena itu, boleh kan aku berharap agar kami bisa bersatu kembali. Lagi pula Amanda pernah menjanjikan padaku kalau kemungkinan rujuk itu selalu ada. Jadi sepertinya tinggal tunggu waktu saja. Apalagi ada Pasya yang bisa membuat kami bersatu kembali, menjadi suatu keluarga yang utuh.
Kini aku sudah mengantarkan Manda dan Pasya ke rumah mantan mertuaku. Sedih juga rasanya ketika masuk ke dalam rumah itu dengan status sebagai mantan menantu. Padahal dulu aku merupakan menantu kesayangan, tapi semua itu jadi berantakan gara-gara jebakan Meta dan ibuku sendiri.
“Assalamualaikum,” ucapku ketika memasuki rumah mantan mertuaku.
“Wa’ alaikumsalam,” sahut mantan ibu mertuaku, yang terkejut melihat kedatanganku di rumahnya. “Haikal.”
“Iya, Ma.” Aku langsung menyalami wanita paruh baya itu dan mencium punggung tangannya dengan takzim. Aku lalu menatapnya sambil tersenyum semringah. “Mama sehat?”
“Alhamdulillah, Mama sehat. Kamu kok bisa sama Manda? Ketemu di mana?” tanya mantan ibu mertuaku itu dengan kening yang berkerut. Beliau lalu menatap Pasya yang anteng di pelukanku.
“Kami ketemu di Bali, Ma. Kebetulan kami satu hotel di sana,” jawabku kalem.
“Oh, ayo duduk dulu!” ucapnya ramah.
Aku duduk di sofa ruang tamu. Amanda serta Adel sudah masuk ke dalam rumah, diikuti oleh mantan ibu mertuaku. Tak lama, muncul mantan ayah mertuaku. Aku pun lantas beranjak dari sofa untuk menyalaminya.
“Apa kabar, Pa?” sapaku.
“Alhamdulillah, baik.” Mantan ayah mertuaku itu lalu menatap Pasya dan tersenyum pada anakku. “Pasya anteng banget sama papanya. Kangen ya sama papa, Nak.”
“Sepertinya begitu, Pa. Mungkin karena ikatan batin, Pasya langsung lengket sama aku,” sahutku yang membuat mantan ayah mertuaku tersenyum.
“Pasya semakin besar, semakin mirip dengan kamu. Alhamdulillah, jadi tidak menimbulkan fitnah karena Manda hamil di saat proses cerai berlangsung,” ucap mantan ayah mertuaku.
“Andaikan aku tahu kalau Manda hamil, tentu aku tak akan setuju bercerai dengannya. Lagi pula aku memang tak ingin berpisah dengan Manda, Pa. Sampai sekarang saja aku masih menganggap dia sebagai istriku,” sahutku lirih. Aku lalu memandang anakku yang anteng di atas pangkuanku.
“Jangan begitu, Haikal. Kalian sudah resmi bercerai dan kamu juga sudah menikah. Jadi hilangkan perasaan kamu itu. Hubungan kamu dan Manda hanya sebatas orang tua Pasya,” cetus ayah Amanda.
“Tapi, aku tak menginginkan pernikahan itu, Pa. Aku tak bahagia hidup dengan perempuan itu. Kebahagiaan hidup berumah tangga hanya aku dapatkan ketika bersama dengan Amanda,” sahutku jujur dan tiba-tiba saja hatiku terasa plong ketika sudah mencurahkan isi hatiku. Selama ini aku hanya memendam perasaan ini seorang diri, dan itu yang membuatku semakin merindukan Amanda.
Mantan ayah mertuaku itu menghela napas panjang dan menatap lekat.
“Kalau kamu tak merasa nyaman dengan perempuan itu, kenapa dia sampai hamil? Itu yang Amanda tak terima hingga dia memilih untuk berpisah dengan kamu. Dia terluka dengan pengkhianatan kamu, Haikal,” ucap mantan mertuaku dengan tenang. Tapi, aku tahu di balik suara tenangnya itu menyimpan sebuah kekecewaan yang teramat dalam.
“Aku dijebak, Pa. Entah apa yang ada dalam kopi buatan Meta. Setelah meminum kopi itu, aku merasa ada keanehan dalam diriku. Amanda sudah tahu juga tentang hal ini, karena aku sudah katakan berulang-ulang padanya. Kalau Papa tanya, kenapa aku bisa bersamanya? Itu karena ibuku yang minta aku untuk mengantar Meta pulang. Saat itu, aku ditelepon ibuku untuk ke rumahnya. Di sana rupanya sudah ada Meta. Aku bersedia mengantar Meta pulang, karena aku pikir sekalian aku pulang ke rumah. Tapi, ternyata Meta minta aku mampir dulu untuk sekedar minum kopi di apartemennya. Aku yang ingin menghargainya, lalu menerima tawarannya itu. Aku pikir, nggak masalah mampir hanya sebentar saja. Tapi, justru itulah awal mulanya petaka rumah tanggaku dengan Amanda. Sekarang tinggal penyesalan karena aku harus kehilangan istri yang sangat aku cintai,” jelasku dengan perasaan yang campur aduk. Apalagi aku melihat Amanda yang berdiri di samping dinding ruang tamu, sambil membawa nampan berisi dua gelas minuman.
Amanda lalu melangkah mendekati meja, dan meletakkan dua gelas minuman di atas meja. Tatapannya kemudian tertuju pada anakku yang tampak anteng. Namun, setelah diperhatikan lagi ternyata Pasya mengantuk. Ah, anakku ini bikin aku malas untuk pulang.
“Sebaiknya Pasya aku bawa ke kamar sekarang, Mas. Dia sudah ngantuk dan mungkin juga capek setelah melakukan perjalanan jauh,” ucap Amanda.
Aku menganggukkan kepala, dan membiarkan Amanda meraih tubuh Pasya. Namun, Pasya menangis saat Amanda akan menggendongnya. Akhirnya aku memutuskan untuk menggendong anakku hingga ke dalam kamar.
“Pa, aku permisi dulu untuk membawa Pasya ke kamar,” ucapku pada mantan ayah mertuaku, karena bagaimanapun sebagai mantan menantu, aku harus ijin dulu sebelum masuk ke kamar. Apalagi masuk ke dalam kamar Amanda.
“Silakan! Kalau Pasya sudah nyaman di kasur, sebaiknya kamu keluar dari dalam kamar. Tak pantas kalau kalian berduaan di dalam kamar. Kalian bukan lagi pasangan suami istri,” sahut mantan ayah mertuaku tegas, yang spontan aku anggukkan kepala.
Aku lalu melangkah ke kamar Amanda sambil menggendong anakku. Sementara Amanda mengikutiku dari belakang. Aku yang sudah hapal luar kepala dengan seluk beluk rumah ini, tak perlu tanya lagi untuk menemukan kamar mantan istriku. Aku segera membuka pintu kamar yang berada di samping ruang tengah, dan melangkah ke arah tempat tidur.
“Pasya bobo ya, Sayang. Sudah malam sekarang. Besok kita main lagi, ya,” bisikku di telinga anakku.
Pasya memejamkan matanya. Aku lalu memiringkan tubuh anakku, dan memasangkan guling kecil untuk Pasya peluk. Tanganku terus mengusap lembut punggung Pasya, hingga akhirnya anakku itu tertidur pulas. Aku lupa akan pesan ayah Amanda tadi. Aku tetap duduk di tepi tempat tidur, dan memandang anakku yang tidur nyenyak. Ada perasaan heran di diri ini ketika menemani Pasya tidur. Rasa yang enggan untuk beranjak dan terus ingin memeluknya dengan erat. Padahal aku tak pernah seperti ini kalau di rumahku. Aku tak pernah menemani Darel-anakku dengan Meta, kalau anak itu hendak tidur. Aku hanya melihatnya saja ketika anak itu sudah tertidur. Yang lebih heran lagi, tidak ada kemiripan antara aku dan Darel. Berbeda dengan Pasya, yang sangat mirip denganku. Kini banyak pertanyaan hinggap di kepalaku. Kenapa Darel tak ada kemiripan denganku? Ini yang harus aku cari tahu jawabannya.
Mas Haikal masih terdiam duduk di tepi tempat tidur sambil menatap Pasya, yang sudah terlelap. Aku tak tahu apa yang dia pikirkan karena aku mendengar helaan napasnya yang sering terdengar. Aku tetap berdiri di sisi tempat tidur yang tak jauh darinya, menunggu sesaat apa yang akan dia lakukan. Lima menit...sepuluh menit, mas Haikal bergeming. Dia diam saja di tempatnya, yang membuat aku memutuskan untuk menegurnya.“Mas, ingat pesan papa tadi. Kalau Pasya sudah tidur, Mas segera keluar dari kamar ini. Nggak baik berada di dalam kamar ini terlalu lama, karena kita sudah bukan suami istri lagi,” ucapku mengulang pesan papaku tadi.Mas Haikal menoleh seraya berkata, “Iya, aku akan segera keluar dari sini setelah kamu jawab beberapa pertanyaanku, Manda.”“Pertanyaan apa? Katakan saja, insya Allah akan aku jawab,” sahutku kalem.“Setelah kita resmi bercerai, kamu nggak mau menerima uangku. Padahal aku sudah bertekad akan memberimu nafkah sampai kamu menikah lagi. Walaupun aku memang berhar
“Ayolah, terima ini! Uang hasil penjualan rumah kita adalah hak kamu, Manda,” ucap mas Haikal setelah aku tak juga menerima amplop dari tangannya.Tanpa disangka, Pasya dengan antusias meraih amplop dari tangan papanya. Hal itu membuat mas Haikal dan aku terkejut.“Manda, kamu lihat sendiri kalau Pasya menginginkan uang ini. Jadi ambillah dan simpan, ya,” ucap mas Haikal sekali lagi.Aku akhirnya menuruti kata-katanya. Kuanggukkan kepalaku yang sontak membuat mas Haikal tersenyum semringah.“Baiklah, aku terima. Terima kasih, Mas. Uang ini akan aku gunakan untuk keperluan Pasya,” sahutku yang disambut oleh gelengan kepala mas Haikal.“Nggak. Itu murni untuk kamu. Aku kan dari tadi sudah bilang, kalau uang hasil penjualan rumah kita adalah hak kamu. Kalau Pasya biar jadi urusanku. Dia kan anakku, jadi aku wajib membiayainya. Aku akan transfer uang ke rekening itu setiap bulannya untuk Pasya. Hari ini aku sudah transfer uang untuk Pasya. Kamu bisa cek saldonya nanti,” cetus mas Haikal y
“Maaf, kalau boleh tahu kenapa kalian bercerai? Bukankah kalian ini pasangan serasi? Dari masih jaman kuliah dan setelah menikah, kalian tampak adem ayem.” Andi bertanya sambil menatapku lekat. Sorot matanya menunjukkan rasa keingintahuan yang begitu besar, membuatku menarik napas panjang.“Intinya sudah nggak ada kecocokan saja di antara kami. Buat apa diteruskan kalau sudah nggak cocok,” jawabku diplomatis.Jawabanku rupanya kurang memuaskan bagi Andi, hingga dia berusaha untuk menebak-nebak.“Apa...ada orang ketiga?” tebaknya yang membuatku tersenyum kecut.Aku memang sakit hati pada mas Haikal. Tapi, dia adalah mantan suamiku dan ayah anakku. Aku pernah mencintainya begitu dalam. Mas Haikal juga baik padaku, meskipun pada akhirnya dia menorehkan luka di hatiku. Tapi, itu bukan berarti aku harus membuka aibnya di depan orang lain. Tidak, aku bukan orang yang seperti itu. Biarlah aku, mas Haikal dan keluarga kami saja yang tahu penyebab perceraian kami. Orang lain termasuk Andi biar
Pov HaikalAku terkejut sekali melihat kedatangan Andi si rumah mantan mertuaku. Ketika melihat dia datang dan membawa kado untuk anakku, pikiranku langsung tak tenang. Berbagai pertanyaan bersarang di kepalaku. Aku segera berbisik pada Amanda, untuk tahu kenapa Andi bisa hadir di pesta ulang tahun anakku. Aku sebagai papanya Pasya tentu keberatan dengan kedatangan Andi. Kalau ada yang tanya kenapa? Ya karena aku tahu kalau Andi pernah menaruh hati pada Amanda-mantan istriku. Apalagi sekarang status Andi yang duda, dan Amanda yang juga seorang janda. Makin ketar-ketir lah hatiku. Aku takut kalau antara Andi dan Amanda menjalin suatu hubungan. Meskipun sah saja sih kalau mereka menjalin hubungan, karena mereka sama-sama single. Tapi, aku yang masih mengharapkan bisa rujuk dengan Amanda tentu sangat tak suka kalau mereka dekat, dan menjalin hubungan spesial.Aku memang berniat rujuk dengan Amanda sudah lama. Tepatnya setelah Amanda menjanjikan kalau kemungkinan untuk rujuk selalu ada, k
Pov HaikalAku menatap punggung Amanda yang menjauh. Kuhela napas panjang, kemudian berjalan ke arah Andi dan mantan ayah mertuaku duduk. Aku harus mengajak Andi bicara empat mata, untuk memastikan niatnya datang kemari. Terdengar konyol memang, karena siapa saja bisa datang kemari. Toh ini bukan rumahku. Aku pun ada di rumah ini karena yang berulang tahun adalah Pasya, anakku.“Ndi, bisa kita bicara empat mata sebentar?” tanyaku yang tentu saja membuat Andi terkejut.“Oh, boleh. Tunggu sebentar, ya. Aku habiskan dulu makananku,” sahutnya yang sedang menikmati tekwan.Aku menganggukkan kepalaku, dan duduk di sebelahnya. Kuambil air mineral dalam kemasan gelas, dan kuminum hingga tandas untuk mendinginkan hatiku.“Yuk, Kal! Kita mau ngomong di mana?” tanya Andi setelah selesai menikmati tekwan.Aku tak langsung menjawab. Aku pandangi ke setiap sudut rumah orang tua Amanda. Tak ada ruang untuk kami bicara empat mata. Rumah ini cukup ramai oleh para anak kecil plus pengantarnya. Ditambah
Pagi ini aku tampak panik karena tubuh Pasya yang tiba-tiba demam. Anakku itu tergolek lemah di atas tempat tidur. Sama dengan anak seusianya yang lain kalau rewel ketika sedang tak enak badan. Pasya dari tadi merengek. Aku beri susu karena semenjak berusia satu tahun, Pasya memang berhenti minum ASI. Tapi, botol susu yang aku beri, hanya sebentar saja dia pegang. Selebihnya, dia serahkan kembali botol susu itu padaku. Aku peluk dan kucium keningnya dengan lembut, untuk membuatnya merasa nyaman.“Pasya mau apa, Sayang? Mau makan bubur? Atau mau sosis bakar?” tanyaku, berharap dia menganggukkan kepalanya ketika aku menyebut makanan kesukaannya. Tapi, dia hanya diam sambil terus merengek. Membuatku semakin panik dan sedih.Di saat aku merasa panik, tiba-tiba saja ponselku berdering. Aku langsung meraih benda pipih itu yang tergeletak di atas nakas, dan melihat nama mas Haikal terpampang di layar ponselku. Aku langsung mengangkat panggilan telepon itu.“Halo, Mas,” sapaku dengan nada cem
“Eh, maaf.”Hanya kata itu yang terlontar dari bibirku. Setelahnya, aku langsung melangkah menuju ke poli anak. Aku mendengar langkah mas Haikal mengikutiku, hingga posisinya kini berada di sampingku.Tiba di poli anak, suasana cukup ramai. Menunjukkan kalau dokter Andi Saputra cukup diminati oleh para orang tua, untuk menangani anak mereka. Aku langsung memberikan berkas Pasya pada suster yang duduk di balik meja jaga, yang ada di depan ruang praktik dokter. Sedangkan mas Haikal telah duduk di kursi tunggu, memangku Pasya.“Pasya tadi dapat nomor antrean berapa?” bisik mas Haikal ketika aku sudah duduk di sebelahnya.“Nomor sepuluh,” jawabku.“Berarti dua pasien lagi. Tadi yang dipanggil sudah nomor delapan,” sahut mas Haikal.“Oh begitu,” sahutku. Aku lalu menatap anakku yang menyandarkan kepalanya pada dada bidang papanya. Dada bidang, ya...menatap Pasya otomatis membuatku menatap dada bidang mantan suamiku. Dulu saat kami masih bersama sebagai pasangan suami istri, aku juga sering
Aku tinggalkan Pasya yang sedang asyik menonton film kartun kesukaannya. Aku berjalan cepat bersama dengan mama ke ruang tamu. Benar saja perkiraanku. Setibanya di ruang tamu, aku melihat kalau mas Haikal sudah berdiri berhadapan dengan Andi. Kedua pria itu saling tatap dengan cukup tajam. Bahkan aku melihat tangan keduanya pun terkepal.“Ada apa ini?” tanyaku dan mama secara bersamaan.Mas Haikal terdiam. Diamnya mas Haikal sepertinya dimanfaatkan oleh Andi, yang sempat tersenyum tipis. Walaupun samar, aku sempat melihatnya. Entah lah, aku tiba-tiba merasa tak suka melihat senyuman itu. Senyuman yang terbungkus maksud tertentu.“Saya juga nggak tahu, Bu. Haikal datang dan tiba-tiba marah pada saya. Padahal saya kemari mau melihat kondisi Pasya yang sedang sakit. Kebetulan saya adalah dokter anak yang tadi pagi memeriksanya. Jadi setelah selesai praktik, saya kemari ingin bertemu dengan Pasya,” sahut Andi.“Alasan saja kamu, Ndi! Mana ada dokter yang menjenguk pasiennya di rumah. Jang